Opini  

Menyoal Keruhnya Sungai Sagea

Raihun Anhar.

Oleh: Raihun Anhar, S.Pd

Pemerhati Umat & Lingkungan

SEJAK Agustus 2023, air sungai Sagea hingga ke geopark Boki Maruru keruh karena hujan berkepanjangan. Hal ini bukan hal biasa. Beberapa pemuda mencoba menelusuri sungai untuk mengetahui penyebabnya. Berdasarkan penelusuran itu dikatakan bahwa PT. IWIP-lah dalang dibalik kerusakan tersebut. Digelar demo oleh masyarakat menuntut PT. IWIP, kemudian disusul aksi mahasiswa di Ternate yang ditanggapi oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Malut dengan menghentikan sementara aktivitas lima perusahaan, di antaranya PT. WBN, PT. First Pasific Mining, PT. Halmahera Sukses Mineral, PT. Tekindo Energi, dan PT. Karunia Sagea Mineral.

Belum puas dengan keputusan DLH, mahasiswa kembali aksi meminta dicabut izin kelima perusahaan tersebut. Aksi juga digelar di kantor pusat PT. IWIP oleh mahasiswa Halmahera Tengah. Masalah ini juga dikaitkan dengan pencabutan SK Geosite Boki Maruru oleh PJ. Bupati Halmahera Tengah.

Untuk memastikan lagi kerusakan lingkungan ini, DLH turun lapangan guna menginvestigasi dan hasilnya berbeda dengan penelusuran pemuda. DLH menyimpulkan sementara bahwa pencemaran sungai Sagea bukan karena tambang. Begitulah yang dilansir di Malutpost.co.id (7/9). Namun tidak masuk akal juga jika mengatakan pencemaran tersebut bukan akibat tambang mengingat terdapat aktivitas penambangan di sekitaran area sungai Sagea.

Dua pernyataan yang berbeda, tentu makin membingungkan masyarakat. Muncullah pertanyaan-pertanyaan dibenak masyarakat, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar PT. IWIP biang keroknya? Jika tidak benar, berarti hasil penelusuran pemuda itu salah. Sedangkan apabila benar, mengapa PT. IWIP tidak ada dalam daftar lima perusahaan yang disebutkan oleh DLH?

Untuk itu perlu kita dudukkan perkara ini baik-baik. Sebenarnya yang ingin diketahui adalah penyebab keruhnya sungai Sagea yang berkorelasi dengan aktivitas penambangan. Maka harusnya fokus ke permasalahan tersebut dan mencari solusi terbaik agar tidak terulang lagi.

Penyebab Pencemaran Sungai

Penyebab sungai tercemar, di antaranya karena sampah, limbah perusahaan atau pabrik, senyawa organik seperti logam dan lainnya, serta endapan tanah yang biasa terjadi karena adanya pengaruh dari lingkungan sekitar yang berupa tanah atau lumpur dari erosi.

Dari penyebab-penyebab pencemaran sungai, dapat dikatakan bahwa penyebabnya tercemarnya sungai Sagea adalah endapan tanah yang mengakibatkan erosi sehingga membawa partikel tanah ke sungai hingga keruh. Mengingat daerah sekitar sungai tidak sehijau dulu dan terdapat pembukaan lahan untuk perluasan pemukiman masyarakat dan pertambangan. Seperti kata seorang ahli lingkungan yakni Ketua Bidang Konservasi, Kampanye dan Advokasi, Masyarakat Speleologi Indonesia, Mirza Ahmad Heviko kepada halmaheranesia.com (7/9):

Jika kita jalan ke Boki Maruru dahulu kami masih melewati kebun masyarakat yang masih hijau tetapi sekarang area hijau telah berubah menjadi pemukiman masyarakat dan telah dibuka jalan menuju ke sana. Dahulu waktu kami berkunjung ke Sagea masih melihat banyak dari gunung Kawinet tetapi sekarang terlihat gersang.

Hal ini sama halnya seperti di Lelilef jika hujan berkepanjangan laut pun ikut tercemar akibat gersangnya desa tersebut. Hal ini dikarenakan pembebasan lahan untuk pertambangan dan perluasan pemukiman masyarakat yang harus menyulap hutan atau kebun menjadi pemukiman. Saat curah hujan besar, tidak ada pohon yang menahan air. Walhasil air dan tanah ikut mengalir ke laut dan menjadi keruh.

