Oleh: Dealfrit Kaerasa, S.H
________________________
“Paltering adalah penggunaan aktif dari pernyataan jujur yang selektif untuk menyesatkan”.
Beranjak dari video dengan durasi 2 menit 33 detik yang diunggah pada akun Facebook Bupati Halmahera Barat juga politisi Partai Demokrat pada 21 April 2025. Jumlah tayang 9,2 ribu, 78 komentar (paling banyak pujian) dan 20 kali dibagikan. Sejak detik ke 7, sambil berbicara bupati mengeluarkan uang dari dompet, terlihat arahan dari sopir juga rombongan bupati ke beberapa petani, supaya masuk dalam footage tersebut sambil mengambil uang yang diberi. Tampak gestur tubuh seorang perempuan paruh baya cenderung membelakangi lawan bicara (bupati), sekilas membosankan. Dalam psikologi, ini hanya satu jenis bahasa tubuh yakni menghindari atau kurang kontak mata. Mungkin karena bosan, marah atau apapun itu.
Seperti yang disampaikan Goenawan Muhammad dalam kesimpulan menyindir, yang lebih penting; kemasan. Menurutnya, kehidupan politik telah berubah menjadi lapak dan gerai, kios dan show-room. Sebuah masa yang menempatkan hasil jejak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran (Kamarudin Hasan 2022).
Sekilas tentang pencitraan, terdapat dua elemen dasar yakni positioning: Seperti apakah pelaku politik ‘ditempatkan’ dalam pikiran penerima pesan politik. Ries dan Trout mendefinisikan “positioning” sebagai menempatkan produk dalam pikiran konsumen.” Meski begitu, positioning bukanlah suatu yang dilakukan terhadap produk itu sendiri, melainkan menempatkan produk itu dalam pikiran calon konsumen. Sementara memory adalah bagaimana ‘kesan terhadap pelaku politik’ di-hold dalam pikiran penerima pesan.
Manusia pada hakekatnya adalah cognitive miser (pelit mengalokasikan sumber daya kognitifnya) dan kerap menyeleksi informasi yang ingin disampaikan dalam memori; hanya hal-hal yang dinilai penting olehnya-lah yang disimpan, sedang lainnya dibuang. Apalagi dalam dunia yang dipenuhi dengan pesan-pesan komunikasi (overcommunicated society), manusia memiliki semacam mekanisme yang disebut “oversimplified mind”, dimana pikiran hanya menyerap pesan-pesan yang dianggapnya tidak terlalu rumit dan sederhana.
Untuk mendekati dua elemen dasar di atas, dibutuhkan persuasi atau usaha meyakinkan orang lain untuk berbuat dan bertindak seperti yang diharapkan komunikator tanpa paksaan, atau memperteguh sikap, kepercayaan dan perilaku khalayak secara sukarela (Kamarudin Hasan 2009).
Dalam penelitian Dr. Lynn Hasher dan koleganya di Temple University yang dipublis pada 1977, menjelaskan bahwa fenomena Illusory Truth Effect adalah fenomena yang terjadi ketika sebuah pernyataan dan tindakan diulang terus menerus dan meyakinkan kita tentang suatu hal sehingga otak kita merasa familiar walaupun faktanya masih belum jelas (Pierre, 2020).
Diahi dan Kebohongan Framing Politik
Mengutip dari studi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), rata-rata seseorang berbohong sebanyak dua kali dalam satu hari. Sebab itu, sebagian besar dari kebohongan terutama kebohonagn politisi, tidak berdampak dan berfungsi hanya untuk menghindari kecanggungan, membantu orang membuat kesan yang baik atau membuat orang lain merasa senang.
Robert Feldman psikolog di University of Massachusetts menilai bahwa manusia sudah punya kemampuan alami untuk berbohong dengan berbagai cara. Robert juga mengatakan kebohongan yang kita terima dari para politisi, adalah hal yang diterima karena itulah yang ingin kita dengar, seperti ketika pasangan Anda bilang, pakaian Anda keren (CNN Indonesia 2023).
Mengelabui orang lain dengan “menyatakan hal yang benar” kini sudah jamak di masyarakat. Itu sebabnya muncul istilah baru yang disebut paltering, yang artinya mempermainkan kebenaran. Kebohongan jenis ini beredar luas di masa kini, sehingga batas antara kejujuran dan kebohongan menjadi samar. Alasan mengapa kita harus berbohong juga tidak jelas lagi.
