Opini  

Sosiologi Kota Ternate

Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

_____________________________

KOTA Ternate merupakan salah satu kota bersejarah yang memiliki posisi strategis di Kepulauan Maluku Utara. Sebagai pusat Kesultanan Ternate serta pusat perdagangan rempah yang berpengaruh pada abad ke-16, kota ini menyimpan warisan sosial, budaya, dan politik yang begitu kaya. Dalam perspektif sosiologi, Kota Ternate merupakan contoh kota pulau yang memadukan warisan tradisional dan transformasi modern.

Penting dipahami, bagaimana Kota Ternate dengan sejarah panjangnya, dapat menautkan tradisi, identitas lokal, struktur sosial, dan dinamika ruang kota yang berkembang di sela-sela maraknya hembusan kencang globalisasi, modernisasi, dan digitalisasi.

Secara geografis, Ternate merupakan kota pulau yang berbasis vulkanik dan secara ruang memiliki keterbatasan. Keterbatasan geografis ini berpengaruh pada pola pemukiman, relasi sosial, serta pola mobilitas masyarakatnya.

Dalam studi urban, kota pulau memiliki karakteristik khusus : keterisolasian relatif, kepadatan tinggi, dan keterbatasan lahan yang mengarah pada bentuk urbanisasi unik (King, 2009).

Sementara identitas lokal masyarakat Kota Ternate masih sangat erat bertumpu pada nilai-nilai adat dan Islam. Peran Kesultanan Ternate masih kokoh hidup dalam bentuk simbolik dan kultural : upacara adat, penggunaan bahasa Ternate dalam ruang publik, serta relasi genealogis masyarakat dengan bangsawan atau bobato, masih bekerja dengan fungsional. Identitas ini menciptakan relasi dan ruang sosial yang membedakan antara warga tempatan dengan warga pendatang.

Sebagai kota perdagangan dan pemerintahan, Kota Ternate mengalami heterogenitas etnis yang cukup tinggi. Penduduk Kota Ternate terdiri dari berbagai etnis seperti : China, Arab, Ternate, Tidore, Makeang, Buton, Bugis, Sumatera, Jawa, dan sebagainya. Heterogenitas ini menghasilkan dinamika sosial yang kompleks, namun relatif berjalan secara harmonis. Meskipun pernah terjadi ketegangan etnis pasca-kerusuhan Maluku Utara di tahun 1999–2000, Kota Ternate mampu bangkit sebagai kota yang mengedepankan kemajemukan dan toleransi yang begitu egaliter.

Kota Ternate juga menjadi ruang urbanisasi dari wilayah dan pulau sekitarnya. Mulai dari Halmahera Selatan, Halmahera Barat, Halmahera Utara, Sula, Taliabu, Tidore, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Pulau Morotai, hingga dari Sulawesi dan Maluku. Urbanisasi ini membawa perubahan dalam struktur sosial kota, dari yang sebelumnya berbasis komunitas ke arah masyarakat yang lebih cair dan individual. Fenomena ini selaras dengan pandangan sosiolog Manuel Castells (1996) tentang the rise of the network society, di mana kota menjadi ruang jaringan relasi sosial yang fleksibel.

Sebagai pusat ekonomi Maluku Utara, Kota Ternate mengalami proses urbanisasi yang demikian pesat sejak awal 2000-an. Pertumbuhan sektor jasa, perdagangan, dan pendidikan telah mendorong lahirnya transformasi ekonomi kota. Namun, pertumbuhan ini tidak selalu merata. Ketimpangan antara pusat kota dan wilayah pesisir serta perbukitan masih nyata. Kawasan seperti Dufa-Dufa, Kalumata, dan Gambesi mengalami pertumbuhan cepat, sementara wilayah lain masih tertinggal dalam hal infrastruktur.

Urbanisasi di Kota Ternate juga menimbulkan masalah-masalah sosial khas kota, seperti : sampah, kemacetan, keterbatasan ruang hijau, adanya hunian serampangan, praktik prostitusi, dan bahkan perdagangan orang (TPPO). Dalam konteks ini, pendekatan sosiologi perkotaan seperti yang dikembangkan oleh Wirth (1938) tentang urbanism as a way of life menjadi relevan. Masyarakat kota menghadapi disintegrasi komunitas tradisional, meningkatnya anonimitas, dan pergeseran nilai.

