Oleh: Rusmin Hasan
Direktur LCI Maluku Utara
_____________________________
BERAWAL dari pertemuan di salah satu caffe di persimpangan sudut kota, ada kawan saya memantik pertanyaan. Kira-kira bunyinya seperti ini: Ada apa di balik pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk universitas yang hari-hari ini menjadi trend-nya di media sosial? Kalau universitas di Indonesia menerima izin tersebut, apa pendapatmu, bung? Saya mencoba menjawabnya dengan sederhana. Matilah kewarasan akademisi kita. Universitas, yang kita kenal sebagai menara gading laboratorium peradaban yang memproduksi pikiran-pikiran segar, kritis, transformatif, progresif, inklusif dan berkemajuan dan lahir berbagai intelektual, akademisi bernas di bangsa ini, seharusnya sebagai “bastion of the nation’s moral struggle” (benteng perjuangan moral bangsa). Bukan malah sebaliknya, menjadi perusak moral bangsa ini dengan menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) masuk kampus. Di mana kewarasan akademisi kita? Sudahkah mereka berpikir?
Dalam satu pekan ini, publik dikejutkan oleh rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan batubara yang antara lain membuka peluang bagi perguruan tinggi (PT) menjadi pengelola bisnis tambang. Ini kejutan kedua dan kelanjutan dari kontroversi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas menjelang akhir pemerintahan Joko Widodo. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, menerima tawaran ini. Apakah kampus juga memilih jalan yang sama?
Bagi penulis, mewakili “Moral Struggle” Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) berpendapat, gagasan pemberian IUP kepada Perguruan Tinggi adalah bentuk kesesatan pikir paling dangkal kebijakan negara di masa Prabowo-Gibran. Universitas harus tetap menjadi menara gading laboratorium peradaban dan perjuangan moral bangsa ini. Jangan mencampuri ruang kebebasan berpikir kritis kampus terhadap kebijakan negara. Analisa saya, di balik pemberian izin usaha pertambangan untuk kampus ialah skenario buruk yang sistematis, terukur dan terorganisir negara untuk membungkam nalar kritis universitas di Indonesia. Di mana suara lantang akademisi kita?
Kampus telah menjadi lembaga politis, masih waraskah akademisi kita?
Kampus sebagai kepanjangan tangan negara dalam urusan produksi pengetahuan dan SDM yang menunjang pembangunan. Perbedaan pendapat, apalagi penolakan, dianggap melawan. Risikonya, berimplikasi pada ancaman pemecatan rektor, dekan dan dosen bahkan sampai pengurangan jatah anggaran PTN yang bersumber dari APBN. Meminjam ungkapan Antonio Gramsci, di era Orde Baru, kampus adalah “ideological state apparatus”, yang harus tunduk kepada kemauan pemerintah melalui kementerian pendidikan. Kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya. Suara lantang yang menyinari menara gading universitas kita telah dibungkam menjadi menaranya para elite politik bangsa ini. kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya. Dalam konteks ini, kita menjadi paham mengapa suara para rektor PTN cenderung seragam untuk setuju, atau minimal diam, atas rencana pemberian IUP, yang jelas berisiko tinggi bagi reputasi kampus di mata publik.
Anehnya, pascareformasi 1998, kondisi tersebut berlanjut di era Jokowi dan Prabowo. Hal itu berkelindan dengan agenda neoliberalisasi dalam bentuk korporatisasi kampus. Jargon kampus mandiri, merdeka secara ekonomi, lebih kuat, maknanya: harus mencari uang sendiri dan negara lepas tangan. Dalam hubungan ini, bagi penulis, rencana pemberian IUP di kerangka dalam wacana yang sempit dan pragmatis: tambang akan menjawab kesulitan ekonomi di PT (dahaga anggaran operasional kampus yang tak terpenuhi oleh terbatasnya guyuran dana APBN). Kampus tak ubahnya korporasi biasa, turun jauh marwah sebagai lembaga sosial yang menjaga etika dan tanggung jawab bangsa. Matilah sudah kewarasan akademisi kita hari ini. Lantas, apa yang harus diharapkan pada universitas? Kalau yang ada hanyalah sebagai lembaga politik negara. Tak ubahnya, seperti watak politisi karbitan, pragmatis dan materealistik.
Krisis kemerdekaan universitas
Undang-undang Nomor 12 atau 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 4 memberi mandat kampus dalam pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan membentuk watak, peradaban bangsa yang bermartabat. Maknanya, kampus lembaga sosial yang menjalankan amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejak pemerintahan Orde Baru, PT terus mengalami represi secara sistemik, ketika menjalankan peran sosial di atas. Merujuk EJ Perry (2019) dalam Educated-acquiescence, represi atau koersi dapat bersifat negatif seperti pemecatan akademisi yang kritis, pelarangan diskusi akademik, atau bersifat positif (positive coercion), seperti pemberian remunerasi dan ”peluang atau tugas” jabatan birokrasi serta unit usaha. Dengn tujuannya sama: menghambat laju pencapaian akademik dan otonomi akademia sebagai kritikus atas kekuasaan yang koruptif. Proyek IUP adalah bagian dari skenario ini, yang kerap tidak disadari para dosen kita.
Bagi penulis, pendirian dan keberlanjutan perguruan tinggi adalah tanggung jawab negara dan masyarakat dan dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik. Secara tinjauan Sosiologis, dengan adanya pemberian IUP untuk kampus, banyak memicu konflik horizontal dan mengubah perilaku dosen jelas bertentangan dengan logika di atas dan memicu krisis reputasi perguruan tinggi di benak publik. Terjadi konflik kepentingan antara peran penyuplai gagasan, SDM, dan evaluator dengan pelaku usaha ekonomi ekstraktif yang menggerus sikap obyektif. Dalam iklim pendidikan tinggi yang sehat, pola relasi tiga pihak kampus dengan industri dan pemerintah seharusnya lebih setara. Ketiganya berbagi tugas masing masing sehingga dapat saling melengkapi, tidak bertabrakan. Terkait sumber pendanaan dari industri, titik berpijaknya adalah mandat atas tanggung jawab sosial industri ke masyarakat lewat PT yang harus terus diperkuat, bukan penerjunan PT sebagai pelaku, pemilik bisnis berskala besar itu sendiri. Penting disadari bahwa otonomi PT hanya bisa dirawat lewat fokus kerja sivitas akademikanya pada pelayanan akademik, bukan mala sebaliknya, mengelola industri tambang atau unit usaha komersial lain. Kita berharap bersama, kampus harus tetap menjaga otonomi akademiknya. Namun sayang, makin ke sini kampus malah telah menjadi mesin-mesin politik para elite bangsa ini.
Di akhir, penulis mengajak kepada seluruh akademisi, intelektual, aktivis untuk sama-sama duduk dan melihat persoalan ini secara kritis bersama bahkan melakukan konsolidasi gerakan bersama menolak secara tegas Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk kampus. Perguruan tinggi haruslah kembali pada esensinya sebagai menara gading laboratorium peradaban yang memproduksi pikiran-pikiran segar, kritis, transformatif, progresif, inklusif dan berkemajuan dan melahirkan berbagai intelektual, akademisi bernas di bangsa ini, sekaligus sebagai “bastion of the nation’s moral struggle” (benteng perjuangan moral bangsa).
“Semua orang adalah intelektual. Tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat” (Antonio Gramsci). (*)