Polmas  

GP Nuku dan Universitas Nasional Bikin Diskusi, Bahas Indeks Kerawanan Pilkada Maluku Utara

JAKARTA, NUANSA – Menyikapi konflik dan kerawanan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Maluku Utara, Gerakan Pemuda Nuku (GP Nuku) menggandeng Forum Mahasiswa Kota Tidore Kepulauan (Fomatika) Jakarta dan Prodi Ilmu Politik Universitas Nasional melaksanakan Diskusi Pemilukada Damai Maluku Utara, Selasa (5/11).

Dalam sambutannya, Presiden GP Nuku, Djusman Hi Umar, menyampaikan pemekaran Provinsi Maluku Utara sudah menginjak usia 25 tahun. Tentu, ini waktu yang tidak singkat dalam menjalankan roda pemerintahan dan proses berdemokrasi.

Namun, menurutnya, dalam proses pemilukada di Maluku Utara, tercatat setelah pemekaran sudah 4 kali proses pemilihan kepala daerah sejak 2002 hingga 2018 berakhir dengan sengketa politik hingga ke MK.

“Berdasarkan data Bawaslu bahwa Maluku Utara tercatat mengalami tingkat kerawanan pilkada tertinggi ke 3 di Indonesia di bawah Sulawesi Utara dan Jakarta. Padahal Maluku Utara dalam 3 tahun terakhir dinyatakan sebagai provinsi paling bahagia,” ucap Djusman.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Dr Erna Ernawati Cotim, M.Si, dalam sambutannya mengapresiasi kegiatan diskusi yang digelar oleh GP Nuku dengan tajuk “Pilkada Damai Maluku Utara”.

“Semoga ke depan, kerja sama konstruktif antar kedua belah pihak dapat terus terjalin,” harap Erna.

Sebagai informasi, Erna mengatakan jika FISIP merupakan fakultas terbesar di Unas dari 8 fakultas lainnya di kampus yang terletak di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tersebut. FISIP Unas terdiri dari 10 program studi.

“Ahamdulillah kami sudah memiliki S1, S2, dan S3. Secara keseluruhan S1, S2 dan S3, akreditasinya sudah A dan unggul. Mungkin sebagai informasi untuk bapak dan ibu sekalian bahwa universitas swasta yang memiliki program studi S3 politik satu-satunya yaitu di Universitas Nasional,” pungkas Erna.

Membuka keynote speaker-nya, Prof Dr Margarito Kamis, SH, M.Hum, menyampaikan rasa senangnya karena tema diskusi yang diangkat mencerminkan rasa kepedulian terhadap daerah yakni Provinsi Maluku Utara.

“Seperti yang Pak Djusman bilang, sudah terverifikasi bahwa kita berada di rangking ke-3 daerah yang potensi ributnya besar. Dalam 4 kali pilkada, 4 kali ribut. Ributnya sampai Jakarta, dan itu sebagian disebabkan oleh penguasa yang tidak beres. Penguasa secara keseluruhan termasuk penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu,” tegasnya.

Ia menambahkan, sejarah pemilu di Maluku Utara menemukan satu hal yang tidak mungkin dibantah. Yaitu, pemilu itu baru ada setelah orang berubah status dari slave menjadi man atau freeman, dari budak menjadi orang merdeka. Barulah pemilu ada.

“Jadi ini pemilu itu produk orang punya akal, orang punya hati, orang merdeka, itulah pemilu,” ucapnya. “Maluku Utara itu kan sudah 20 tahun lebih dikit, ya. Tapi baru 2 periode gubernur. Dengan 2 gubernur dalam 20 tahun, dan dua-duanya berakhir di penjara karena korupsi,” tambahnya.

Margarito mengatakan, pada batas tertentu dirinya sempat berpikir terkait anggapan tentang politik itu bisnis. Anggapan tersebut ia anggap tidak masuk akal.

“Sebab di real politics, politik itu big bisnis. Coba anda pelajari sejarah politik Romawi. Urusan politiknya itu terkait dengan perebutan sumber daya. Sumber daya politik dan sumber daya ekonomi. Korupsi itu sumber daya politik,” tandasnya. (tan)

Exit mobile version