Kota Ternate merupakan pusat pendidikan tinggi di Maluku Utara, dengan berbagai keberadaan perguruan tinggi negeri dan swasta (PTN/PTS). Pendidikan menjadi instrumen mobilitas sosial bagi banyak warga pulau, terutama generasi muda dari Sula, Halmahera, Tidore, dan bahkan dari luar Maluku Utara. Namun, akses pendidikan masih dipengaruhi oleh kelas sosial dan lokasi geografis. Anak-anak dari wilayah pesisir dan pulau-pulau terluar mengalami hambatan struktural dalam mengakses pendidikan tinggi.

Kehadiran mahasiswa dari luar kota juga mengubah konfigurasi sosial Kota Ternate. Mereka menciptakan ruang-ruang sosial baru seperti kafe, komunitas seni, dan gerakan mahasiswa, yang menjadi bagian dari kultur urban kontemporer. Proses ini mencerminkan transformasi kota menjadi pusat diskursus dan aktivisme sosial.

Meskipun secara administratif, Kota Ternate tetap memiliki ikatan erat dengan wilayah perdesaan, terutama pulau-pulau di sekitarnya. Kota Ternate telah menjadi pusat distribusi barang, informasi, dan tenaga kerja. Relasi kota-desa-pulau berlangsung dalam bentuk mobilitas harian, migrasi sirkuler, dan pertukaran ekonomi informal. Dalam kajian sosiologi, ini disebut sebagai extended urbanization (Lefebvre, 2003), di mana kota dan desa/pulau tidak lagi terpisah secara tegas, tetapi saling terhubung melalui jaringan sosial dan ekonomi.

Ini dapat dicontohkan dengan banyaknya petani cengkeh dari Halmahera yang menjual hasil panennya di pasar Bastiong atau Gamalama. Begitu pula, nelayan dari Pulau Hiri, Moti, dan pulau sekitarnya rutin menjual ikan ke pusat kota. Kota Ternate bukan hanya ruang konsumsi, tapi juga ruang pertemuan berbagai sistem sosial-ekonomi.

Sebagai kota vulkanik dan pesisir, Ternate menghadapi tantangan ekologis yang signifikan, seperti erupsi Gunung Gamalama, abrasi pantai, dan banjir. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali memperparah kerentanan ekologis tersebut. Tata ruang yang tidak berbasis ekologi telah mengarah pada alih fungsi lahan, deforestasi, dan pembangunan di zona rawan bencana.

Dalam berbagai pengamatan, ternyata pembangunan hotel, pusat perbelanjaan, dan pembangunan lainnya di Kota Ternate kerap mengabaikan aspek kerentanan bencana dan tata kelola lingkungan. Dalam konteks ini, perspektif ekososial perlu digunakan untuk memahami hubungan antara masyarakat Kota Ternate dan ruang ekologisnya.

Sosiologi Kota Ternate memperlihatkan bahwa, kota ini bukan hanya pusat administratif dan ekonomi semata, tetapi juga merupakan ruang di mana identitas, etnisitas, dan modernitas saling bertaut, berkelindan, dan berinteraksi. Sehingga itulah, Pemerintah Kota Ternate meletakkan “Kota Rempah” sebagai identitas ikon dan branding, tetapi identitas ini tidak terasa dalam kehidupan sosial masyarakat. Di sinilah, branding Kota Rempah hanya ditemukan dalam dokumen formal, tetapi tidak menjadi identitas yang nyata.

Kota Ternate mencerminkan dinamika sebuah kota pulau yang khas, dengan tantangan sosial, ekologis, dan kultural yang begitu kompleks, tetapi mampu berjalan beriringan secara anggun. Kajian sosiologis terhadap kota ini penting tidak hanya untuk memahami struktur sosial lokal, tetapi juga untuk merumuskan kebijakan kota yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. (*)

Exit mobile version