Hukum  

Pertanyakan Hasil Ekspose Kasus BPRS, Kinerja Kejari Halsel Mulai Diragukan 

Igrissa Majid. (Istimewa)

LABUHA, NUANSA – Indonesia Anti Corruption Network (IACN) kembali mempertanyakan hasil ekspose kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kredit macet, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Saruma, Halmahera Selatan yang dilakukan Kejaksaan Negeri (Kejari). Kejari diminta mengungkapkan hasil ekspose yang sudah dilakukan itu.

“Pertanyaannya, mana hasil ekspose resminya, apa saja poinnya terkait perintah dari Kejati Malut? Kapan Kejari Halsel dapat melengkapi bukti-bukti terkait kasus BPRS?,” tutur Direktur IACN, Igrissa Majid dengan nada tanya, Rabu (5/2).

Menurutnya, ini semacam silent operation, tiba-tiba sudah menggelinding ke meja Kejati, dengan alasan saat ini pihak Kejari sedang melaksanakan perintah dari Kejati untuk mengumpulkan bukti.

“Padahal sama saja, mau sampai di meja Kejagung sekalipun Kejari tetap punya tanggung jawab terhadap kasus ini,” tegasnya.

Kinerja Kejari Halsel pun lantas diragukan oleh Indonesia Anti-Coruuption Network. Kejari bahkan dianggap tidak konsisten dalam penanganan kasus-kasus korupsi, seperti BPRS. Kejari juga dinilai belum menunjukkan kinerja penegakan hukum secara maksimal, terutama berkaitan dengan tindak pidana yang merugikan keuangan dan perekonomian negara.

“Ini hanya soal keinginan dan keberanian dari Kejari, kalau mau menegakkan hukum tanpa intervensi dan benar-benar murni silakan lakukan, karena sudah jelas ada bukti kerugian, kemudian siapa saja pihak yang harus bertanggung jawab. Tidak perlu banyak dalih,” ujar Igrissa.

Selain itu, Igrissa menduga banyak pihak yang sudah tahu akhir dari skandal ini, sebab perjalanannya sengaja dibuat berliku-liku. Padahal, lanjutnya, penanganan kasus ini sebenarnya terbilang mudah, sebagaimana yang sudah disampaikan bahwa sudah jelas nilai kerugiannya, petunjuknya jelas, dan siapa saja yang harus berperan di balik ini semua pun sudah jelas.

“Kejari silakan periksa Farid Abae, Aswin dan Saiful Turuy. Kalau Aswin dan Saiful jelas kapasitas mereka apa di balik skandal ini. Kalau Farid Abae ini siapa? Berani sekali mengambil peran pengganti untuk menjaminkan semua kerugian negara? Anehnya, penyidik enggan untuk masuk ke ranah yang berkaitan dengan peran Farid Abae,” tegasnya.

Ia menyampaikan, sebagaimana prinsip penyidikan, jika dilihat di negara-negara lain atau di Indonesia sendiri, terutama bagi jaksa penyidik yang berwawasan dan berpengalaman, paling tidak ada dua metode paling prinsip yang mereka kembangkan, yakni proactive detective dan reactive detective.

Karena itu, ia menambahkan, kasus BPRS ini bisa digunakan dengan dua aspek itu, sehingga terkait siapa saja dibalik kasus itu akan sangat mudah untuk dideteksi. Apalagi peran Farid Abae, menurut dia, Kejari bisa masuk ke situ. Bahkan Kejari sendiri bisa menelusuri lebih jauh dugaan tindak pidana pencucian uang oleh mereka yang terduga sebagai pelaku, sangat mudah.

“Kalau kita lihat dari media-media yang kredibel, keterangan dari pihak Kejari Halsel berubah-ubah. Terakhir dengan alasan ketidakcukupan SDM, bahwa jumlah penyidik kurang banyak, kadang saling lempar tugas. Sebenarnya ini alasan yang dapat kita duga hanya mengada-ada. Kita tidak tahu nanti alasan apa lagi yang akan disampaikan ke publik. Padahal rekor korupsi di Halsel itu sebenarnya tinggi, masalah integritas pejabat di daerah itu merosot, sementara SDM di sektor penegakan hukum di daerah setempat disebut masih kurang? Lalu, apa kerjaan Kajari selama bertugas di Halmahera Selatan? Kok tidak menyampaikan bahwa di instansinya kekurangan penyidik? Giliran muncul skandal-skandal besar baru menyiapkan berbagai alasan untuk mengurangi tekanan publik. Aneh,” tutupnya. (rul/tan)