Polmas  

Pengangguran Menggila, Kesejahteraan Kapitalisme Fatamorgana

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Mahasiswa Pascasarjana MMPT UGM

NASIB para pekerja di Indonesia masih rawan dari PHK mengingat dalam beberapa tahun terakhir gelombang pengangguran semakin tinggi dan tak terkendali. Berdasarkan data yang dilansir BPS, terdapat 7,99 juta pengangguran per Februari 2023. Dimana jumlah tersebut setara dengan 5,45 persen dari total keseluruhan 146,52 juta angkatan kerja.

Senada dengan hal ini, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Data Statistik pun mengulik fakta serupa bahwa terdapat 5,86 persen pengangguran terbuka pada Februari 2023, meskipun menurut Deputi Bidang NASB tersebut menyebutkan bahwa terdapat penurunan angka pengangguran secara signifikan, namun tetap tidak dapat dipandang remeh. Yang lebih ironi lagi jika berdasarkan jenis kelamin, pengangguran terbanyak ada pada laki-laki sebesar 5,83 persen dan perempuan sebanyak 4,86 persen.

Hal ini sejalan dengan jumlah angkatan kerja yang memang masih didominasi oleh kaum laki-laki. Sedangkan, jika berdasarkan wilayah, pengangguran di perkotaan masih relatif lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Pengangguran di perkotaan tercatat sebanyak 7,11 persen dan di pedesaan sekitar 3,42 persen.

Selain itu, fakta menunjukan bahwa tingginya angka PHK dan pengangguran di 2023 ini justru melebihi yang pernah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Alih alih para pengamat dan ahli ekonomi memberikan pujian dengan sejumlah kemungkinan positif ekonomi Indonesia bertumbuh realita, justru sebaliknya struktur ekonomi Indonesia pada kuartal 1/2023 belum menunjukkan perbaikan. Konstribusi sektor manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) justru tergerus secara terus menerus. Pada kuartal 1/2023, misalnya, sektor manufaktur hanya berkontribusi ke PDB sebesar 18,57 persen atau terendah selama 4 tahun terakhir.

Sekadar perbandingan, pada kuartal 1/2019 lalu konstribusi sektor industri pengolahan ke perekonomian mampu menembus angka 20 persen, kemudian turun pada kuartal 1/2020 menjadi 19,98 persen, 19,84 persen pada kuartal 1/2021, turun lagi menjadi 19,19 persen pada tiga bulan pertama tahun 2022. Trend  menunjukan Indonesia sedang terancam deindustrialisasi di waktu yang sama kehilangan pekerja formal akibat semakin minim lapangan kerja.  Ini terlihat dari data BPS yang mengungkapkan bahwa jumlah pekerja informal di Indonesia terus mengalami kenaikan.

Pada Februari 2020 lalu, jumlah pekerja formal tercatat sebesar 43,36 persen dan sektor informasi sebanyak 56,64 persen. Jumlah pekerja informal naik menjadi 59,62 persen, sedangkan pekerja formal tersisa 40,38 persen pada Februari 2021. Persentase jumlah pekerja formal terus tergerus pada tahun-tahun setelahnya, pada Februari 2022 BPS mencatat jumlah pekerja formal tersisa menjadi 40,03 persen. Sementara jumlah pekerja informal melejit hingga 59,97 persen.

Jika mengacu pada data BPS per Februari 2023 lalu, jumlah pekerja informal malah menembus angka 60,12 persen atau mengalami kenaikan 0,15 persen. Pekerja formal tercatat anjlok menjadi 39,88 persen. Data mengenai tren peningkatan pekerja informal itu sejalan dengan tren penurunan penduduk yang berstatus sebagai buruh, karyawan dan pegawai.

Berdasarkan data BPS jumlah buruh dalam waktu 3 tahun terakhir mengalami penurunan dari 37,02 persen pada Februari 2021 menjadi 36,72 persen pada Februari 2022, dan turun ke angka 36,34 pada Februari 2023. Sebaliknya persentase penduduk yang berusaha sendiri terus naik setiap tahunnya. Pada Februari 2021, jumlah orang yang bekerja sendiri sebanyak 19,57 persen naik menjadi 19,84 pada Februari 2022. Pada perioede Februari 2023 jumlah orang yang berusaha sendiri menembus angka 20,67 persen.

