HUT ke-22 Halmahera Selatan: Kegagalan Struktural di Balik Seremoni Daerah

Firdaus Muhidin.

Oleh: Firdaus Muhidin

_______________________

TANGGAL 9 Juni 2025, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) genap berusia 22 tahun. Perayaan ulang tahun ini ditandai dengan kemeriahan panggung, atraksi budaya, dan seremonial pemerintahan. Namun, di balik kemegahan tersebut, tersembunyi serangkaian masalah struktural yang membelenggu pembangunan daerah ini sejak lama.

Dalam perspektif ilmu politik dan pembangunan daerah, seremoni tidak pernah menjadi indikator utama kemajuan. Justru, hal yang harus dinilai adalah output dari kebijakan publik. Sayangnya, Halsel masih bergelut dengan masalah-masalah lama: infrastruktur yang timpang, ketimpangan sosial, rendahnya partisipasi publik dalam pembangunan, serta pengelolaan SDA yang tidak adil.

Salah satu ironi yang paling nyata adalah buruknya infrastruktur dasar. Banyak desa di wilayah kepulauan dan pesisir, sebut saja seperti di Obi, Bacan Timur Selatan, dan Kayoa, serta wilayah kecamatan/desa lainya masih kesulitan mengakses jalan layak, air bersih, dan jaringan listrik. Bukankah pembangunan harus menyentuh pinggiran?

Menurut pendekatan teori ketimpangan wilayah (regional disparity), kesenjangan pembangunan antara pusat dan desa hanya memperparah marginalisasi sosial. Masyarakat di daerah terpencil merasa ditinggalkan, sementara perayaan HUT berlangsung megah di pusat kabupaten.

Pendidikan pun masih menjadi sektor yang tertinggal. Data internal Dinas Pendidikan menunjukkan bahwa masih banyak sekolah dengan guru yang tidak mencukupi dan fasilitas minim, terutama di pulau Gane dan pulau Kasiruta. Dan bukan hanya sebatas pulau itu juga, pulau pesisir lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Halmahera Selatan yang kekurangan akses pendidikan. Apakah ini yang disebut pembangunan inklusif?

Dalam kerangka teori keadilan sosial menurut John Rawls, ketimpangan dapat diterima hanya jika menguntungkan yang paling lemah. Tetapi kondisi pendidikan di Halsel hari ini justru memperbesar kesenjangan antar kelas sosial, melemahkan mobilitas sosial bagi masyarakat miskin.

Selain itu, pelayanan kesehatan masih jauh dari standar. Banyak puskesmas di pulau-pulau tidak memiliki dokter tetap dan obat-obatan sering kosong. Di tengah kondisi ini, perayaan HUT ke-22 terasa sebagai ironi yang menyakitkan bagi warga yang kesulitan mengakses layanan dasar.

Pengelolaan sumber daya alam (SDA), terutama tambang, menjadi persoalan serius. Banyak masyarakat adat dan nelayan lokal di Obi dan Gane merasa tersingkir akibat ekspansi industri tambang yang masif dan maraknya tambang ilegal tanpa kendali dan pengawasan yang ketat oleh pemerintah terkait. Belum lagi masalah pencemaran laut yang belum ditindak secara tegas oleh pemerintah daerah.

Dalam perspektif ekonomi politik, eksploitasi SDA tanpa kontrol demokratis hanya melanggengkan relasi kuasa antara elite lokal dan investor. Tidak ada distribusi manfaat yang adil untuk masyarakat lokal. Hasil tambang mengalir ke luar, sementara warga lokal tetap miskin.

Ironisnya, pemerintah daerah justru terkesan lebih sibuk membangun pencitraan daripada memperkuat kapasitas kelembagaan. Anggaran daerah sebagian besar terserap untuk belanja pegawai dan perjalanan dinas, bukan untuk pelayanan publik. Hal ini menunjukkan kegagalan dalam pengelolaan fiskal yang sehat.

Evaluasi atas perencanaan pembangunan juga menunjukkan ketidaksesuaian antara RPJMD dan realisasi di lapangan. Banyak program yang bersifat populis, tanpa indikator kinerja yang jelas, dan cenderung tidak berkelanjutan.

Tidak heran jika indeks pembangunan manusia (IPM) Halsel masih berada di bawah rata-rata provinsi. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak linier dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Sisi lain dari kegagalan struktural adalah lemahnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Forum Musrenbang kerap menjadi ajang formalitas yang tidak benar-benar menjaring aspirasi rakyat kecil. Aspirasi hanya berakhir sebagai dokumen.

Demokrasi lokal seharusnya menjamin keterlibatan masyarakat dalam merumuskan arah pembangunan. Tetapi di Halsel, elite politik dan birokrat masih mendominasi diskursus publik. Rakyat hanya dijadikan objek pembangunan, bukan subjek.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kasus korupsi yang masih membayangi sistem pemerintahan daerah. Proyek-proyek fiktif, mark-up anggaran, dan pengadaan barang yang tidak transparan merupakan praktik yang masih berlangsung secara laten.

Tansparansi dan akuntabilitas menjadi tantangan besar dalam reformasi birokrasi di Halsel. Upaya digitalisasi administrasi dan e-government belum dijalankan secara serius dan merata di seluruh OPD. Ini memperbesar potensi penyalahgunaan anggaran.

Masalah sosial lain yang tak kalah penting adalah tingginya angka pengangguran, terutama di kalangan anak muda. Juga persoalan hiruk pikuk anak-anak fakir miskin Halmahera Selatan  yang mencapai 9 ribu sebagaimana dikatakan oleh Sofyan Tamodehe selaku Plt Kepala Dinas Sosial Halmahera Selatan, Rabu, (11/6/2025/NuansaMalut). Tanpa adanya pusat pelatihan kerja yang efektif, generasi muda kehilangan arah dan cenderung putus asa, bahkan terjerumus ke dalam pergaulan bebas dan kriminalitas.

Belum lagi soal krisis lingkungan akibat deforestasi, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur tanpa AMDAL yang jelas. Hilangnya hutan di Bacan dan Obi tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup komunitas adat.

Dalam teori pembangunan berkelanjutan, ekonomi, sosial, dan lingkungan harus berjalan seimbang. Namun di Halsel, orientasi pembangunan masih menempatkan aspek ekonomi sebagai prioritas tunggal, mengabaikan dimensi ekologis dan budaya.

Di tengah semua ini, perayaan HUT ke-22 terasa sebagai semacam pelarian dari tanggung jawab struktural. Ini bukan waktu untuk pesta, tetapi waktu untuk refleksi mendalam: ke mana arah pembangunan Halsel sesungguhnya?

Sebagai daerah yang kaya akan sumber daya, Halsel memiliki potensi besar untuk menjadi daerah maju. Namun tanpa reformasi struktural yang mendalam, potensi itu hanya akan menjadi mitos yang dijual tiap tahun dalam pidato ulang tahun.

Maka, sudah saatnya pemerintah daerah berhenti menjadikan seremoni sebagai panggung propaganda. Alih-alih memoles wajah daerah dengan gemerlap acara, lebih penting membangun fondasi sosial yang kokoh, adil, dan berkelanjutan.

HUT ke-22 Halsel harus menjadi momentum perbaikan sistemik, bukan pengulangan simbolik. Karena sejatinya, kemajuan suatu daerah tidak ditentukan oleh meriahnya panggung ulang tahun, tetapi oleh kesejahteraan rakyatnya dari desa hingga kota. (*)

Exit mobile version