Oleh: Sahawia Firdaus
_____________________
LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer) kembali panas diperbincangkan di berbagai platform media, sebab telah disahkan Undang-Undang Kesetaraan Pernikahan oleh Senat Thailand yang melegalkan pernikahan sejenis pada 23 Januari 2025 lalu dan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melegalisasi pernikahan sesama jenis dan ketiga di Asia. Legitimasi atas pernikahan jenis ini dianggap sebagai suatu kemajuan oleh para pegiat LGBTQ.
Dilansir dari tempo, ada lebih dari 1000 pendaftaran pernikahan sejenis dalam satu hari yang dilakukan oleh kelompok LGBTQ. Dan diduga dengan adanya pendaftaran pernikahan sejenis yang dilakukan akan menjadi rekord dalam Guinnes World Record terbanyak di dunia dalam jangka waktu satu hari. Keputusan kontroversial ini seperti angin segar dan disambut riang gembira oleh para pegiat LGBTQ di Thailand dan bagian Asia Tenggara yang terus dikampanyekan di seluruh dunia. Padahal ini adalah alarm kekhawatiran yang sangat berbahaya bagi manusia dan generasi.
Kampanye LGBTQ
Kampanye LGBTQ ternyata telah lama ada dan didukung sejumlah lembaga internasional yang menjadi penguat dan membantu eksistensi LGBTQ di dunia. Organisasi dunia seperti ILGA (International Lesbian Gay Trans and Intersex Association) yang didirikan pada tahun 1978 dan memayungi 1900 lebih organisasi anggota (@ilgaworld) . Dan dikutip dari voaindonesia, PBB adalah salah satu organisasi dunia yang mendukung hak kaum LGBT. Hal ini dipertegas dengan penyampaian Charles Radcliffe, Kepala Isu Global Kantor Komisioner atau OHCHR menyatakan” Ini merupakan bentuk komitmen lembaga PBB dan seruan agar pemerintah di seluruh dunia berbuat lebih banyak guna menangani kekerasan dan diskrimansi homofobik dan transfobik”. Apalagi AS sebagai negara maju mengakui hal itu dengan melalui kedubesnya, “Amerika Serikat mendukung perlindungan hak kaum lesbian, gay, transeksual dan biseksual”.
Dana yang disiapkan berhasil diluncurkan untuk mendukung program LGBT di seluruh dunia, khusus bagian Asia dengan tema “Being LGBT in Asia and the Pacific” sebesar US$ 8 juta atau setara Rp108 miliar. Dengan fokus empat negara yaitu Cina, Indonesia, Filipina dan Thailand. Hal ini dilakukan untuk memajukan kesejahteraan komunitas LGBTQ dan mendukung hak-hak LGBT di seluruh Asia. (lihat: undp.org). Dana dan dukungan yang tidak main-main membuahkan hasil. Taiwan menjadi negara pertama melegalkan LGBT pada tahun 2019 dan berhasil menikahkan 7.200 pada tahun 2021. Menyusul Vietnam, Nepal dan baru-baru ini Thailand. Tapi yang lebih mencengangkan lagi dilansir dari pewresearch, Jepang sebagai negara yang paling mendukung pernikahan sesama jenis walaupun masih menghadapi tekanan secara internal dan eksternal tapi jumlah survei yang mendukung sebesar (68 %), Hongkong (58 %), dan Kamboja (57 %). Sungguh sangat miris, atas nama hak yang diberikan oleh negara-negara barat dan kampanye yang dilakukan dan didukung atas nama demokrasi agenda ideologi dan geopolitik negara Barat dengan menunggangi isu-isu minoritas yang sebenarnya adalah membawa kehancuran pada gender dan krisis populasi pada generasi.
Ancaman Krisis Generasi
Tren saat ini di negara Asia adalah anjloknya angka populasi dan sudah terjadi lebih dari enam dekade. Pada 2023, populasi China mengalami penurunan sebanyak 2,8 juta. Di Jepang bayi yang lahir hanya 758.631 ini dihitung sebagai angka yang mengalami penurunan sebesar 5,1% rekor terendah di tahun 2023 dan menuju level kritis (Kompas.com, 29/02/2024). Dilansir dari The Guardian, survei menunjukkan banyak faktor yang kompleks sehingga banyak generasi muda di Jepang menolak untuk menikah dan memiliki anak. Apalagi jika dilihat dari survei sebelumnya Jepang menduduki angka paling besar di Asia yang mendukung adanya LGBT. Ternyata krisis populasi juga mulai menghantui Thailand. Di lansir dari cnbcindonesia, angkah kelahiran di Thailand turun hampir 40% di satu dekade ini dari 780.975 pada tahun 2012 menjadi 485.085 pada tahun 2022. Sehingga diprediksi menyasar ke krisis tenaga kerja di Thailand diperkirakan turun lebih dari 40 juta saat ini menjadi 14 juta pada tahun 2083. Dari krisis populasi ini pemerintah merespons dengan ingin membuka klinik kesuburan di setiap provinsi dengan membuat teknologi reproduksi yang dapat diakses oleh LGBTQ. Namun, jika dilihat lebih jeli dan teliti kelompok LGBTQ juga yang membantu dalam menyumbang angka krisis populasi. Hal ini disebabkan karena penerapan kapitalisme global dan liberalisme yang memberikan kebebasan sebagai jalan yang dipilih oleh generasi hari ini.
