(Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober)
Oleh: Yahya Alhaddad, S. Sos, Msi
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Bayangkanlah! Lensa sejarah kemerdekaan adalah bukti begitu dahsyatnya kekuatan mengintegrasikan orang-orang di berbagai belahan bumi Indonesia yang sekalipun bagi Benedict Anderson (2021) menyebutnya “Komunitas Terbayang”. Suatu komunitas terbayang dengan niatan kuat yang berjuang demi martabat kemanusiaan yang bahkan walau kemampuannya terbatas, mereka mampu melumpuhkan tembok pendindasan, kekerasan dan ketidakadilan.
Dalam berbagai sejarah gerakan sosial di dunia tak hanya melibatkan, akan tetapi penggerak utamanya adalah kaum muda. Sebagai tonggak pergerakan, kemampuan mengubah keadaan selalu dilekatkan dan memang jika bukan kaum muda lalu kepada siapa masyarakat harus menaruh harap. Pernyataan tentang harapan akan pemajuan yang melekat di atas pundak kaum muda—dan di Indonesia sejak tumbangnya orde lama hingga sekarang ini sungguh menyisakan pesimistik. Sebab spirit pergerakan kaum muda dalam melakukan terobosan faktual tampak mengalami pemerosotan.
Mengapa demikian! Kaum muda yang digadang-gadang, jika para pendiri bangsa pada zamannya mencoba membawa bangsa ini ke depan pintu gerbang, maka kaum muda sekarang ini harusnya telah membawa bangsa ini melewati ribuan kilometer pintu gerbang. Menikmati rasanya buah anggur, korma, ragam kue lezat pembangunan sebagai asupan nutrisi secara merata dan berkeadilan. Tetapi sungguh sangat disayangkan, kaum muda justru menarik mundur bangsa ini menjauh ratusan kilo meter dari pintu gerbang.
Persoalan tentang pemajuan yang signifikan justru memperlihat potret sebuah lanskap di mana pelibatan kaum muda rela menundukkan diri dan membawa masyarakat ke dalam perahu yang melaju ke pulau romantisme. Perayaan Hari Sumpah Pemuda 28 Okteber yang dirayakan setiap tahun bila dicermati dengan baik dapat dikatakan, kita kaum muda lebih cenderung bernostalgia dengan gerakan-gerakan kaum muda masa silam melalui saluran media sosial, diskusi, retorika, ucapan kata-kata yang dipoles seindah mitos tentang taman Firdaus.
Tetapi untuk dapat mengubah wajah bangsa ini dari kemelut keterpurukan dan serakahnya kebijakan bersifat koruptif—pembangunan berkeadilan sangatlah sulit diwujudkan. Padahal peran kaum muda adalah mengontrol dan mengawal kebijakan pembangunan. Saya melihat watak progresif dan militansinya nyaris tersumbat di dasar sumur rasionalitas kekuasaan yang seolah terlanjur mapan.
Misalnya beberapa hari lalu media cermat.co.id memberitakan, pemerintah Kota Ternate, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) menyebutkan akan memprioritaskan tiga kecamatan terluar yakni Batang Dua, Hiri dan Moti (BAHIM) sebagai lokasi budi daya sektor perikanan. Kebijakan ini sungguh adalah suatu upaya mendorong pemajuan masyarakat yang patut apresiasi, dikawal dan penting pelibatan pemuda sebagai motor penggeraknya. Namun apabila ditelaah jauh lebih ke dalam ada dua hal penting yang perlu disoroti dan dikoreksi yakni: pertama, soal Batang Dua, Hiri dan Moti yang ditempatkan statusnya sebagai kecamatan terluar.
