DARUBA, NUANSA – Praktisi hukum Maluku Utara, Tarwin Idris, angkat bicara terkait nasib tujuh calon kepala desa (cakades) di Kabupaten Pulau Morotai yang belum dilantik sejak 2023. Padahal, para cakades tersebut sudah memenangkan gugatan sengketa pilkades di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon.
Tarwin menilai, dalam hal mengeksekusi putusan PTUN, tentu berbeda dengan peradilan umum baik pada perkara pidana ataupun perdata. Di mana, dalam perkara perdata setiap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka eksekusi putusan dilakukan oleh kepaniteraan di bawah pimpinan ketua pengadilan umum.
“Sementara untuk perkara pidana, pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa. Pada dasarnya mereka memiliki lembaga eksekutorial khusus untuk melaksanakan putusan,” katanya kepada Nuansa Media Grup (NMG), Jumat (19/7).
Tarwin menerangkan, perihal eksekusi putusan PTUN, dalam Pasal 116, UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ayat (1) menyatakan bahwa “Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari”.
Kemudian, ayat (2), dalam hal 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Ayat (3) menyatakan, dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf b, dan c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 agar pengadilan memerintah tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Kemudian ayat (4), dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
Selanjutnya ayat (5), pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
“Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kewenangan mengeksekusi putusan PTUN itu berada pada pejabat yang berwenang, sebagaimana ‘asa contrarius actus’ bahwa pencabutan atau perubahan suatu keputusan hanya dapat dilakukan oleh pejabat itu sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, desain sistem peradilan, khususnya PTUN terkait dengan eksekusi putusan masih sangat lemah, karena harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan minimnya kesadaran hukum. Sehingga itu, telah menimbulkan banyak kerugian bagi penggugat.
“Meskipun menang di pengadilan namun pejabat yang berwenang dalam menindaklanjuti putusan sering tidak mengakomudir kepentingan penggugat sebagimana yang penggugat perjuangan di pengadilan, sehingga putusan PTUN seperti macan kertas,” ujarnya.
Sementara, perihal kasus tujuh kelapa desa yang belum dilantik dan menolak rencana Pj Bupati Morotai untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU), karena telah memenangkan gugatan di PTUN baik pada pengadilan tingkat pertama maupun banding dan telah berkekuatan hukum tetap.
Ia menegaskan, Pemkab Morotai tidak mesti melakukan PSU, tapi cukup melantik para penggugat. Dengan begitu, Pj Bupati Morotai memiliki rasa self respect dan kesadaran hukum dari pejabat yang berwenang atas putusan pengadilan.
“Pemda harus menghitung banyak hal untuk menyelenggarakan PSU di tujuh desa, seperti anggaran dan potensi konflik di desa, apalagi kita sudah memasuki tahapan pilkada yang tingkat konflik masyarakat makin tinggi. Yang saya takutkan adalah Pj Bupati Morotai memiliki niat lain dalam hal tidak menghendaki para penggugat menjadi kepala desa dengan menyelenggarakan PSU,” kata dia.
“Namun, tidak menutup kemungkinan para penggugat ini bisa menang kembali di PSU. Dan jika hal ini terjadi, ini namanya pemborosan anggaran, apalagi anggaran tersebut dibebankan pada anggaran desa atau malah sebaliknya para penggugat menang di PSU tapi tidak dilantik juga,” sambungnya menutup. (ula/tan)