Opini  

HMI dan Patronase Negatif Senior

Oleh: Sukardi Limatahu
Demisioner Sekum HMI Komisariat Tarbiyah

_______________

MODEL interaksi antar sesama manusia merupakan salah faktor bagi terbentuknya suatu budaya. Demikian pun halnya interaksi dalam organisasi. Dengan merujuk pada nilai-nilai doktrinal, aturan tertulis serta kebiasaan internal, kultur suatu organisasi dapat terbentuk. Selain terikat pada aturan konstitusional, juga tidak mungkin dilepas-pisahkan dari kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi tersebut, yang kemudian disebut menjadi aspek kultural dalam sebuah organisasi.

Salah satu budaya yang mungkin tak jarang ditemukan dalam organisasi yakni gaya interaksi dengan model patronase. Dalam setiap organisasi baik di tingkat lokal maupun nasional, budaya patronase yang berkiblat palunisasi dan intervensi kerap menjadi masalah yang tak bisa dihindarkan.

HMI, sebagai organisasi yang menghimpun potensi serta gerakan mahasiswa Islam, juga tidak luput dari permasalahan budaya interaksi yang sama. Patronase, menurut penulis merupakan salah satu permasalahan yang tengah dialami oleh HMI hingga saat ini. Pola patronase antara senior sebagai patron dan junior sebagai klien, tidak jarang mengakibatkan penegasian terhadap nilai-nilai doktrinal yang ada di dalam proses kaderisasi HMI.

Fakta di mana junior seringkali didikte oleh senior, termasuk dalam hal pengambilan kebijakan atau keputusan organisasi pun merupakan bagian dari penyakit patronase tersebut. Sebagai junior, sepertinya tidak memiliki kesempatan untuk berpikir, membuat kerangka analisa sendiri, termasuk berimprovisasi dalam menghadapi suatu kondisi untuk kemudian mengambil keputusan secara independen. Hal ini membuktikan bahwa hakekat independensi HMI (baik etis maupun organisatoris) yang didiskusikan dalam forum Basic Training pada akhirnya hanya menjadi pengetahuan belaka, karena jelas implementasinya akan tereduksi oleh bisikan bernada instruksi dari senior.

Alhasil, pikiran dan gerakan yang semestinya independen dari para fungsionaris dan anggota himpunan, pada akhirnya tereduksi oleh instruksi dan logika para senior. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak fungsionaris dan anggota himpunan kehilangan kemampuan rasionalitas, akal kritis dan analitis, serta semangat untuk berjuang.

Kondisi ini pun secara signifikan dapat dimaknai sebagai hilangnya esensi keberadaan HMI, antara lain sebagai organisasi kader yang bersifat independen, wadah di mana para anggota untuk belajar berdialektika, belajar untuk berpikir kritis dan analitis, serta solutif justru menjadi wadah penerima instruksi senior.

Kondisi ini tak jarang ditemukan di setiap hajatan pergantian struktur kepemimpinan dalam tubuh HMI baik di tingkat komisariat cabang bahkan kepengurusan besar.

Senioritas yang merupakan bagian dari kehidupan organisasi itu akan hadir dan selalu disalahartikan posisinya dengan bertindak mengikuti kewenangan hasrat pribadinya. Bahkan lebih dari itu, dirinya selalu merasa lebih berjasa terhadap sesuatu yang dapat dilaksanakan oleh juniornya dan sukses demi mewujudkan keinginannya dengan iming-iming demi perkaderan.

Sehingga secara tidak langsung oknum senior itu menjadi sebuah kepatuhan atas segala saran instruksinya yang belum tentu bisa dianalisa dibalik kebaikannya dengan alasan demi perkaderan. Patutnya seorang anggota HMI dalam menjalani kehidupan dalam berorganisasi itu bukan mendewakan seseorang yang diakui, bahkan mengakui dirinya sebagai salah seorang yang segalanya mengatakan mampu.

Dalam hal itu pula tidak bisa digeneralisir, sama-sama harus kita ketahui ada yang dinamakan alumni secara kultur. Sedangkan senior ini hanya sebuah sebutan saja dan lalu menjadi sosio kultur.

Kemudian, ketika bicara tentang perkaderan senior ini tidak lahir sendiri, melainkan dilahirkan oleh sebuah julukan umum yang semakin lama menjadi terbiasa. Sehingga oknum yang dianggap sebagai senior itu bisa semena-semena mengarahkan dengan sebuah instruksi untuk melakukan suatu hal yang belum tentu itu benar. Yang terpenting dirinya berhasil dalam mengarahkan juniornya untuk melakukan hal yang belum tentu penting itu.

Perlu kiranya untuk digarisbawahi, bahwa tulisan ini lahir bukan berarti penulis anti terhadap senior, atau menolak berkomunikasi dengan senior. Bagi penulis, relasi dan komunikasi antara junior dengan para senior haruslah ditentukan batasannya secara jelas. Menjaga tali silaturrahim serta sharing and hearing seputar persoalan ke-HMI-an pun termasuk hal yang harus senantiasa kita lakukan. Namun, ketika masuk pada wilayah pengambilan keputusan, ini mestinya merupakan murni menjadi domain kita baik itu secara pribadi maupun organisatoris, tentunya sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan. Sehingga pertanggungjawaban atas suatu keputusan yang telah diambil pun menjadi lebih jelas.

Dengan demikian, posisi dan peran senior di sini tidak lain adalah sebatas memberikan motivasi, saran dan pertimbangan berdasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadinya. Inilah salah satu esensi dari pola hubungan yang bersifat historis-aspiratif antara fungsionaris dan anggota himpunan dengan para seniornya.

Kiranya untuk mengatasi masalah ini harapan penulis ialah adanya kesadaran akan posisi pada masing-masing entitas, baik anggota, pengurus, juga senior (alumni). Sehingga HMI bisa berkembang sesuai dengan jiwa zaman, yang tentunya pula lebih diperankan oleh para junior sebagai generasi milenial. Posisi senior maupun alumni lebih kepada memberikan bantuan moril dan spiritual ketika dibutuhkan, tanpa disertai dengan tendensi apapun. Hal ini dilakukan tidak lain adalah dalam rangka menjaga kewibawaan HMI, yang hari ini diperankan oleh para fungsionaris himpunan. (*)