Oleh: Wisya Al-Khadra
_________________________
SUNGGUH sangat mengiris hati, bencana demi bencana terjadi beruntun akhir-akhir ini. Bahkan nyaris setiap hari beragam bencana terjadi di berbagai wilayah Indonesia di berbagai pelosok negeri. Mulai dari bencana banjir, tanah longsor, krisis air bersih, kelaparan, erupsi, puting beliung dan lain-lain. Kejadian bencana yang mendominasi adalah bencana hidrometeorologi yang urutan kejadian terbanyaknya; banjir, cuaca ekstrem, karhutla, tanah longsor, dan kekeringan. Sepanjang 1 Januari hingga 8 Desember, Indonesia tercatat 1.918 kejadian bencana (BNPB, 2024).
Bencana banjir bahkan terjadi di semua pulau besar Indonesia. Yang terbaru kita dihadapkan bencana yang terjadi di Sukabumi dari awal 4 Desember 2024 benar-benar tampak menyayat hati. Setidaknya ada total 328 titik bencana berupa banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan pergerakan tanah yang terjadi di 39 kecamatan. Bencana ini mengakibatkan 10 orang tewas dan 2 orang lainnya dinyatakan hilang. Sebanyak 892 kepala keluarga (KK) atau 2.871 jiwa mengungsi, sedangkan 3.156 KK atau 4.899 jiwa terdampak secara langsung.
Selain wilayah Sukabumi masih banyak juga wilayah-wilayah lain yang mengalami hal serupa sepanjang 2024 seperti Bengkulu, Konawe Selatan, Sumatra Utara, dan lain-lain. Selain wilayah-wilayah yang disebutkan tak terlepas juga Maluku Utara. Tercatat pada 18 Mei 2024, ada lebih dari 400 orang warga di Kabupaten Halmahera Barat dievakuasi setelah Gunung Ibu meletus untuk fase kedua . Kejadian bencana kemudian berlanjut dengan banjir bandang Kecamatan Rua, Ternate, Maluku Utara. Sebanyak 18 orang meninggal dunia dalam bencana yang terjadi pada Minggu 25 Agustus 2024 lalu. Sementara, tercatat sejak 13 Desember hingga 15 Desember 2024 hujan dengan intensitas tinggi disertai angin kencang telah mengakibatkan banjir, longsor hingga pohon tumbang di beberapa titik di Kota Ternate. Kelurahan yang dilanda banjir dan juga tanah longsor di Kota Ternate di antaranya Kelurahan Gambesi, Salahuddin, Kalumata, Bastiong, Akehuda serta Toboleu.
Fakta di atas adalah sedikit dari banyaknya bencana alam yang melanda Indonesia, bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sendiri mengingatkan, ke depan seluruh daerah di Indonesia masih harus bersiaga. Peningkatan intensitas hujan hingga Januari awal 2025 nanti menyebabkan potensi bencana alam masih mengancam.
Sudah dimaklumi, secara geografis Indonesia adalah negeri rawan bencana. Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim, yakni panas dan hujan, dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem. Tidak heran jika potensi bencana di Indonesia sangat besar. Nyaris tiap tahun BNPB melaporkan ada ribuan bencana terjadi di Indonesia. Sepanjang 1 Januari hingga 10 Desember 2024 saja, Geoportal Data Bencana Indonesia menyebutkan telah terjadi 1.904 peristiwa bencana. 957 kejadian di antaranya berupa bencana banjir, 405 cuaca ekstrem, 118 tanah longsor, 336 kasus karhutla, 54 kekeringan, 17 gempa bumi, 12 gelombang pasang dan abrasi, dan 5 kasus berupa erupsi gunung berapi.
Semua kejadian bencana tersebut tentu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Pada periode yang sama, lebih dari 5,5 juta orang harus hidup di pengungsian, 444 orang meninggal, 62 orang dinyatakan hilang, dan 1.130 orang mengalami luka-luka. Ratusan ribu bangunan juga mengalami kerusakan, di antaranya berupa 54.605 buah rumah dan 943 bangunan fasilitas umum, mulai dari sarana prasarana pendidikan, rumah ibadah, hingga fasilitas kesehatan.
Tentu saja fakta-fakta ini menuntut adanya sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak, terutama pada para penguasa yang menjadi pengurus rakyatnya. Namun sayangnya, setiap terjadi bencana pemerintah selalu lambat dan gagap. Bahkan pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat daripada lembaga ormas dan masyarakat yang berjuang dalam menangani bencana. Tidak jarang juga, pemimpin negara bersikap acuh tak acuh. Adapun jika mereka turun lapangan, tidak lebih sebagai bagian sebuah pencitraan semata. Bantuan sering kali terlambat datang, dengan dalih lokasi yang sulit dijangkau. Alih-alih bicara soal upaya mitigasi penyelesaian sebelum bencana, untuk penyelesaian saat terjadi bencana saja sangat lambat dan ala kadarnya.
