Opini  

Inflasi Pangan, Keapatisan Pemerintah, dan Dampaknya Terhadap Adagium “Perempuan sebagai Rahim Peradaban Bangsa”

Oleh: Nadrun Tatapa (Mahasiswa HTN IAIN Ternate)

_____________________

ISTILAH perempuan sebagai rahim peradaban ini lahir mula-mula karena dalam diri seorang perempuan rahim itu terletak (sebagai superioritas perempuan). Rahim secara harfiah; berarti tempat dimana sebuah kehidupan baru dimulai.

Kalau kita menyematkan pengertian Rahim secara harfiah tersebut dalam kehidupan seorang perempuan (sebagai ibu), maka ini berarti bahwa seorang ibu adalah episentrum dimana kehidupan seorang anak itu dimulai.

Hal ini menunjukkan betapa besar dan berharganya peranan seorang perempuan (sebagai ibu) dalam proses pertumbuhan-pendidikan seorang anak.

Oleh karenanya: bagaimana metodologi yang dipakai oleh seorang Ibu dalam mendidik seorang anak sangat mempengaruhi masa depannya; sebab masa keemasan pertumbuhan otak seorang anak atau yang sering disebut sebagai “golden age” terjadi saat seorang anak berusia 0-5 tahun (masa dimana seorang ibu tidak bisa dilepas-pisahkan dengan anak). Pada masa inilah otak seorang anak akan berkembang sangat pesat, yang akan membentuk dasar dari kecerdasan, baik kecerdasan afektif, psikomotorik, maupun kecerdasan kognitif.

Oleh karena seorang perempuan (sebagai ibu) adalah pendidikan paling pertama dan utama (madrasatul ula) untuk seorang anak, maka seorang perempuan memerlukan metodologi pendidikan anak yang baik (tidak harus berpendidikan formal).

Lalu bagaimana bisa dengan seorang ibu yang tidak berpendidikan formal mengetahui metodologi mendidik anak yang baik dan tepat?. Maka di situasi yang demikian, pemerintah (baik pemerintah lokal; pemdes, pemkab pemprov, maupun pemerintah pusat) harus hadir di tengah-tengah masyarakat dalam rangka sosialisasi edukasi dengan rutin, tentang metodologi mendidik anak yang baik. Hal ini tidak hanya menguntungkan seorang anak secara personal, tetapi juga masyarakat secara umum.

Tapi terhadap konsepsi di atas, kita tidak mempertanyakan bahwa selain metodologi pendidikan dari seorang ibu yang baik, hal-hal apa lagi yang dapat mendorong terwujudnya konsepsi tersebut.

Seakan kita lupa bahwa dibalik itu semua, ada pola dan menu makan yang harus diatur secara baik dan tepat (pola makan yang seimbang), guna untuk memenuhi kebutuhan energi, baik orang yang mendidik; ibu, dan orang yang dididik; anak.

Karena menurut konsensus dari berbagai macam sumber (Alodokter, Mykidz, Hermina, Asy-Syams dll), menunjukan bahwa pola makan anak yang sehat misalnya telur, buah-buahan, sayur, daging dll) dapat menunjang kecerdasan seorang anak, baik kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Dan juga menurut beberapa hasil penelitian (kalau kita eksplorasi ke Google), menunjukkan makanan yang dikonsumsi oleh seorang ibu dapat mempengaruhi ASI secara keseluruhan. Oleh karenanya, seorang ibu dalam merawat seorang anak yang masih dalam masa menyusui perlu makanan bergizi yang seimbang untuk memastikan anak mendapat nutrisi yang bergizi, guna untuk tumbuh kembangnya.

Tetapi dengan melihat situasi dan kondisi politik negara kita (baik di tingkat lokal maupun nasional), maka kita patut mempertanyakan; apakah dibalik konfigurasi politik dan sirkulasi elit kita sekarang ini, diri seorang perempuan sebagai madrasatul ula yang akan melahirkan generasi sebagai estafet yang kelak akan jadi pelaku-penerus perubahan bangsa akan tercapai sebagaimana yang diidealkan atau tidak?

Kenapa sampai kita harus mempertanyakan hal tersebut?, karena hampir di segala aspek kehidupan kita (salah satunya aspek ekonomi; pangan, sandang, dan papan) semua diatur dan ditentukan oleh politik.

Dan sudah terlihat secara jelas bagaimana inflasi pangan yang terjadi secara besar-besaran dan terus-menerus dikarenakan pengaruh dari kepentingan politik global oleh para pemodal (kapitalis),

Dengan mencuatnya harga bahan pokok, secara tidak lansung dapat menggugurkan konsepsi di atas, sebab hal tersebut dapat memengaruhi mampu tidaknya orang tua anak dalam mengakses makanan yang bergizi untuk dikonsumsi: baik untuk dirinya maupun untuk si anak.

Maka demi mewujudkan adagium “perempuan sebagai rahim peradaban”, harus ada perhatian khusus (daya dukung materi) oleh pemerintah terhadap keluarga yang strata sosialnya termasuk dalam kategori masyarakat kelas bawah. Karena kalau kita melihat konsensus tentang klasifikasi makanan yang dapat mendukung otak anak dan makanan yang tidak mendukung otak anak, maka kita akan temui jenis makanan yang dapat menunjang otak anak adalah jenis makanan yang sulit diakses oleh masyarakat kelas bawa (karena keterbatasan sumber daya).

Maka sekali lagi, harus ada perhatian khusus oleh pemerintah. Jikalau tidak, maka konsepsi di atas hanya tersentral dalam keluarga yang strata sosial menengah ke atas (selain dari metodologi pendidikan yang baik). (*)

Exit mobile version