Opini  

Raja Ampat: Shadow State dan Kepalsuan Perlindungan Lingkungan

Oleh: Mochdar Soleman
Sekjen GP Nuku,
Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan, Universitas Nasional

____________________

Negara tampak berdaulat, tetapi kebijakan lingkungannya digerakkan oleh aktor-aktor bayangan yang lebih setia pada modal daripada pada rakyat.”

PADA 9 Juni 2025, pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya (kompas.id, 2025). Langkah ini sontak dipuji sebagai bentuk komitmen negara melindungi ekosistem yang selama ini terancam ekspansi tambang. Namun pujian itu segera berubah menjadi kecurigaan saat diketahui bahwa PT Gag Nickel, perusahaan besar yang aktif beroperasi di Pulau Gag—sebuah kawasan konservasi—justru tidak tersentuh oleh kebijakan pencabutan tersebut.

Ketimpangan perlakuan ini bukan sekadar anomali administratif. Ia adalah cermin dari struktur kekuasaan yang timpang, di mana kebijakan lingkungan bukan diputuskan secara objektif, tetapi dinegosiasikan dalam relasi kekuasaan yang kompleks antara negara, korporasi, dan elite lokal. Dalam konteks ini, publik patut bertanya: apakah negara sungguh berpihak pada perlindungan lingkungan, atau hanya sedang mempercantik wajahnya sembari melayani kepentingan kapital besar?

Hal yang ditunjukkan pemerintah ini, tidak lebih seperti politik sumber daya dan kekuasaan yang selektif. Jika kita tinjau dalam perspektif ekologi politik, dapat membantu kita memahami bahwa konflik lingkungan tidak lahir dari vakum birokrasi, melainkan dari kontestasi politik atas sumber daya. Hal ini ditunjukkan Erman (2015) dalam studinya yang mengemukakan bahwa negara bukan entitas netral, melainkan arena tempat berbagai aktor memperjuangkan akses dan kontrol atas kekayaan alam. Dalam sistem ini, kebijakan lingkungan menjadi alat seleksi kekuasaan—siapa yang lemah akan disingkirkan, siapa yang kuat akan dilindungi.

Dapat diketahui, PT Gag Nickel adalah representasi kekuatan yang berada dalam jejaring kekuasaan. Meskipun beroperasi di wilayah konservasi yang secara hukum harus dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, perusahaan ini tetap berdiri kokoh. Ketika hukum tidak berlaku bagi semua, maka legitimasi negara mulai runtuh. Kita menyaksikan bukan pelaksanaan hukum, tetapi pelembagaan ketimpangan.

Situasi ini menjadi lebih terang ketika kita meminjam kacamata shadow state yang dikutip dari Nordholt dan Van Klinken (2007) yang menyatakan bahwa di Indonesia pasca-Soeharto, negara dijalankan bukan hanya melalui lembaga formal, tetapi juga melalui jaringan informal yang terdiri dari politisi, aparat keamanan, dan pengusaha yang bekerja di balik layar kebijakan publik. Dalam logika ini, PT Gag Nickel tidak hanya beroperasi karena izin legal, tetapi juga karena berada dalam proteksi jejaring kekuasaan informal yang kebal terhadap kontrol publik.

Inilah wajah negara bayangan—sebuah sistem paralel di mana keputusan penting tidak ditentukan di meja rapat kementerian, tetapi dalam ruang-ruang tertutup penuh kompromi antara elite politik dan pemilik modal. Di hadapan negara bayangan ini, undang-undang bisa lentur, dan prinsip lingkungan menjadi bahan tawar-menawar belaka. Selain itu, penulisan ini dikaji juga dari prespektif clientelisme sebagaimana dijelaskan oleh Abente Brun dan Diamond (2014), dalam sistem ini juga masih sangat relevan, kebijakan publik dijalankan berdasarkan hubungan timbal balik antara patron dan klien “pengusaha memberikan dukungan politik atau logistik, dan negara membalas dengan akses terhadap sumber daya.” Rakyat, terutama masyarakat adat, didegradasi menjadi penonton yang hanya bisa berharap pada belas kasih elite.

Di Papua, masyarakat adat yang hidup secara turun-temurun di sekitar Pulau Gag seolah tidak dianggap sebagai pemilik sah ruang hidup mereka. Mereka tidak dilibatkan secara penuh dalam proses perizinan, tidak mendapatkan jaminan ekologis, dan lebih sering menjadi korban dari klaim pembangunan. Ini bukan sekadar pengabaian, melainkan perampasan hak secara struktural.

Inilah bentuk krisis demokrasi yang mendalam—ketika representasi politik dibajak oleh kekuatan modal, dan suara masyarakat adat dipinggirkan oleh relasi patronase. Demokrasi menjadi prosedural belaka, tanpa substansi partisipasi dan keadilan sosial.

Lalu bagaimana kita bisa membongkar kepalsuan dan membangun jalan keluar? Pada dasarnya, krisis ini tidak akan selesai dengan pencitraan semu atau retorika lingkungan yang kosong. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membongkar struktur negara bayangan yang menyandera kebijakan publik. Untuk itu, evaluasi terhadap seluruh izin tambang di kawasan sensitif ekologis harus dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan partisipatif—terutama dengan melibatkan masyarakat adat sebagai subjek, bukan objek.

Kebijakan sumber daya alam harus kembali pada prinsip keadilan ekologis, keberlanjutan jangka panjang, dan penghormatan terhadap hak kolektif warga. Tanpa ini, setiap langkah yang tampak hijau hanya akan menjadi daur ulang dari kekuasaan lama yang berwajah baru.

Kasus Raja Ampat adalah cermin dari penyakit lama yang belum sembuh “selektivitas kekuasaan, dominasi modal, dan pengabaian terhadap masyarakat lokal.” Jika negara ingin menyelamatkan wajahnya di mata publik, ia harus membuktikan bahwa hukum berlaku untuk semua, dan bahwa lingkungan bukan hanya alat retoris, tetapi komitmen yang dijalankan tanpa kompromi.

Tanpa itu, kita tidak sedang menuju keadilan ekologis—kita sedang berjalan mundur, kembali ke masa ketika kekuasaan lebih peduli pada kekayaan daripada kehidupan. (*)