Opini  

Lonjakan Kasus HIV di Maluku Utara: Alarm Bahaya dari Tidore hingga Halteng

Oleh: Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi) 

____________________

PULUHAN kasus HIV baru kembali mencuat dari Maluku Utara. Di Kota Tidore, puluhan pria dilaporkan terinfeksi akibat seks bebas (Borero.id, 13 Juni 2025). Di Halmahera Tengah, selama tiga tahun terakhir, tren kasus HIV/AIDS terus meningkat tajam. Fakta ini disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Halteng (Haliyora.id, 14 Maret 2025). Dua daerah ini hanyalah puncak gunung es. Di baliknya, ada realitas sosial yang sudah lama mengarah pada kehancuran.

Ini bukan hanya soal penyakit menular. Ini adalah cermin dari retaknya bangunan moral, lemahnya sistem perlindungan masyarakat, dan gagalnya negara melindungi generasi dari gaya hidup destruktif.

Seks Bebas Fenomena yang Tak Lagi Tersembunyi

Seks bebas bukan lagi perilaku menyimpang yang bersembunyi dalam gelap. Ia kini telah menjadi gaya hidup yang dikemas dengan bahasa kebebasan, hak, dan ekspresi diri. Masyarakat, khususnya anak muda, terpapar konten vulgar hampir setiap hari lewat media sosial, lagu, drama, hingga iklan.

Ironisnya, negara justru memilih netral, membiarkan gaya hidup bebas terus berkembang tanpa ada batas moral. Kita disuguhi edukasi seks aman, bukan ajakan menjaga diri dari perzinaan. Negara tidak lagi bertindak sebagai penjaga moral, melainkan fasilitator kebebasan.

Akibatnya, ketika kasus HIV meledak di Tidore dan Halteng, itu bukan kejutan. Itu hanya buah dari sistem sosial yang salah arah.

Sistem Kehidupan yang Salah

Lonjakan HIV tak bisa hanya dilihat dari sisi medis atau kesehatan. Akar masalahnya jauh lebih dalam. Kita hidup dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Dalam sistem ini, zina dianggap urusan pribadi, pornografi dilindungi sebagai “kebebasan berekspresi”, dan pendidikan hanya berfokus pada keterampilan kerja, bukan pembentukan moral.

Negara tidak sungguh-sungguh menjaga masyarakat dari penyimpangan. Prostitusi digital marak tapi tak tersentuh hukum. Aplikasi kencan jadi jalur zina massal. Di sisi lain, tekanan ekonomi membuat sebagian perempuan terutama dari keluarga miskin terjebak dalam relasi seksual transaksional demi bertahan hidup.

Semuanya terjadi di ruang terbuka. Tapi respons negara tak pernah menyentuh akar. Yang dilakukan hanya tambal sulam kampanye, seminar, atau distribusi alat pengaman. Padahal virus ini bukan hanya berpindah lewat tubuh, tapi lewat gaya hidup yang terus dinormalisasi.

Solusi Tak Bisa Setengah-Setengah

Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan individu dan mulai melihat sistem. Karena selama sistem membiarkan gaya hidup bebas menjalar, selama negara membiarkan konten seksual terus beredar luas, selama hukum tak tegas melindungi masyarakat dari kerusakan moral maka kasus HIV akan terus tumbuh. Kita perlu perubahan menyeluruh. Bukan hanya dalam pendekatan kesehatan, tapi dalam tatanan hidup itu sendiri.

Pertama, negara harus berani menutup seluruh akses terhadap pornografi, prostitusi digital, dan media yang memfasilitasi zina. Ini bukan bentuk pembatasan hak, tapi upaya menyelamatkan generasi.

Kedua, pendidikan harus direformasi. Kurikulum harus kembali membentuk manusia utuh bermoral, bertanggung jawab, dan punya visi hidup yang sehat. Pendidikan Islam bukan sekadar mata pelajaran, tapi menjadi dasar dalam membentuk karakter anak bangsa.

Ketiga, sistem ekonomi harus menjamin kebutuhan dasar warga. Banyak kasus HIV berkaitan dengan kemiskinan. Dalam sistem Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok warganya, sehingga tak ada yang harus menjual kehormatan demi bertahan hidup.

Keempat, masyarakat harus diposisikan sebagai garda depan penjaga nilai. Tokoh agama, adat, dan pemuda harus bersinergi membangun budaya saling menjaga, bukan saling menuding. Mereka yang terinfeksi tak boleh distigma, tapi juga tak boleh dibiarkan jadi korban sistem yang rusak.

Kelima, negara harus menjadikan Islam bukan sekadar simbol, tapi sistem kehidupan. Islam menetapkan zina sebagai pelanggaran berat bukan untuk menghukum, tapi untuk mencegah kehancuran sosial. Hanya dalam sistem Islam, negara benar-benar hadir menjaga akal, jiwa, keturunan, dan kehormatan manusia.

Jangan Biarkan Bahaya Ini Jadi Biasa

Tidore dan Halteng harus jadi alarm. Jika saat ini kita masih bisa menghitung jumlah penderita HIV, maka bisa jadi esok jumlahnya tak lagi terhitung. Jika sekarang kita hanya mencatat kasus dari dua daerah, bisa jadi besok menyebar ke seluruh Maluku Utara. Apalagi jika kita terus memilih diam dan hanya menambal luka tanpa menyembuhkan penyakit utamanya.

Sudah terlalu lama kita terbuai oleh narasi kebebasan. Sudah terlalu lama kita menghindari menyebut akar masalah karena takut dikritik sebagai konservatif atau intoleran. Padahal, tak ada yang lebih berbahaya daripada normalisasi zina yang difasilitasi oleh sistem.

HIV bukan sekadar penyakit. Ia adalah peringatan. Bahwa ada yang salah dalam arah hidup kita. Bahwa sistem ini tidak menjaga, tapi membiarkan manusia terseret pada kehancuran.

Kita Masih Punya Pilihan

Maluku Utara masih punya peluang. Tapi hanya jika kita berani memilih arah baru. Bukan dengan tambalan kebijakan medis, tapi dengan membangun sistem hidup yang melindungi. Bukan dengan netral terhadap zina, tapi dengan menegakkan aturan yang mencegah kerusakan.

Islam menawarkan sistem kehidupan yang menjaga manusia sejak dari niat hingga tindakan. Ia bukan hanya ajaran pribadi, tapi pedoman sosial, ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan. Dan hanya sistem seperti inilah yang bisa menyelamatkan generasi dari ancaman yang jauh lebih besar dari HIV yaitu kerusakan moral total. Wallahu’alam. (*)

Exit mobile version