Polmas  

Bacarita Pilkada

Oleh: Dr. Muammil Sun’an, SE., ME., M.AP
Akademisi Universitas Khairun

_____

PADA malam hari duduk santai di sebuah kafe sambil menikmati kopi hitam tanpa gula yang ditemani para teman-teman aktivis dan wartawan sambil bercerita tentang nasib dan masa depan daerah. Nampak jelas kegelisahan teman-teman aktivis dan wartawan terkait nasib daerah ke depan jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok.

Dalam perbincangan kami tak terasa waktu sudah memasuki pukul 02.00 dini hari, namun perbincangan kami semakin hangat walaupun kopi sudah dingin termakan angin malam. Perbincangan terkait pilkada Malut menjadi tema sentral kami disebabkan sudah diketahui pasangan para calon kepala daerah yang ikut dalam kontestasi politik lokal. Tentunya kami membahas mulai dari pilgub sampai pada pilbup dan pilwako. Mulailah dari kami masing-masing mengajukan pendapat dan analisa terhadap setiap pasangan calon kepala daerah.

Dari perbincangan kami, ada yang berpendapat bahwa siapa pun kepala daerah harusnya punya visi untuk kepentingan masyarakat luas, khususnya nasib masyarakat kita yang ada di pelosok desa. Baginya, masyarakat kita mayoritas adalah petani dan nelayan, sehingga kepala daerah terpilih nantinya harus memahami secara benar dalam setiap kebijakan pembangunan daerah. Adapula yang menganalisa calon pasangan tertentu yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan masyarakat dan kepedulian terhadap nasib daerah. Menurutnya, kita harus menentukan pilihan terhadap pasangan calon kepala daerah yang punya ikatan sosial sangat kuat dengan masyarakat, karena pastinya sangat memahami permasalahan di masyarakat.

Berbeda dengan pendapat lain yang lebih ekstrem, dengan mengatakan bahwa nasib daerah kita sangat tergantung pada masyarakat sebagai pemilih. Baginya, nasib daerah kita ke depan terletak di tangan masyarakat sebagai pemilih yang nantinya memberikan suara mereka ke pasangan calon kepala daerah. Jangan hanya dengan diberikan uang Rp300-Rp500 ribu kemudian memberikan suaranya kepada pasangan calon. Menurutnya, kita semua jangan terkecoh dengan materi dan janji-janji politik, tapi harus punya penilaian dan kriteria dalam menentukan pilihan.

Cerita kami di kafe berakhir dan dilanjutkan di lain waktu, karena semua harus kembali untuk istirahat. Keesokan hari sekitar pukul 13.30, saya bergegas menuju kampus Unkhair untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang dosen yang selalu memberikan wejangan-wejangan kepada mahasiswa dengan harapan agar para mahasiswa bisa meraih cita-cita yang mereka impikan. Tak lama kemudian, teman-teman dosen mengajak untuk santai di kantin fakultas sambil menikmati secangkir kopi.

Di saat kami menikmati secangkir kopi, pembicaraan pilkada masih menjadi topik yang hangat di kalangan teman-teman dosen. Analisa teman-teman dosen yang tentunya berbasis pada landasan akademik sehingga menjadi semakin menarik. Salah seorang teman dosen menyampaikan bahwa politik lokal khususnya pemilihan Gubernur, pastinya terdapat kepentingan pemerintah pusat yang sangat besar, disebabkan Maluku Utara merupakan daerah penghasil tambang terbesar. Baginya, kita tidak perlu terlalu sibuk membuat kalkulasi politik yang tidak ada benang merahnya dengan kepentingan pusat.

Menurutnya, masyarakat kita terkadang juga sudah tidak rasional dalam menentukan pilihannya. Untuk itu, kita sebagai akademisi harusnya jangan sampai terkecoh, namun bisa lebih memahami problematika lokal dan kepentingan pusat. Kita harusnya juga bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam memberikan hak suara kepada pasangan calon kepala daerah.

Pendapat teman dosen lainnya, bahwa jika pilgub nantinya terdapat kepentingan pusat karena kita sebagai daerah penghasil tambang, namun kita punya hak untuk menentukan nasib pembangunan dan masyarakat lokal, sehingga masyarakatlah yang jangan sampai salah dalam memberikan suaranya kepada pasangan calon kepala daerah. Baginya, penyesalan akan datang di akhir. Karena itu, kita harus belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya. (*)