TERNATE, NUANSA – Dua jurnalis di Kota Ternate diduga dikeroyok dan dianiaya sejumlah anggota Satpol PP saat liputan demo mahasiswa di Kota Ternate. Dua jurnalis tersebut yakni Julfikram Suhadi selaku jurnalis Tribun Ternate dan Fitriyanti selaku jurnalis Halmahera Raya. Peristiwa itu terjadi di depan kantor wali kota, Senin (24/2). Aksi premanisme oknum Satpol PP ini mendapat kecaman berbagai pihak.
Wartawan dan Komunitas Penulis (Warkop) Halmahera Selatan meminta Kapolda Maluku Utara Irjen Pol Midi Siswoko agar menangkap oknum Satpol PP tersebut. Desakan itu disampaikan Koordinator Warkop Halsel, Amrul Doturu. Menurutnya, dalam menjalankan tugas peliputan, tidak dibenarkan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu ataupun pejabat di setiap instansi.
“Tugas wartawan adalah meliput, mengabarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dan tidak dibenarkan seorang pejabat instansi pemerintah maupun penegakan hukum melakukan kekerasan dalam bentuk apapun,” ujar Amrul.
Tindakan oknum Satpol PP sangat melukai hati dan perasaan seluruh wartawan Indonesia, khususnya rekan-rekan Warkop Halsel. Karena itu, Kapolda diminta mengambil sikap dan langkah tegas terhadap oknum tersebut.
“Jangan biarkan peristiwa ini memicu kemarahan wartawan lebih besar lagi. Karena itu, Warkop meminta agar bapak kapolda segera bertindak, tahan pelakunya,” tegasnya.
Menurutnya, dalam tugas peliputan seorang jurnalis dibekali dengan tanda pengenal atau id card, untuk dapat menunjukkan kepada pejabat atau instansi di mana dia meliput. Selain itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah undang-undang yang mengatur prinsip, ketentuan, dan hak-hak penyelenggara pers di Indonesia.
“Dalam pasal 18 ayat 1, seseorang yang dengan sengaja menghambat dan menghalangi tugas wartawan otomatis melanggar ketentuan pasal tersebut diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta,” jelasnya.
Lanjut Amrul, tugas Satpol PP dalam kegiatan unjuk rasa adalah mengawal dan menertibkan kegiatan aksi. Bukan sebaliknya menggunakan sikap kekerasan seperti yang terjadi di Ternate hari ini.
“Ini kalau dipahami oleh oknum Satpol PP, maka pentingnya belajar memahami tugas dan fungsi. Wartawan bukan objek kekerasan dengan mudanya dipukuli, dianiaya dan lain sebagainya,” tegas Amrul.
Amrul berharap, pihak penegakan hukum maupun Pemerintah Kota Ternate, agar tidak membiarkan kasus ini berjalan di tempat seperti kasus-kasus lainnya.
“Selain pak kapolda, kami Warkop juga meminta agar Kasatpol PP dan oknum pelaku kekerasan dicopot dari jabatan mereka,” ujarnya.
Kecaman ini juga dilontarkan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Jufri S Hanafi. Menurutnya, tindakan kekerasan ini bukan baru sekali dilakukan petugas kemanan, melainkan sudah berulang kali ketika aksi berlangsung dari tahun ke tahun. Padahal Dalam amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 Lembar No 56791 pasal 256 ayat (7) yang menjelaskan “tugas, pokok, dan fungsi Satpol PP adalah menegakkan Perda dan Perkada; menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman; dan menyelenggarakan perlindungan masyarakat”.
“Dalam narasi amanat tersebut bahwa tugas Satpol PP itu menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman dan perlindungan masyarakat, bukan mendiskriminasi atau mengintimidasi masyarakat, tindakan tidak terpuji ini harus ditindaklanjuti dengan serius oleh pihak kepolisian,” ujar Jufri.
“Oknum Satpol PP seperti ini kalau dipelihara akan semakin menjadi-jadi, kalau bisa Kasatpol PP Kota Ternate harus pecat oknum tersebut. Seorang jurnalis saja dianiaya bagaimana kalau itu masyarakat biasa. Kalau jurnalis saja dianiaya dan diintimidasi, berarti mereka sudah mencoba menghalangi tugas jurnalis untuk meliput segala aktivitas yang ada,” sambungnya.
Untuk itu, pihak kepolisian diminta segera memproses oknum Satpol PP tersebut. Jika tidak, sifat kebiadaban dan tindakan intimidasi itu akan terus menerus dilakukan oleh oknum-oknum anggota yang lain. (rul/tan)
