Opini  

Problematik Kampanye: Delik Materil dalam Pasal 71 Ayat (1) Jo. Pasal 188 UU Pilkada

Oleh: Renaldi M. Larumpa

_________________

HARI pemungutan suara Pilkada serentak tahun 2024 semakin dekat dan hanya menghitung hari, yakni pada tanggal 27 November 2024. Dalam setiap tahapan Pilkada diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (selanjutnya disebut UU Pilkada).

Dalam masa kampanye ada larangan-larangan yang ditujukan pada pejabat-pejabat tertentu dan kerap kali tidak diindahkan. Salah satu tindak pidana pemilu dalam masa kampanye yang menjadi primadona di setiap pilkada adalah ketidaknetralan atau cawe-cawe Pejabat Negara, ASN, Kepala Desa dan Lurah. Hal itu diatur Pasal 71 Ayat (1) jo. Pasal 188 UU Pilkada. Delik tersebut menjadi ancaman bagi setiap subjek hukum yang dimaksud pasal tersebut yang masuk dalam kategori hal-hal terlarang dilakukan dalam masa kampanye terutama kepada ASN. Pada beberapa kasus keterlibatan Pejabat Negara, ASN dan Kepala Desa/Lurah, atas pelanggaran mereka pada akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan bahkan ada yang diputus bersalah oleh putusan pengadilan dengan fakta yang terungkap yang didudukan sebagai delik formil.

Sebuah problematik yang ingin saya bedah adalah soal jenis dari delik Pasal 71 Ayat (1) jo. Pasal 188 UU Pilkada. Yang masing-masing berbunyi:

Pasal 71 Ayat (1): Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.

Pasal 188: Setiap Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Untuk dapat dihukumnya seseorang yang merupakan adresat (orang yang menjadi subjek hukum dalam pasal a quo, harus memenuhi setiap unsur dalam pasal tersebut. Unsur dari pasal tersebut adalah pertama: unsur setiap Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, Kepala Desa atau Lurah), kedua: unsur dengan sengaja dan ketiga: unsur melanggar ketentuan yaitu kehendak atau maksud melanggar ketentuan dalam Pasal 71 Ayat (1).

Namun yang ingin saya kemukakan adalah kedudukan jenis delik tersebut apakah sebagai delik formil atau delik materil. Sebab di kalangan ahli, sering diperdebatkan terkait dengan pasal a quo yang dalam praktiknya banyak pandangan berbeda. Sebelum menjawab itu saya ingin menjelaskan apa itu “delik” yang dalam bahasa latin disebut “delictum” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan “strafbaar feit”. Delik dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tindak pidana, peristiwa pidana, atau perbuatan pidana. Di Indonesia istilah tindak pidana lebih lazim digunakan karena hukumnya diratifikasi dari KUHP Belanda. Tindak pidana tidak didefinisikan dalam KUHP lama (UU 1 Tahun 1946), namun dalam KUHP baru (UU 1 Tahun 2023) tindak pidana didefinisikan pada Pasal 12 Ayat (1) yaitu tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan.

Berikut apa yang dimaksud dengan delik formil dan delik materil. Pertama: Delik formil adalah tindakan yang dilarang dalam undang-undang tersebut. Secara sederhana dikemukanan oleh Eddi (dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: 2016) bahwa delik formil menitikberatkan pada tindakan. Selain itu, menurut Mahrus Ali (dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia: 2011) bahwa delik formil adalah perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya.

Kedua: Delik materil adalah tindak pidana yang diharuskan adanya suatu akibat yang nyata. Menurut P. A. F. Lamintang dan F. T. Lamintang (dalam bukunya dasar-dasar hukum pidana di Indonesia: 2014) bahwa delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannnya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Secara sederhana Eddi juga menjelaskan bahwa delik materil adalah delik yang menitikberatkan pada akibat.

Merujuk pada penjelasan di atas, dapat kita tafsir maksud dari pasal a quo. Tekstual Pasal 188 mengatur ancaman atau sanksi (sekunder) bagi pelanggar Pasal 71 Ayat (2) (primer) maka, unsur-unsur dari pasal 71 Ayat (1) adalah unsur “Setiap Pejabat Negara, ASN, Kepala Desa/Lurah, dan ada unsur “dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye”.

Secara gramatikal, subjek hukumnya jelas tanpa makna ganda yaitu seorang Pejabat Negara, ASN, Kepala Desa/Lurah. Kemudian keputusan dan/atau tindakan dapat diartikan sebagai perbuatan yang bisa dalam bentuk apapun baik tulisan atau lisan dan dimanapun. Sedangkan untuk makna kategori menguntungkan dan merugikan tidak dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Namun, secara kontekstual dari keseluruhan pasal UU a quo kategori ini didasarkan pada suatu hak dari setiap calon yang harus didapatkannya tanpa adanya intervensi reaksi eksternal.

Jadi kategori menguntungkan dan merugikan ada pada hak-hak calon dalam tahapan kampanye, misalnya pemasangan alat peraga kampanye, dan hak mendapatkan dukungan pemilih yang prinsipnya bermuara pada berpengaruh atau tidak pada jumlah suara yang diperoleh setelah perhitungan suara. Oleh sebab itu, salah satu ukuran menguntungkan dan merugikan adalah terpenuhi atau tidaknya hak-hak calon serta pengaruh terhadap hasil perolehan suara (secara rill).

Jelas bahwa makna dari pasal tersebut sejalan dengan asas legalitas (Feurbach: nulum delictum, nulla peona sine praevia lege poenali) menegaskan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana sebelum perbuatan itu diatur terlebih dahulu. Demikian juga Jongkers menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana ada sebelum perbuatan dilakukan sebagaimana juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP lama. Lebih jauh ke dalam menurut Jan Rammelink, salah satu makna dari asas legalitas adalah lex certa yang secara sederhana diartikan bahwa undang-undang itu harus jelas. Demikian juga dalam pandangan teori kepastian hukum yang menurut Jan M. Otto bahwa aturan hukum harus jelas, jernih, konsisten serta mudah diperoleh.

Oleh sebab itu, menurut hemat saya, dalam hal perbuatan yang dilakukan dari maksud pasal tersebut tidak bisa ditafsir lain dari keutuhan tekstual. Sebab pasal a quo seyogianya mengharuskan adanya akibat yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Maksud dari pasal tersebut tidak dapat dimaknai hanya perbuatan selesai dan sebatas kemungkinan yang akan terjadi dari perbuatan tersebut atau adanya dugaan yang akan terjadi di kemudian hari, melainkan akibat nyata yang ditimbulkan dari perbuatan itu sendiri saat perbuatan dilakukan. Demikianlah pemaknaan atas delik tersebut yang termaktub dalam Pasal 71 Ayat (1) jo. Pasal 188 UU Pilkada adalah merupakan delik materil yang harus membuktikan adanya akibat yang merugikan ataupun menguntungkan salah satu calon.

Akhir dari tulisan ini, demi berjalannya demokrasi yang baik dan penegakan hukum pemilu yang berkeadilan dan berkepastian bagi masyarakat, maka diharapkan para pihak penyelenggara Pemilu dan Pengawas Pemilu, bahkan sampai pihak Kepolisian, hingga pada Majelis Hakim dalam putusannya. Untuk tidak mengesampingkan prinsip kepastian yang terkandung dalam pasal tersebut yang memaknainya sebagai delik formil untuk menghukum orang (Pejabat Negara, Aparatur Sipil Negara, Kepala Desa/Lurah), jika perbuatannya mengharuskan adanya akibat yang dibuktikan terlebih dahulu (delik materil). (*)