Opini  

Tanah Kaya, Rakyat Merana: Paradoks Pembangunan di Ujung Timur

Oleh: Faldi Ramli

____________________

DI tanah timur Nusantara, termasuk Maluku Utara yang mewarisi rahmat laut luas, rempah bernilai sejarah, tambang berlimpah, dan hutan rimbun, terbentang pusaka alam seolah titipan suci dari generasi leluhur. Namun di tanah sekaya ini, lahir ironi yang menampar rasa keadilan: limpahan anugerah belum menumbuhkan kemakmuran sejati bagi rakyatnya. Sebaliknya, luka struktural terus diwariskan turun-temurun, memelihara ketimpangan yang semakin mencolok. Kekayaan justru dirampas segelintir pemilik modal, sementara rakyat yang menjaga dan merawat tanahnya tetap terpinggirkan. Marx menyebut ini sebagai perampasan nilai lebih (surplus value), di mana tenaga, tanah, dan sumber daya rakyat dihisap untuk memperkaya minoritas. Rakyat teralienasi — terpisah dari alat produksi, dari tanahnya, dari lautnya — dan tak lagi berdaulat atas sumber penghidupan yang mestinya menjadi hak kolektif.

Panggung pembangunan di Maluku Utara berkali-kali dihiasi narasi gemerlap, diwarnai slogan-slogan yang menyanjung kemajuan. Namun di desa-desa dan pesisir, kemiskinan tetap membatu, ketimpangan mencengkeram, dan pembangunan dasar tertatih-tatih. Di setiap musim pemilu, janji kesejahteraan dijual bak komoditas, tetapi hak rakyat tetap dibatasi oleh sistem yang lebih mengutamakan akumulasi modal ketimbang keadilan distribusi. Konsep Marx tentang basis dan superstruktur terlihat jelas di sini: kebijakan pembangunan (superstruktur) dikuasai oleh kepentingan segelintir elite ekonomi (basis), yang menata seluruh institusi agar mempertahankan pola dominasi. Rakyat sekadar menjadi bidak politik, bukan penentu arah pembangunan.

Ali Shariati pernah menyinggung “kesadaran tertindas,” dan Marx menamainya false consciousness — keadaan di mana rakyat dibuat percaya bahwa ketertindasan adalah takdir, padahal sesungguhnya hasil rekayasa struktur sosial yang timpang. Di Maluku Utara, banyak masyarakat akhirnya pasrah, kehilangan keberanian menuntut hak, sebab setiap suara kritis dibungkam atas nama stabilitas. Padahal stabilitas semacam ini hanyalah kedok agar jalannya eksploitasi tetap aman. Marx mengingatkan, sistem kapitalistik sengaja merawat kesadaran palsu, agar rakyat tak pernah menyadari posisi mereka sebagai kelas tertindas. Akhirnya, pembangunan berubah menjadi panggung tipu daya, di mana rakyat diperlihatkan sepotong pencitraan, sementara kenyataan di bawah tetap pahit dan getir.

Alam Maluku Utara perlahan digerogoti oleh logika kapitalistik yang memandang tanah, laut, dan hutan hanya sebagai komoditas. Nilai kegotongroyongan, pela gandong, dan solidaritas adat dilumpuhkan oleh relasi produksi kapitalisme yang menuntut kompetisi dan individualisme. Hutan dijadikan izin konsesi, laut dijarah tanpa ampun, dan tanah adat dicabik demi investasi tambang. Dalam teori Marx, ini adalah bentuk pemutusan hubungan rakyat dengan alat produksinya, yang menyebabkan hilangnya kemandirian ekonomi komunitas lokal. Rakyat hanya diposisikan sebagai penyedia tenaga murah, sementara nilai lebihnya dicuri oleh mereka yang berkoar pembangunan. Akibatnya, kampung-kampung terjebak dalam krisis — air bersih tercemar, sumber pangan terancam, budaya tercerabut.

