TERNATE, NUANSA – Masa kampanye peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 berakhir pada Sabtu (10/2). Untuk mengakhiri masa kampanye tersebut, caleg DPRD Kota Ternate dapil II Ternate Selatan-Pulau Moti, Yahya Alhaddad, menggelar diskusi atau bertukar pikiran dengan warga Kelurahan Fitu, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Jumat (9/2) malam.
Dalam kampanye terakhir ini, caleg Perindo nomor urut 03 itu menyoroti tiga isu penting. Pertama politik uang, kedua politik identitas, dan ketiga sampah, baliho dan politik. Ketiga hal ini jika tidak ditangani secara baik, maka dipastikan akan sangat berbahaya bagi kehidupan.
“Politik uang itu praktek pembelian suara dan pemilih atau rakyat akan kehilangan haknya. Mengapa demikian? Karena suara masyarakat telah dibeli dengan harga Rp200 ribu sampai Rp300 ribu, dan apabila mereka terpilih yang dipikirkan adalah pengembalian modal yang dihabiskannya saat pemilu,” jelas Yahya.
“Jadi tidak bisa heran jika tuntutan hak masyarakat sering diabaikan. Karena suara masyarakat telah dibeli dan politik uang membuat masyarakat kehilangan martabat kemanusiaannya. Inilah bahayanya,” sambungnya.
Akibatnya, kata dia, menimbulkan banyak penggangguran di kalangan pemuda dan berakhir dengan sering terjadinya tawuran. Ia pun mencontohkan kasus lain, seperti ibu-ibu di Kelurahan Fitu yang jualan ikan di pinggir jalan. Bagi dia, pemandangan seperti itu kerap diabaikan pemerintah dan DPRD Kota Ternate.
“Beginilah dampak buruk politik uang. Mestinya pemerintah menyiapkan pasar di Kelurahan Fitu. Selain keselamatan, juga menekan biaya transportasi dan akan terjadi rebutan tempat jualan di pasar yang akhirnya terjadi konflik dengan orang-orang di pasar Bastiong dan Gamalama,” tuturnya.
Jika pemerintah tidak mengakomodir kepentingan masyarakat, tambah Yahya, maka DPRD bisa menggunakan hak veto untuk tidak mengesahkan APDB. Karena itu, jika ia dipercayakan oleh warga Fitu untuk menjadi anggota dewan, maka hal ini yang akan ia lakukan di semua sektor pembangunan yang menjadi prioritas masyarakat.
Kemudian, terkait politik identitas. Politik identitas, menurut dia, merupakan praktek politik tidak etis dan dapat merusak kebersamaan, kekeluargaan dan keharmonisan sosial. Karena ada manipulasi identitas seperti suku, etnis, agama dan ras di sana.
“Bahayanya politik identitas dapat memicu konflik dan merusak demokrasi. Politik identitas harus dihindari demi untuk menjaga nilai persaudaraan dan terciptanya demokrasi yang baik dan terbuka,” terangnya.
Yahya pun menyoroti masalah sampah, baliho dan politik. Masalah paling mendesak di Kota Ternate adalah sampah. Pada tahun 2023 volume sampah mengalami peningkatan sebanyak 180 sampai 200 ton perhari, dibandingkan tahun 2022 sebanyak 120 ton perhari. Artinya, jika sampah tidak ditangani secara baik, sudah bisa dipastikan akan mengalami peningkatan setiap tahun.
“Mengutip informasi dari media mongabay, baliho-baliho menyebabkan terjadi polusi visual atau menggangu keindahan suatu kawasan kota dan berdampak negatif. Misalnya, pesona keindahan kehilangan daya tarik, hilangnya kekhasan suatu kawasan kota, meningkatkan budaya konsumtif, gangguan media seperti stres, sakit kepala dan membahayakan keselamatan pengendara karena mengganggu konsetrasi,” ujarnya.
Dari segi lingkungan menggunakan laporan Forrst Digest, bagi Yahya, baliho kampanye turut menghasilkan emisi karbon cukup besar. Sebab baliho mengandung bahan kimia berasal dari pengolahan minyak bumi yang biasanya digunakan membuat plastik.
Berdasarkan berhitungan, jika 1×1 meter baliho beratnya 300 gram, maka emisi karbon dihasilkan 1 kilogram setara Co2. Saat menjadi sampah, baliho menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya saat mengotori atmosfer.
“Untuk itu, saya mengajak masyarakat untuk bangun budaya politik dengan merawat demokrasi sekaligus merawat lingkungan. Bangun politik dengan akal sehat,” tutup Yahya. (udi/tan)