Makin banyaknya kejadian bencana dan jumlah korban sejatinya menunjukkan bahwa mitigasi penyelesaian penguasa tidak benar-benar serius dan berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat sering kali menyelesaikan persoalan mereka secara gotong royong dan bahu membahu secara mandiri. Sedangkan pemerintah menolong seadanya dan selalu beralasan dengan dalih kekurangan dana. Ini menunjukkan bahwa penguasa tidak pernah serius dalam menangani kasus bencana. Syarat akan paradigma pembangunan sekuler kapitalistik membuat para penguasa tidak memiliki keinginan serius untuk menyolusi perihal bencana sejak dari akarnya. Bahkan, kita dapati banyak kebijakan penguasa yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya.
Lihat saja, rata-rata analisis penyebab dan dampak beberapa bencana selalu menunjuk pada kebijakan penguasa, seperti penggundulan hutan dan alih fungsi lahan. Temuan Walhi tahun 2022 menyebut 35% hutan kita rusak, bahkan hilang. Juga proyek-proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang masif, serta penanganan daerah aliran sungai dan sebagainya. Semuanya seakan sulit dilakukan karena syarat akan dengan kepentingan para pemilik modal. Belum lagi kebijakan AMDAL yang saat ini sangat longgar bagi pengusaha. Pelaku usaha kelas kakap berani menjalankan usaha meski izin belum keluar. Tidak sedikit di antara mereka yang lolos hukum meski jelas melanggar aturan.
Kebijakan pembangunan berlangsung eksploitatif sehingga memberikan dampak buruk pada lingkungan. Pemerintah hanya peduli pada penggenjotan ekonomi dan abai pada kelestarian lingkungan, padahal keuntungan ekonomi yang diperoleh tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung akibat kerusakan lingkungan karena pembangunan. Pembangunan yang eksploitatif merupakan ciri khas pembangunan kapitalistik yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama. Negara hanya mementingkan pendapatan negara dari pajak yang disetor para pengusaha, tetapi menutup mata terhadap kerusakan parah yang mereka akibatkan. Walhasil, kebijakan pembangunan eksploitatif ini menjadikan negeri ini langganan bencana.
Bencana ini akan terus terjadi jika tidak dihentikan dengan mengubah arah pembangunan negara. Oleh karena itu, butuh mitigasi secara komprehensif untuk menyelesaikan bencana. Bencana banjir di berbagai wilayah di tanah air memang salah satunya disebabkan faktor alam. Namun, jika mitigasinya bagus, dampaknya bisa diminimalkan, baik korban jiwa, harta benda, maupun infrastruktur. Sayangnya, mitigasi bencana di Indonesia masih sangat lemah.
Selama ini kebijakan pembangunan negara yang destruktif menjadi penyebab bencana. Misalnya, ketika negara membiarkan penebangan hutan secara berlebihan, tentu akibatnya adalah bencana banjir. Juga penggunaan kawasan hutan yang rawan bencana, tentu membahayakan banyak nyawa. Maka, mitigasi bencana banjir itu penting. Mitigasi bencana banjir dilakukan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Mitigasi bencana banjir juga meliputi aspek pembangunan fisik dan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana.
Salah satu hal yang termasuk mitigasi sebelum bencana adalah pembangunan yang bisa mencegah meluasnya bencana banjir. Juga dengan melakukan revitalisasi sungai dengan mengeruk sedimen sehingga daya tampung sungai bisa optimal. Dengan adanya mitigasi yang sungguh-sungguh, berbagai risiko yang terkait bencana bisa diminimalkan. Adanya korban jiwa juga bisa dicegah serta penyelesaian juga bisa lebih tepat dan cepat.
Sayangnya, negara selalu lambat ketika terjadi bencana. Negara juga menjadikan keterbatasan dana sebagai penyebab keterlambatan tersebut. Tampak bahwa memang tidak ada upaya serius dari negara untuk memberdayakan segala sumber daya yang ada demi mengoptimalkan penanggulangan bencana. Hal ini menunjukkan minimnya fungsi pengurusan pada negara. Akhirnya rakyat memberi solusi sendiri masalah yang mereka hadapi. Adapun negara lalai dan alpa dari tugasnya.
Dalam Islam, mitigasi tentu menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya sebagai rain dan junnah umat, yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Dalam hal ini, pemimpin Islam akan membuat berbagai kebijakan khusus, mulai dari penataan lingkungan dikaitkan dengan strategi politik ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan orang per orang. Juga sistem keuangan, pertanahan hingga sanksi untuk mencegah pelanggaran.
Adapun di tempat-tempat yang rawan bencana, harus ada kebijakan yang lebih khusus lagi. Tentu tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga soal manajemen kebencanaan. Mulai dari pendidikan soal kebencanaan, pembangunan infrastruktur, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang lebih sistemik dan terpadu. Begitu pun soal sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan benar-benar akan diperhatikan.
Semua ini sangat niscaya dilakukan karena ditopang dengan sistem keuangan Islam yang sangat kuat. Sumber-sumber pemasukan negara begitu besar, terutama dari kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan SDA langsung oleh negara. Dengan demikian, persoalan dana tidak akan menjadi penghambat yang serius bagi mitigasi bencana. Kondisi ideal seperti ini memang akan sulit diwujudkan dalam sistem sekarang. Paradigma kapitalisme sekuler telah menjadikan kepemimpinan tegak di atas kepentingan pemilik modal, bukan tuntunan agama (Islam). Butuh kepemimpinan Islam untuk mewujudkan semua itu. Wallahu’alam bissawab…