Konsep pembebasan dalam pemikiran Shariati selaras dengan gagasan Marx tentang emansipasi manusia: rakyat harus merebut kembali kendali atas hidup dan tanahnya, bukan sekadar menjadi alat pembangunan palsu. Kebangkitan sejati bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, tetapi memulihkan martabat manusia agar kembali berdaulat atas cara produksinya. Tanpa kesadaran kolektif, rakyat hanya akan terus diperas oleh elite yang memanfaatkan jargon pembangunan untuk meraup keuntungan. Marx menegaskan, penindasan hanya bisa dihentikan bila rakyat sadar sebagai subjek sejarah, bukan roda mesin produksi yang terus dieksploitasi.

Bila Marx menyebut ini perampasan nilai lebih, maka di sini kita melihat perampasan nilai hidup, perampasan nilai martabat, perampasan rasa memiliki atas pusaka leluhur. Seolah rakyat hanya diperkenankan menjadi penonton di tanah sendiri — meratap di tepi dermaga saat hasil lautnya direnggut, atau menyeka air mata di pinggir hutan ketika tanah adatnya berubah menjadi konsesi tambang. Kapitalisme, yang berwujud jargon pembangunan, datang meninabobokan rakyat dengan narasi “kemajuan,” padahal di kedalaman sunyi kampung, derita makin mencengkeram.

Inilah tragedi yang dibungkus spanduk pembangunan: rakyat diubah menjadi pion, diatur langkahnya, dijinakkan suaranya, dan dihapus ingatannya tentang kebebasan sejati. Kesadaran kolektif dipecah-pecah agar tak sempat menuntut keadilan, sebab bagi elite, rakyat yang tercerai-berai jauh lebih mudah dikuasai ketimbang rakyat yang bersatu menuntut haknya. Maka tak mengherankan bila pela gandong, sebagai simbol persaudaraan, sengaja dilemahkan — agar budaya gotong royong terkikis oleh kompetisi tak sehat, dan solidaritas berganti menjadi sikap pasrah yang mematikan.

Padahal tanah ini pernah dihuni manusia merdeka, yang menaklukkan gelombang dengan sampan sederhana, yang memanen pala dan cengkih bukan sekadar demi uang, tetapi demi menjaga keberlangsungan pusaka anak cucu. Sekarang, semua terancam oleh serakahnya modal dan ketulian negara yang lebih sibuk menanam bendera investasi ketimbang menegakkan martabat rakyatnya. Di sana-sini, orang bicara pembangunan, tetapi pembangunan yang meminggirkan rakyat bukanlah kemajuan, melainkan penindasan dengan rupa baru.

Sampai kapan tanah ini terus meneteskan air mata? Sampai kapan generasi mendatang hanya diwarisi luka tanpa pengampunan? Sudah saatnya kita merumuskan pembangunan yang berpihak pada kehidupan, bukan pada kapital; pembangunan yang menumbuhkan cinta, bukan kerakusan; pembangunan yang memulihkan harmoni adat, bukan mencabiknya menjadi proyek kertas tanpa ruh.

Maluku Utara membutuhkan pembangunan berwajah manusia, yang menolak logika akumulasi modal semata dan memutus rantai ketergantungan struktural. Ini menuntut perubahan radikal dalam basis produksi, agar rakyat tidak hanya menjadi buruh tambang di tanah sendiri, melainkan benar-benar menguasai hasil bumi untuk kemaslahatan bersama. Karena selama pola relasi produksi masih timpang, pembangunan akan terus menjadi instrumen menindas rakyat di balik dalih kemajuan. Marx menyebutnya sebagai dominasi kelas — sebuah kekuasaan yang memaksa rakyat menyerah pada takdir palsu, padahal sebenarnya bisa diperjuangkan.

Inilah suara Maluku Utara, suara yang bertahun-tahun ditekan oleh koalisi kuasa dan modal. Cukup sudah rakyat menjadi korban di tanahnya sendiri, cukup sudah dihinakan oleh janji palsu, cukup sudah dikurung dalam jerat kemiskinan struktural yang direkayasa tangan manusia. Kini saatnya rakyat menuntut pembangunan yang adil, memerdekakan, dan membebaskan. Agar tanah kaya ini tak lagi merawat luka, tetapi menumbuhkan harapan dan martabat, memulihkan pela gandong sebagai basis solidaritas, dan menegakkan hak rakyat untuk berdaulat penuh atas alat produksi mereka sendiri — sebagaimana layaknya manusia merdeka yang dimuliakan di tanah warisan leluhur. (*)

Exit mobile version