google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Tanpa Guru, Kita Bukan Siapa-siapa

Rusmin Hasan.

Oleh: Rusmin Hasan

Direktur LCI

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

_____________________

SAYA hendak menulis berawal dengan ungkapan “Tanpa guru kita tak bisa apa dan bukan siapa-siapa”. Ungkapan tersebut menyimpan makna filosofis yang dalam. Kenapa demikian? perlu saya ingatkan kepada kita semua bahwa sebuah peradaban besar tak ada artinya tanpa seorang guru. Atas jerih payah, bimbingan, ajaran, dan kegigihan pengetahuan yang disampaikan oleh gurulah, kemajuan dan perkembangan suatu peradaban bisa kita nikmati sampai saat ini.

Masih ingatkah kita semua peristiwa tragedi Hiroshima dan Nagasaki?

Kondisi Jepang pasca bom atom sungguh sangat memprihatinkan. Sejarah bom atom Hiroshima dan Nagasaki membuat dunia tercengang. Di saat keadaan negara sudah sedemikian hancurnya, bukannya seorang kaisar bertanya tentang berapa tentara yang tersisa, kaisar Hirohito sontak bertanya; “Berapa jumlah guru yang tersisa”? Di saat mendengar negaranya telah luluh lantah oleh bom nuklir yang dijatuhkan oleh tentara Amerika Serikat saat itu.

Pada awalnya para jenderal menjawab dengan tegas kepada kaisar bahwa mereka mampu menyelamatkan dan melindungi kaisar tanpa bantuan guru. Mereka heran mengapa sang kaisar justru mempertanyakan tentang guru bukan alih-alih kondisi kemiliteran mereka. Kemudian Kaisar Hirohito menjelaskan kepada mereka bahwa Jepang telah jatuh dan hal itu karena mereka tidak belajar. Jepang memang kuat dari segi persenjataan dan strategi perang. Tapi nyatanya mereka tidak mengetahui bagaimana cara membuat bom yang dahsyat seperti yang telah membumihanguskan Kota Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar berpendapat kalau mereka semua tidak dapat belajar, bagaimana mungkin mereka akan mengejar ketertinggalan mereka dan bangkit lagi dari keadaan ini.

Mendengar hal tersebut, maka akhirnya dikumpulkanlah sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kota. Jumlah guru yang tersisa pada saat itu kurang lebih 45.000 guru saja. Kaisar Hirohito dengan penuh harapan mengatakan kepada seluruh pasukan dan juga rakyat Jepang bahwa kepada gurulah sekarang mereka akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan. Hal ini menunjukkan betapa bernilainya seorang guru di mata kaisar. Momen ini pulalah, yang menjadi tonggak kebangkitan Jepang sehingga menjadi salah satu negara maju hanya dalam kurun waktu 20 tahunan. Padahal dengan kondisinya yang hancur lebur saat itu, dunia memprediksi paling tidak Jepang membutuhkan waktu kurang lebih 50 tahun untuk dapat bangkit kembali. Dengan mengumpulkan para guru setelah perang menjadi salah satu faktor Jepang menjadi negara maju seperti sekarang ini.

Dari sinilah, kenapa penting kita semua wajib menghormati dan memuliakan seorang guru? Kemajuan sebuah bangsa, melibatkan peran besar para guru. Meskipun bergelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, namun jasa seorang guru tidak dapat dipandang sebelah mata.

Guru adalah jembatan masa depan. Di belahan dunia manapun, di mata orang-orang sukses, dan di mata orang-orang pandai, sosok yang berjasa dan memiliki andil dalam pencapaian mereka tak lain adalah guru. Alasan jepang mengumpulkan guru setelah bom atom patut dicontoh oleh negara manapun yang ingin maju. Nah, sudah saatnya kita belajar dari Jepang bagaimana mereka menghargai dan mengakui peran besar guru untuk kelangsungan negaranya. Untuk itu, segala upaya dalam mensukseskan tugas guru merupakan hal yang dipandang perlu mendapatkan perhatian bersama.

Kepedulian terhadap nasib guru, kesejahteraan guru merupakan bentuk perhatian terhadap guru. Dengan demikian para guru dapat mendedikasikan diri sepenuh hati untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Hingga saat ini masih banyak guru yang nasibnya terkatung-katung. Saya umpamakan, laksana busa di tengah lautan. Bukan karena mereka tidak taat mengabdi, atau tidak ikhlas mengajar, tetapi dari segi penghasilan para guru honorer ini sangat memprihatinkan.

