google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Kebijakan yang Menggantung, 389 Honorer Ternate Terjebak di Tengah Regulasi dan Lemahnya Perencanaan Pemerintah

Oleh: SJ Usman (Alumni Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Khairun Ternate)

____

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

RATUSAN pegawai non-ASN di Kota Ternate kembali menjadi korban paling nyata dari silang-sengkarut regulasi dan lemahnya manajemen kepegawaian pemerintah daerah.

Sebanyak 389 honorer yang selama bertahun-tahun mengisi lubang-lubang pelayanan publik, kini terancam kehilangan pekerjaan setelah dinyatakan tidak bisa masuk dalam skema PPPK paruh waktu.

Pernyataan Kepala BKPSDM Ternate, Samin Marsaoly, mengonfirmasi hal tersebut bahwa, regulasi pusat menutup rapat-rapat peluang mereka. Namun, masalah ini tidak muncul tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari bertahun-tahun praktik pengangkatan honorer yang tidak tersusun rapi, minim perencanaan, dan terlalu bergantung pada “celah-celah” kebijakan yang sewaktu-waktu dapat ditutup oleh pemerintah pusat.

Surat Edaran Menpan RB dan UU ASN 2023 memang memperketat pengangkatan non-ASN, tetapi pertanyaan lebih mendasar muncul, mengapa Pemkot Ternate masih memiliki ratusan honorer yang tidak memiliki kepastian status hingga saat ini?

Banyak di antara mereka sudah mengikuti seleksi CPNS, sudah mengisi pos-pos penting, namun tidak pernah diberikan roadmap atau arah dan tujuan yang jelas menuju status kepegawaian tetap. Ketika aturan berubah, mereka para honorer ini yang dikorbankan.

Pemkot dan DPRD kini sibuk mencari “solusi darurat”, tetapi publik mulai mempertanyakan dimana perencanaan jangka panjangnya selama ini?. Dalam rapat DPRD Kota Ternate pada Kamis tanggal 4 Desember 2025 lalu, terdapat dua opsi muncul untuk menyelamatkan tenaga honorer.

Pertama, dipindahkan ke job fair untuk menjadi tenaga pelayanan – pilihan yang dianggap turun posisi, bahkan menghina bagi honorer yang sudah bertahun-tahun bekerja di bidang teknis, dan yang kedua ditempatkan di OPD yang membutuhkan tenaga tambahan, namun ini tanpa jaminan status dan tanpa instrumen hukum yang benar-benar melindungi mereka.

Dua opsi ini dinilai tidak menyentuh akar masalah. Tidak ada jaminan kepastian kerja, tidak ada skema perlindungan yang jelas, dan tidak ada transparansi soal berapa banyak OPD yang benar-benar membutuhkan tenaga tambahan.

Kebutuhan tenaga pendukung di Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan selama ini ditutupi oleh honorer. Kini, Pemkot berharap pada BOK dan BOSDA untuk menampung mereka.

Tetapi fakta lain muncul, penggunaan BOK dan BOSDA untuk menutupi kekosongan akibat kebijakan kepegawaian yang keliru justru menunjukkan buruknya perencanaan SDM dalam pelayanan dasar, Jika tidak dikelola hati-hati, pelayanan kesehatan dan sekolah yang justru paling vital bagi warga Ternate akan terguncang.

DPRD dan Pemkot Tak Lagi Bisa Hanya Menjadi Penonton

DPRD Ternate selama ini ikut menyetujui penganggaran honorer, namun ketika regulasi berubah, mereka seolah baru terbangun. Solusi yang ditawarkan belum menyentuh isu struktural, bagaimana memastikan perencanaan formasi ASN sesuai kebutuhan jangka panjang?, bagaimana menghindari pengangkatan honorer baru secara diam-diam?, bagaimana menjamin tidak ada lagi tenaga kerja yang dikorbankan karena “celah kebijakan” ditutup pusat?

Pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab. Sementara ratusan honorer menunggu kepastian yang tidak kunjung datang.

Selama pemerintah saling melempar tanggung jawab antara pusat dan daerah, 389 honorer kini hidup dalam ketidakpastian. Mereka harus menunggu rapat internal, menunggu kebijakan baru, menunggu “bentuk ruang kerja” yang bahkan belum dirumuskan.

Mereka adalah wajah dari sebuah sistem birokrasi yang masih gagal menjamin keadilan bagi orang-orang yang telah mengabdikan hidupnya pada pelayanan publik.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan 389 honorer Kota Ternate.