Fakta di atas akhirnya menyisakan ironi yang mendalam. Pasalnya rakyat yang jumlahnya ratusan jiwa ini tidak mendapatkan hak dan jaminan kesejahteraan hidup sebagaimana yang termaktub secara yuridis dalam UUD 1945 yang telah menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Berikut hak dan kewajiban negara untuk menyediakan dan menyuplai berbagai kebutuhan utama termasuk lapangan pekerjaan ini menjadi paradoks akan eksistensi penerapan sistem demokrasi. Banyaknya lulusan SMK dan sekolah advokasi pun ternyata tidak mampu memberikan akses yang mudah dalam memilih dan mendapatkan pekerjaan yang diimpikannya. Alhasil, mereka berjuang secara mandiri untuk bisa survive dalam mengahadapi realitas kehidupan yang serba sulit ini.

Paradoksnya kebijakan di atas sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme yang neolib yang sarat atas kepentingan elit politik. ini dapat dibuktikan dengan eksistensi industri hari ini yang sangat lemah dan rentan dimonopoli atau dikendalikan oleh oligarki dan para korporator swasta, sehingga tidak mengherankan berbagai bursa kerja dan lahan industri minim dari terserapnya masyarakat pribumi ke dalamnya. Padahal mereka adalah subjek yang memiliki hak sepenuhnya atas keberadaan industrialisasi saat ini.

Padahal Islam mewajibkan negara sebagai pihak yang harus menyediakan lapangan kerja memadai sebagai salah satu mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Para laki-laki baligh diberikan kemudahan akses dalam memperoleh pekerjaan yang nanti akan berdampak langsung pada pemenuhan kebutuhan keluarga secara integral.

Selain itu pula, Islam juga mendesign sistem pendidikannya yang berorientasi pada terwujudnya insan yang bertakwa yang bersyaksiyyah Islam. Di samping memiliki kecakapan skill atas penanaman pengetahuan sains dan teknologi yang tepat guna, sehingga tidak ada lulusan yang tidak termanfaatkan. Mereka adalah orang orang yang berkapasitas tinggi dan kredibel dalam amanah pekerjaannya. Lebih dari itu, Islam memiliki model pembangunan yang mensejahterakan umat, seperti contoh yang terjadi pada zaman Umar Bin Abdul Aziz. Saat itu, saking sejahterahnya masyarakat, sang khalifah sangat susah mencari orang miskin sehingga ke sana kemari mencari orang yang berhak menerima zakat pun tak ada yang bersedia mengambilnya, artinya saat itu tidak ada orang yang hidupnya di bawah garis kemiskinan.

Adapun dalam sektor industry, sistem Islam akan mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin), sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain. Selama ini negara-negara Barat selalu berusaha menghalangi tumbuhnya industri alat-alat di negeri-negeri kaum Muslim agar negeri-negeri Muslim hanya menjadi pasar bagi produk mereka.

Di sektor kelautan dan kehutanan serta pertambangan, Khalifah sebagai wakil umat akan mengelola sektor ini sebagai milik umum dan tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Selama ini ketiga sektor ini banyak diabaikan atau diserahkan kepada swasta, sehingga belum optimal dalam menyerap tenaga kerja.

Negara juga tidak akan mentoleransi sedikitpun berkembangnya sektor non-real. Sebab, di samping diharamkan, sektor non-real dalam Islam juga menyebabkan beredarnya uang hanya di antara orang kaya saja serta tidak berhubungan dengan penyediaan lapangan kerja. Bahkan sebaliknya, sangat menyebabkan perekonomian labil.

Menurut penelitian J.M, Keynes, perkembangan modal dan investasi tertahan oleh adanya suku bunga; jika saja suku bunga ini dihilangkan, maka pertumbuhan modal akan semakin cepat. Hasil penelitian di Amerika membuktikan bahwa masyarakat berhasil menabung lebih banyak pada saat bunga rendah bahkan mendekati nol.

Dalam iklim investasi dan usaha, Khalifah akan menciptakan iklim yang merangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi yang sederhana dan penghapusan pajak serta melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat.

Disamping itu, dalam kebijakan sosial yang berhubungan dengan pengangguran, Khalifah tidak mewajibkan wanita untuk bekerja, apalagi dalam Islam. Fungsi utama wanita adalah sebagai ibu dan manajer rumah tangga (ummu wa rabbah al-bayt). Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja wanita dan laki-laki. Dengan kebijakan ini wanita kembali pada pekerjaan utamanya, bukan menjadi pengangguran yang tak berdaya, sementara lapangan pekerjaan sebagian besar akan diisi oleh laki-laki, kecuali sektor pekerjaan yang memang harus diisi oleh wanita.

Itulah mekanisme Islam yang Insyaallah akan mampu mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan secara adil. Ini hanya akan terwujud, jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai Negara. Wallahu a‘lam. (*)

Exit mobile version