TERNATE, NUANSA – Direktur Riset dan Opini Anatomi Pertambangan Indonesia, Safrudin Taher, mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera mengambil langkah tegas terkait dugaan penjualan 300 ribu ton bijih nikel yang sebelumnya disita untuk negara. Perusahaan tambang yang diduga menjual bijih nikel tersebut adalah PT Wana Kencana Mineral (WKM).
Menurutnya, ore yang dijual pada akhir 2021 itu hasilnya mencapai puluhan miliar. Hal ini menimbulkan keprihatinan terhadap tata kelola pertambangan yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat Maluku Utara.
Safrudin mengatakan, dugaan tersebut dilihat dari bijih nikel yang dijual awalnya merupakan milik PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT). Namun, izin usaha pertambangan (IUP) PT KPT dicabut oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan dialihkan ke PT WKM. Konflik hukum antara kedua perusahaan ini berujung pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan PT WKM sebagai pemegang IUP yang sah.
“Meski demikian, status hukum bijih nikel yang telah disita negara masih menjadi tanda tanya besar dan perlu diklarifikasi oleh pihak berwenang,” ujar Safrudin pada Nuansa Media Grup (NMG), Sabtu (15/2).
Ia menjelaskan, terkait Laporan Hasil Verifikasi (LHV) menunjukkan bahwa pemerintah daerah diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp30 miliar akibat dugaan penjualan bijih nikel ini. Selain itu, PT WKM juga diduga belum memenuhi kewajibannya dalam menyetor dana jaminan reklamasi selama empat tahun (2018-2022). Dari total kewajiban sebesar Rp13,45 miliar, perusahaan ini baru menyetor Rp124 juta pada tahun 2018.
“Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait komitmen PT WKM dalam menjaga lingkungan pasca-penambangan,” tegas Safrudin.
Menurutnya, kasus ini terkait erat dengan berbagai regulasi yang mengatur sektor pertambangan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dikenakan pidana hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar, sedangkan Pasal 161 menegaskan bahwa pihak yang menampung atau menjual mineral ilegal juga dapat dipidana.
Selain itu, PP No. 96 Tahun 2021 mengatur dalam Pasal 107 bahwa IUP yang dicabut tidak boleh digunakan untuk penjualan sebelum ada ketetapan baru dari pemerintah, serta Pasal 187 yang menyebutkan sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca-tambang. Sementara itu, Permen ESDM No. 26 Tahun 2018 mengatur dalam Pasal 63 bahwa setiap perusahaan tambang wajib menyediakan dan menyetor dana jaminan reklamasi sesuai ketentuan.
“Kami meminta sikap tegas dari Kementerian ESDM untuk segera melakukan investigasi menyeluruh terkait kasus ini, memastikan transparansi dalam proses penyelidikan, dan memberikan sanksi tegas jika ditemukan pelanggaran,” tegasnya.
Safrudin juga menegaskan, pemerintah harus menjamin bahwa perusahaan tambang mematuhi peraturan terkait dana jaminan reklamasi guna memastikan keberlanjutan lingkungan.
“Masyarakat Maluku Utara harus mengawal kasus ini guna memastikan bahwa sumber daya alam tidak dieksploitasi secara tidak adil. Pemerintah harus memperkuat pengawasan industri pertambangan demi kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan,” pungkasnya. (tan)