Hadir dengan sembilan langkah aksi janji kerja Pemerintahan JUJUR periode pertama yang terangkum dalam semboyan ‘Diahi Halbar’ yang bermakna memperbaiki, merapikan, dan mengakselerasi pembangunan di Halmahera Barat, tuai kontroversi dan sebatas Illusory Truth Effect.
Relokasi Rumah Sakit Pratama dengan anggaran 43 miliar, merupakan satu dari sekian banyak kebohongan pemerintahan JUJUR terhadap masyarakat Loloda dan Halmahera Barat. Satu tahun lalu bupati pernah ber-statement, bahwa “jika rumah sakit yang megah itu dibangun di Janu Loloda, bukan hanya tidak ideal tetapi mubazir” (Sorotanmalut 2024). Ucapan dan keputusan sepihak itu bagi penulis sangat menyayat hati.
Fakta lain adalah terkait dengan pengelolaan minyak tanah subsidi untuk masyarakat Halmahera Barat, dimana pada tahun 2024 terdapat jatah wajib untuk kebutuhan Nataru dan Idulfitri sebanyak 446 ton, yang diduga digelapkan oleh oknum tertentu. Hal ini justru tidak selaras dengan janji kerja pada poin 9, yakni Halbar inovatif.
Penyaluran bansos akhir studi yang semrawut, dimana terdapat data ganda penerima, dengan tahun anggaran yang berbeda sebagaimana dalam dua dokumen keputusan bupati dan LHP BPK RI tahun 2022. Secara yuridis tidak sesuai dengan Permendagri no 77 Tahun 2020 dan Perbup Halbar No 2.A Tahun 2019.
Hampir di setiap opini BPK terhadap kepemimpinan JUJUR (James Uang-Djufri Muhammad) periode pertama, sejak 2021 hingga 2024 ditemukan dua poin, selain lemahnya pengendalian interen, kedua adalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Ini selaras dengan launching hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) oleh KPK pada tahun 2024 yang dipublis pada 22 Januari 2025 kemarin, Halmahera Barat berada pada peringkat ke sepuluh dengan presentase 59, 37. Bagi KPK angka ini masuk dalam kategori rentan yang diberi skor merah.
Lemahnya pengawasan hukum dan kontrol publik, yang diperketat dengan budaya patronase dalam penyelengaraan aktivitas kekuasaan (konstruksi legitimasi politik) berlangsung intens, mengakibatkan korupsi politik (political corruption) semakin marak. Dalam situasi seperti ini, fungsi negara menjadi tidak efektif. Pelemahan ini lahir akibat buruknya transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah, kondisi sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang tidak memadai, atau muncul karena kekuasaan politik yang opresif (Alkostar 2009).
Hari ini genap sudah 215 hari kerja adik dan istri bupati Halmahera Barat sejak dilantik sebagai anggota DPRD provinsi dan kabupaten, pada 23 September 2024. Baru seumur jagung di kursi legislatif, beredar isu salah satu dari keduanya diduga kuat akan dipersiapakan pada pilkada mendatang. Tak lain dari framing membentuk politik dinasti yang coba dibuat secara perlahan.
Kondisi ini seperti yang menurut Gautam Mukunda, pakar kepemimpinan dan peneliti di Harvard Kennedy School’s Center for Public Leadership, dalam tesis doktoralnya menjelaskan, upaya merebut posisi melalui kualitas unik dan tidak memiliki peringkat atau prestasi, mereka datang melalui jendela. Mukanda menjelaskan kualitas unik ini seringkali negatif, kualitas yang Anda dan saya anggap “buruk”. Tentu ini bukanlah “cerdas politik” (Eric Barker 2019).
Kepemimpinan di setiap masa yang tidak “tersaring” dan cenderung mengutamakan kepentingan kelompok, tapi abai terhadap amanat rakyat, sulit mengawal kebijakan publik dalam semua aspek, yang ada hanya demokrasi kehilangan nyawa. Halmahera Barat sedang mencari pemimpin, buka penguasa yang tak kenal batas. (*)