Oleh: Muammil Sun’an
_____
PEMERINTAHAN suatu negara maupun daerah tidak lepas dari tanggung jawab memproses dan menghasilkan sebuah kebijakan publik yang pastinya memberikan dampak bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Implementasi dari sebuah kebijakan publik yang telah dirumuskan akan berjalan baik dapat dilihat dari kerja-kerja birokrasi. Hal ini yang membuat posisi birokrasi menjadi amat strategis dalam sebuah pemerintahan karena akan menentukan kualitas kebijakan publik. Meski susah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial, birokrasi tak lepas dari pro dan kontra. Miftah Thoha, dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Politik di Indonesia (2003), mencurigai birokrasi sebagai kerajaan pejabat. Birokrasi tak lebih dari metamorfosis feodalisme dalam bentuk yang lebih rasional.
Peran strategis dari birokrasi, menghendaki birokrasi dikelola secara profesional. Birokrasi menjadi sarana mewujudkan kepentingan publik melalui kebijakan dan tindakan rasional, terukur, efektif dan efisien. Realita berjalannya roda pemerintahan, tak sedikit birokrat, pun birokrasi sebagai institusi mengingkari kodratnya sebagai pelayan publik. Birokrasi dijadikan sarana memperbesar kekuasaan dan mencari untung oleh para pengambil kebijakan (policy making), dengan demikian menyeret birokrasi ke jurang nekrofilia.
Terperangkapnya birokrasi ke dalam nekrofilia, menjadikan berbagai kebijakan publik yang selalu didasarkan pada perhitungan untung rugi serta kalkulasi politik untuk memperbesar kekuasaan. Hadirnya masyarakat nekrofilia dalam birokrasi pemerintah tentunya akan menimbulkan penyakit birokrasi (patologi birokrasi). Istilah patologi birokrasi sudah lama digunakan oleh ilmuwan Administrasi Publik dalam menggambarkan sebagai penyakit yang ada di birokrasi, seperti Gerald E Caiden (1991) dan Barry Bozeman (2000) dari Amerika Serikat. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita “penyakit birokrasi sekaligus”.
Nekrofilia atau birokrat yang perilakunya menyimpang yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya akan mengubah wajah birokrasi yang sesungguhnya sebagai pelayan publik. Adanya masyarakat nekrofilia hanya akan membuat penyakit birokrasi semakin kronis. Bentuk patologi birokrasi yang ditinjau dari perspektif perilaku birokrasi merefleksikan bahwa birokrasi sebagai pemilik kewenangan menyelenggarakan pemerintahan tentu memiliki kekuasaan “relatif” yang sangat rentan terhadap dorongan untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan diri dan kelompoknya yang diformulasikan atau diwujudkan dalam berbagai perilaku yang buruk.
Birokrasi nekrofilia yang telah menggerogoti sistem pemerintahan hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang korup dan bukan untuk publik serta menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat nekrofilia yang ada dalam pemerintahan merupakan para birokrat yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dalam menjalankan sebuah kebijakan atau pengambil keputusan. Olehnya itu, masyarakat pastinya sudah memahami tujuan dari setiap kebijakan yang diimplementasikan. (*)