Bayangkanlah! Istilah terluar yang digunakan secara pemaknaan sungguh tidak etis sebenarnya, sebab berkaitan kuat dengan soal marginalitas, terisolasi, pinggiran, orang-orang terbelakang, orang-orang rendahan yang perlu diangkat derajatnya melalui sentuhan pembangunan. Cara pandangan system politik seperti ini mestinya dirubah, sebab penyebutan tersebut sama berartinya menciptakan jarak, perbatasan, pembedaan; kota dan kampung kumuh, pusat dan pinggiran, maju dan terbelakang, beradab dan tidak beradab. Artinya bahwa status terluar yang dilekatkan pada masyarakat di tiga pulau tersebut selama ini tak anggap oleh system politik dikarenakan logika yang digunakan adalah logika rasional yang mengacu pada sirkulasi ekonomi ketimbang logika keadilan.
Kedua, pulau Moti akan diprioritaskan sebagai lokasi budi daya ikan air tawar jenis ikan nila. Kebijakan ini menurut saya tidak tepat sasaran sama sekali. Dikarenakan pola pemukiman masyarakat pulau Moti adalah masyarakat pesisir. Yang artinya, pola makan jenis ikan masyarakat Moti adalah ikan laut, tidak mengenal pola konsumsi ikan air tawar. Sedangkan ikan air tawar lebih dikenal dan dikonsumsi oleh pola hidup masyarakat yang bermukim di pedalaman, bantaran sungai, tidak mengenali laut sehingga kebijakan ini perlu dipertimbangkan secara matang karena jika tidak program unggulan ini hanya akan menyisakan kegagalan.
Hal-hal kecil dan tampak sederhana seperti ini terkadang luput, tidak terpikirkan, terabaikan dalam sorotan kaum muda yang selama ini disebut-sebut sebagai agen perubahan. Tahukah kita, bahwa sesuatu hal sederhana yang tak dianggap sebagai masalah justru dalam tahapannya sekalipun sulit diprediksi, tetapi suatu kelak akan dapat mengubah kultur masyarakat tempatan, menyisakan ketimpangan sosial-ekonomi dan mencederai martabat kemanusiaan.
Kenyataan seperti ini bagi saya sebenarnya menjadi titik tolak di mana kaum muda harus mengambil peran dan menyatakan sikap keberpihakannya. Sekalipun kaum muda dalam fase perkembangan cukup banyak melakukan manuver dalam bidang politik praktis sebagai bentuk keberpihakan tetapi masih tampak ironis. Misalnya banyak kaum muda yang manuver di parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat dan janganlah berharap agar mereka dapat mewakili kepentingan masyarakat ketika terpilih, sebab, yang ada adalah pemberian harapan palsu.
Persoalan demikian sehingga pada akhirnya berakibat pada hilangnya kepercayaan publik terhadap kaum muda yang menduduki jabatan-jabatan publik. Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik tersebut salah satu sebabnya dapat kita mencermatinya pada saat momentum politik praktis. Menjalang pemilu semua kandidat tampak menyadari betul bahwa peluang memenangkan pertarungan berdasarkan prinsip demokrasi sangat mustahil diwujudkan.
Agar supaya dapat terpilih kembali menjadi pejabat publik, instrument utama yang ditempuh adalah menyediakan budget, meningkatkan biaya pemilu sebesar mungkin guna melakukan praktek pembelian suara dan sudah saya uraikannya dalam artikel saya (baca: “Investasi Politik” laman nuansamalut.com). Fenomena praktek pembelian suara dalam system demokrasi ini yang mestinya menjadi salah satu agenda utama kaum muda untuk menciptakan atmosfer pemilu yang bersih, jujur, adil dan terbuka.
Untuk memutuskan mata rantai pembelian suara oleh calon kandidat, maka yang perlu dilakukan adalah mengusung orang-orang yang memiliki public figure, berkarismatik, memiliki rekam jejak intelektualitas dan moralitas sebelum berkarier dalam dunia politik praktis—memilih seseorang atas dasar trust, etika politiknya, integritasnya, bukan karena nilai ekonomisnya.
Adalah sebagai upaya-upaya kaum muda mendorong proses pemajuan pembangunan yang berbasis pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan berkeadilan. Akan tetapi, jika selama kaum muda masih terus-menerus terjebak dalam pusaran romantisme, tidak sikap kritis dan mendorong pemajuan faktual—maka yang ada bukan kaum muda namanya, melainkan “Kaum Mudah-Mudahan”. (*)