LGBTQ sebenarnya merupakan aib bagi peradaban manusia di bawah asuhan buruk kapitalisme dan liberalisme global. Sebab, saking rusaknya dibandingkan memberikan dampak positif semuanya adalah negatif. Dikutip dari data-data kasus HIV/AIDS pelaku LGBTQ terbukti mengundang bencana dan malapetaka akibat praktik homoseksual kaum gay yang terbukti sebagai faktor utama penyumbang penyebaran kasus penyakit HIV/AIDS bahkan berisiko 50 kali tertular HIV/AIDS (nationalgeographic.co.id, 25/2/2016) bahkan jumlahnya sangat meroket. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus HIV tercatat di Indonesia pada periode Januari-September 2024 adalah 35.415 kasus. Sementara AIDS tercatat di periode yang sama 12.481 kasus.
Inilah buah peradaban yang sangat busuk di bawah asuhan kapitalisme dan liberalisme global dan di bawah naungan rusak demokrasi. Sehingga kita membutuhkan regulasi sistem terbaik yang dimiliki Islam untuk menjaga generasi dan mengembalikan manusia pada fitrah nya yang sesungguhnya.
Islam dan Penjagaan pada Generasi
Islam sebagai agama dan ideologi yang mulia sangat memuliakan manusia. Al-qur’an telah menunjukkan bahwa hikmah penciptaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah untuk melestarikan keturunan dan menjaga martabat. Sebagaimana firman Allah dalam Quran Surah An-Nisa ayat 1 yang artinya; “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”.
Allah menciptakan manusia dengan dua identitas kelamin saja: kaum laki-laki (rijal) dan kaum perempuan (nisa’), tidak ada jenis ketiga. Tidak ada manusia yang diciptakan Allah dengan orientasi seksual yang menyimpang, semua sesuai dengan fitrahnya. Sehingga perbuatan yang sangat keji itu, kita tidak pernah melihat hewan yang tak berakal saja tidak melakukannya. Bagaimana mungkin manusia yang memiliki akal melakukannya?
Imam Zainuddin bin ‘Ali Al-Malibari al-syafi’i (w.978 H) pun berpesan dalam sya’irnya: “Dan jagalah lisanmu lalu kemaluanmu maka engkau meraih keberuntungan”.
Syaikh Nawai bin umar al-Bantani (w.1316 H) ketika menjelaskan sya’ir ini menjelaskan bahwa cabang keimanan adalah menjaga kemaluan dari apa-apa yang dilarang oleh Allah (syari’at Islam), di antaranya dari perbuatan zina dan homoseksual (al-liwath) dan dimaksud dengan kata (keberuntungan) yakni jika engkau sudah menjaga lisan dan kemaluanmu maka engkau akan meraih keberuntungan di akhirat (Ibid dalam Irfan dan Rizki, 2018).
Sehingga dengan tegas dalam Islam perilaku LGBTQ adalah haram. Pelaku akan diberikan penjelasan untuk membersihkan diri dari dosa adalah dengan harus dilaksanakannya sanksi tegas oleh negara berupa rajam sampai meninggal bagi yang sudah menikah dan dicambuk sebanyak 100 kali lalu diasingkan bagi yang belum menikah. Sifat sanksi yang dimiliki oleh Islam yaitu bersifat sebagai (zawajir dan jawabir) yaitu sebagai pencegah manusia melakukan tindakan kejahatan dan sebagai penghapus dosa ketika menghadap Allah. Sedangkan mereka yang sebagai korban akan direhabilitasi untuk menebar kebaikan dan manfaat bagi umat. Sehingga penjagaan pada generasi membutuhkan kerja kolektif dari seluruh rumpun masyarakat, lingkungan dan negara. Negara memiliki andil yang sangat besar untuk membangun sistem pergaulan berlandaskan syariat Islam.
Dengan demikian, kita membutuhkan sistem pergaulan yang benar yang berlandaskan syari’at Islam di seluruh sendi kehidupan dalam naungan Khilafah Islamiyah untuk menjaga generasi. (*)