Buah Kesabaran Tukang Sol Sepatu di Ternate

Safar tengah sibuk memperbaiki sepatu pelanggan di lapaknya. (Udi/NMG)

TERNATE, NUANSA – Meski tak lagi muda, Safar Ishak masih terus bersemangat menekuni profesi langka sebagai tukang sol sepatu. Wajah kusut itu dipenuhi peluh, pria yang ditaksir dengan usia kepala lima itu duduk di bawah payung butut bersama sebuah meja kecil.

Ia hanya berbekal jarum, lem, semir dan sejumlah peralatan lainnya. Tangan pria ringkih itu sangat cekatan memperbaiki sepatu mikik konsumennya.

Sudah puluhan tahun ia melakoni pekerjaan itu. Himpitan ekonomi dan besarnya kebutuhan biaya hidup, tentu membuat ia harus bertekad bulat dan rela berjibaku menafkahi keluarganya.

Safar mengaku, untuk mereparasi sepatu atau sandal, harganya tergantung dari besar dan kecilnya kerusakan yang harus diperbaiki. Pagi itu menjelang siang, Safar dan 12 orang tukang sol sepatu sibuk dengan pekerjaannya. Ada yang menjahit sepatu, tas hingga koper.

Mereka membangun lapak sederhana di emperan Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate. Meski tak mendapat sentuhan dari Pemkot Ternate berupa lapak yang layak, mereka tetap bersemangat.

Di bawah sinar mentari yang menyengat, ada asa membara bagi kaum papa. Mengumpulkan pundi-pundi rupiah, walau tidak seberapa yang penting dapat menghidupi keluarga.

Safar menceritakan, ia mulai melakoni profesi itu sejak 1994, tepatnya di depan Toko Sinar Indah. Setelah itu, ia harus berpindah tempat dan menetap di samping Hotel Austin.

“Jadi saya termasuk orang yang tertua, ditambah dengan teman yang satu di sana. Semula harga sepatu maupun sendal yang dijahit dihargai Rp10 ribu. Setelah itu naik Rp15 ribu sampai Rp30 ribu. Tapi tergantung sepatu yang dijahit. Sementara pendapatan yang kami dapat per hari itu Rp100 ribu lebih, kalau dikali dalam sebulan itu Rp3 juta sekian,” ujarnya kepada Nuansa Media Grup, Sabtu (18/11).

“Namun, perhatian dari pemerintah berupa bantuan pun tidak ada, mereka hanya sekilas mengambil nama dan KTP, bahkan banyak yang menghampiri, tapi kami tolak biarkan seperti begini sudah tak ada bantuan juga tidak apa-apa. Karena berapa kali yang ambil data itu hanya berjanji tapi tidak ditepati. Mereka juga menanyakan setingkat jarum, neptang, obeng, benang, peti dan pisau, yang jelas dari semua peralatan ini kami yang buat dan beli sendiri,” sambungnya.

Pemkot seharusnya mengacu penyediaan lapak seperti di Manado, karena di sana tempat tukang sol diatur pemerintah, sehingga terlihat rapi. Namun, di Ternate masih berantakan karena kurangnya perhatian dari Pemkot.

“Walaupun tak ada sentuhan pemerintah, dengan menjahit sepatu ini Alhamdulillah bisa menafkahi kebutuhan ekonomi keluarga, bahkan ada yang anaknya sekolah dokter sampai ada yang menjadi polisi,” ucapnya. (udi/tan)