Berbicara soal pencemaran lingkungan di daerah pertambangan memang sebuah kewajaran. Jika ada tambang yang banyak dan besar tentu lingkungan sekitar akan tercemar. Sagea adalah desa yang masuk dalam lingkar tambang. Maka pencemaran itu telah menjadi konsekuensi yang harus diterima jika daerah kita dikelilingi oleh tambang.

Halteng adalah salah satu wilayah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) seperti nikel, asbes, dan lainnya. Hal ini tentu mengundang investor untuk mengeruknya. Walhasil banyak sekali perusahaan tambang di Halteng. Terlebih lagi hidup dalam sistem kapitalisme yang mana diberikan kebebasan SDA dikelola Asing dan Swasta tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan di kemudian hari.

Begitulah watak kapitalisme, tidak melihat lebih jauh dampak dari segala tindakan yang diambil melainkan menginginkan materi. Tidak masalah lingkungan rusak asalkan banyak uang. Masyarakat diiming-imingi kesejahteraan dengan masuknya tambang dan mereka pun menerimanya padahal itulah prank kapitalisme. Mana ada sejahtera, lingkungan rusak dan sakit-sakitan yang kita rasakan walaupun banyak harta. Kesejahteraan bukan hanya dilihat dari segi materi, melainkan banyak hal yang dilihat termasuk kesehatan dan lingkungan.

Maka dapat disimpulkan bahwa biang masalah Sungai Sagea dan Boki Maruru adalah sistem kapitalisme yang memberikan peluang negeri ini di rombak oleh para kapitalis demi mengambil SDA yang ada di dalam perut bumi. Oleh sebab itu, kita butuh Islam untuk selamatkan lingkungan hidup kita yang makin hari makin sempit dan tercemar.

Islam Melarang Merusak Lingkungan

Allah SWT telah menciptakan manusia untuk mengelola bumi. Hal ini Allah sampaikan dalam QS Al-Baqarah ayat 30

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Manusia Allah ciptakan sebagai khalifah yang mengatur bumi dan dilarang melakukan kerusakan baik di darat maupun di laut, contohnya seperti tambang hari ini. Tambang sejatinya tidak harus merusak lingkungan separah yang kita lihat kini. Allah telah memperingati manusia untuk tidak merusak alam. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Araf [7] : 56).

Dengan perintah inilah, seorang pemimpin (Khalifah) tidak akan merusak lingkungan. Khalifah akan berusaha menjaga bumi dengan baik. Tidak membiarkan siapapun untuk merusaknya. Maka di dalam Islam tidak akan kita temukan perusahaan tambang yang merusak lingkungan. Ditambah tidak akan ada orang asing atau swasta yang mengambil keuntungan dari SDA itu, melainkan untuk semuanya karena SDA merupakan harta milik umum. Sebagaimana hadis berikut ini. Rasulullah Saw bersabda:

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dengan demikian, masalah pencemaran lingkungan tidak akan kita dapati. Hidup tenang dan bisa menikmati keindahan alam yang telah diberikan Sang Pencipta seperti Boki Maruru. Dinikmati dengan bersyukur agar diridhoi oleh Allah SWT, dengan begitu maka akan tercipta kehidupan yang diridhoi Allah. Jika Allah telah meridhoi kita, maka kehidupan yang dahulu dirasakan oleh masyarakat Habasiyyah akan kita rasakan. Mereka tidak ada yang berhak menerima zakat karena semuanya kaya.

Kehidupan di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah kehidupan dambaan setiap hamba. Dimana hewan saja hidup rukun tidak saling berebut makanan karena ridho Allah. Manusia tak ada yang berhak menerima zakat. Bahkan para jomblo diberi modal nikah oleh negara karena negaranya kaya. Mereka hidup sejahtera dan memilki pemimpin yang mencintai rakyatnya serta taat pada Sang Pencipta. Lingkungan mereka pun tidak rusak. Bukankah kita menginginkan kehidupan yang demikian? Wallahualam bishawab. (*)