Hemat penulis, Pertama, Skema Kontrak Jasa Lainnya Perorangan (JLP)/Outsourcing Resmi, karena Pemkot dilarang mengeluarkan SK honorer, solusi paling aman secara hukum adalah Mengontrak mereka melalui penyedia jasa atau Jasa Lainnya Perorangan (JLP) sesuai Perpres 12/2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

Dalam Mekanisme Pengadaan Jasa: Instansi pemerintah yang membutuhkan tenaga non-PNS/PPPK (seperti petugas kebersihan, keamanan, pramubakti) harus melakukan pengadaan melalui pihak ketiga (perusahaan outsourcing) sesuai dengan aturan yang diatur dalam Perpres 12/2021 dan aturan turunannya dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Status mereka bukan ASN, tetapi tetap bekerja di instansi pemerintah dengan kontrak kerja yang jelas (durasi, upah, perlindungan kerja).

Jika ini dilakukan, maka secara legal, tidak melanggar UU ASN 2023, bisa menampung ratusan honorer secara bertahap, kontrak bisa disesuaikan kebutuhan OPD. Meski begitu Pemkot harus transparan menentukan penyedia jasa untuk mencegah monopoli dan praktik tidak sehat.

Kedua, Mengintegrasikan Honorer ke Proyek-Project Based (Kontrak Kegiatan). OPD dapat menampung tenaga non-ASN melalui kontrak berbasis kegiatan, misalnya digitalisasi arsip layanan kebersihan dan keamanan, administrasi event, pendataan dan survei daerah, penanganan lingkungan hidup, program pemberdayaan ekonomi. Skema ini legal, karena bukan pengangkatan pegawai, tetapi kontrak kerja berbasis program.

Ketiga, Pemanfaatan Dana BOK, BOSDA dan Dana Transfer Lain Untuk tenaga kesehatan dan pendidikan: Dinas Kesehatan dapat memakai BOK, sesuai juknis. Dinas Pendidikan bisa memakai BOSDA untuk menampung tenaga pendukung tertentu. Namun harus dipastikan tidak melanggar juknis, tidak membebani anggaran operasional sekolah/puskesmas, kuota dan peran jelas, tidak asal menampung.

Keempat, Job Fair Khusus Pemkot dengan Prioritas Honorer, jika job fair dibuka, maka 389 honorer harus diberi prioritas melalui jalur afirmasi, seleksi tidak boleh disamakan dengan pelamar umum, harus ada matching yang sesuai kompetensi mereka. Solusi ini bisa berjalan, tetapi tidak cukup jika tidak ada afirmasi. Tanpa prioritas, mereka akan bersaing dengan pelamar baru dan kehilangan kesempatan.

Kelima, Penguatan Pelatihan dan Upskilling Sebelum Penempatan, Pemkot wajib menyiapkan pelatihan digital dasar, pelatihan pelayanan publik, pelatihan administrasi dan tata naskah, sertifikasi kompetensi teknis (untuk keuangan, operator, teknisi, kesehatan). Tujuannya agar honorer kompetitif memenuhi standar kerja pemerintah siap ditempatkan di OPD mana pun.

Keenam, Pengusulan Formasi Baru Tahun Depan. Walaupun mereka tidak bisa masuk PPPK paruh waktu, Pemkot bisa mengusulkan formasi PPPK penuh waktu atau ASN formasi teknis tahun berikutnya dengan catatan harus masuk database kebutuhan ASN, honorer lama diberikan afirmasi sesuai PermenPAN RB yang berlaku, Ini solusi jangka menengah bukan instan, tetapi paling strategis.

Ketujuh, Membentuk Satgas Penanganan Honorer 389 Orang untuk menghindari carut-marut, Pemkot harus membuat Satgas khusus bersama DPRD, BKPSDM, Bappeda, Inspektorat, dan OPD pengguna tenaga, bekerja cepat dalam 2–3 minggu, memetakan kompetensi honorer, menentukan OPD yang bisa menampung, merumuskan payung hukum kontrak kerja, Tanpa satgas, honorer akan terus digantung.

Kedelapan, Transparansi Anggaran dan Prioritas Belanja Pegawai. DPRD harus memastikan tidak ada tumpang tindih belanja pegawai, formasi ASN direncanakan berdasarkan kebutuhan nyata, anggaran untuk tenaga pendukung tidak diselewengkan. Sementara transparansi ini kunci agar solusi tidak hanya retorika.***

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version