Kesejahteraan guru di Indonesia, terutama guru honorer, masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Banyak guru, terutama guru honorer, menerima gaji yang sangat rendah, bahkan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Hal ini tentu saja berdampak pada kualitas hidup mereka dan juga kualitas pendidikan secara keseluruhan

Indonesia harus banyak belajar pada Jepang dan Finlandia. Dua negara besar yang sangat menempatkan guru pada proporsinya baik pada aspek memuliakan guru dan memberi upah yang layak sebagaimana mestinya.

Kesejahteraan yang terjamin adalah salah satu penghargaan yang berhak diterima oleh tenaga pendidik. Bahkan disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebutkan bahwa guru berhak atas penghasilan yang melebihi kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.

Dalam hal kesejahteraan guru di Indonesia, penghargaan yang diterima tidak sebanding dengan apa yang sudah merela lakukan. Bagaimana mungkin gaji yang sudah di bawah rata-rata dengan pembayaran yang sering ditunda sebanding dengan pekerjaan yang sudah dilakukan para guru dapat meningkatkan ekonomi negara? Jika kondisi ini terus berkelanjutan, para guru tidak akan termotivasi untuk mengajar dikarenakan tingkat kesejahteraan yang didapatkan sangat rendah, secara tidak langsung kualitas pendidikan Indonesia tidak akan berkembang.

Saat guru tak lagi diguguh, murid pun bingung meniru.

Di sisi lain, yang bersamaan seorang guru juga harus mengintropeksi diri, selain ia sebagai jembatan peradaban yang tak akan hilang ditelan zaman. Ia juga harus senantiasa menjadi teladan yang baik. Seorang guru hadir, bukan hanya untuk mengajar tetapi juga mendidik dan memberi teladan yang baik sebagaimana kalimat legendaris “Guru adalah diguguh dan ditiru. Ironisnya, terkadang seorang guru lupa bahwa dirinya ialah contoh, teladan. Di luar sana, masih banyak guru kita, bicara seenaknya. Bahkan nyaris, membawa-bawa masalah pribadi ke dalam kelas, terkadang mempertontonkan sikap yang tak pantas ditiru. Ingat, ketika seorang guru hilang keteladanannya. Maka, hilanglah sudah wibawa seorang jembatan peradaban bangsa.

Di sisi lain, murid pun kehilangan arah. Banyak dari mereka yang tak lagi paham peran sebagai pelajar. Alih-alih menghormati guru, mereka justru merasa lebih tahu, lebih bebas, bahkan tak sedikit yang bersikap seenaknya. Ketika guru menegur, dianggap terlalu keras. Ketika membiarkan, dianggap tak peduli. Ketidakseimbangan ini menjadikan ruang kelas bukan tempat bertumbuh, melainkan tempat bertahan.

Salah satu sebab utamanya adalah minimnya dukungan sistem. Guru sering kali dihadapkan pada tekanan administratif yang menyita waktu dan energi. Di saat yang sama, mereka tidak diberi ruang untuk menegakkan kedisiplinan tanpa khawatir dilaporkan atau viral. Contoh nyata, ada guru yang hanya karena menegur murid yang tidak sopan, justru dilaporkan oleh orang tua ke aparat sehingga berujung pada sanksi dari sekolah. Ini menciptakan rasa takut untuk bersikap tegas.

Padahal, pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu, tapi membentuk karakter. Jika guru tak punya power untuk mendidik secara utuh, bagaimana mungkin murid bisa tumbuh dengan nilai-nilai baik? Jika murid merasa bebas tanpa arah, bukan tidak mungkin mereka terbiasa menormalkan kesalahan. Ketika dua peran ini kacau, maka pendidikan menjadi kehilangan rohnya.

Sudah saatnya kita mengembalikan posisi guru sebagai pendidik yang dihormati dan murid sebagai pembelajar yang rendah hati. Guru perlu terus belajar dan introspeksi agar tetap layak ditiru. Murid perlu diarahkan, bukan dimanjakan. Sekolah dan masyarakat harus saling dukung agar ruang belajar kembali jadi tempat yang sehat, aman, dan penuh makna. Karena sejatinya, ketika guru dan murid menempati peran masing-masing, barulah pendidikan bisa benar-benar berjalan dengan baik, unggul dan tangguh untuk menopang peradaban.

Masa depan peradaban berada di tangan seorang guru yang baik“. (Rusmin Hasan)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version