Oleh: Faldi Ramli
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Unkhair Ternate
____________________
PEMERINTAH Kabupaten Halmahera Utara beberapa tahun terakhir sibuk menarasikan kesuksesan pembangunan lewat angka-angka pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Memang benar, PDRB Halmahera Utara secara nominal menembus Rp4.030 miliar pada 2024, naik tipis dibandingkan tahun 2023. Pemerintah daerah kemudian menargetkan di 2025 pertumbuhan ekonomi bisa didorong di atas 2%, dengan dalih optimisme pasca-pandemi dan gencarnya proyek infrastruktur.
Tapi apa arti semua angka itu ketika kita menengok kenyataan di desa-desa? Saat ini, masyarakat Halmahera Utara masih dihimpit harga sembako yang meroket, mahalnya biaya pendidikan, serta layanan kesehatan yang jauh dari memadai. Petani dan nelayan berteriak soal pupuk mahal, bahan bakar langka, hingga infrastruktur rusak yang membuat hasil panen membusuk sebelum dijual. Apakah ini yang dimaksud pembangunan manusia?
Angka kemiskinan memang menurun secara persentase, dari 12,5% di 2023 menjadi sekitar 11,6% di 2024. Tetapi perlu diingat, jumlah penduduk miskin dalam hitungan orang tidak serta-merta hilang — hanya berpindah status semu di atas kertas statistik. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, ketika inflasi pangan menghantam, masyarakat miskin dan hampir miskin sangat mudah kembali tergelincir ke bawah garis kemiskinan. Ini adalah kemiskinan rapuh yang seolah-olah turun, padahal hanya tertahan sesaat oleh program bantuan yang tidak menyentuh akar masalah.
Ironisnya, Indeks Pembangunan Manusia Halmahera Utara yang dijadikan kebanggaan di panggung politik hanya naik secuil. Dari 69,05 di tahun 2023 menjadi 69,78 pada 2024. Tahun 2025 pun diproyeksikan baru menembus angka 70 — masih tertinggal jauh dari rerata nasional. Sementara di lapangan, anak-anak di desa terpencil terpaksa belajar di sekolah berlantai tanah, tanpa toilet layak, tanpa buku bermutu. Para ibu hamil kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan dasar. Dan di banyak puskesmas, tenaga medis sangat terbatas.
Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah daerah adalah potret semu — hanya dinikmati oleh sebagian kecil elite ekonomi dan pemilik modal besar. Rakyat biasa di pesisir dan pedalaman belum banyak merasakan manfaatnya. Hal ini makin memperlebar ketimpangan sosial dan menciptakan bom waktu di tengah masyarakat.
Sayangnya, pemerintah daerah masih terjebak dalam paradigma lama: seolah-olah peningkatan PDRB otomatis akan menaikkan kesejahteraan rakyat. Padahal fakta membantahnya. PDRB bisa tumbuh dari bisnis perkebunan besar atau aktivitas ekstraktif yang dikuasai investor luar, tetapi tak banyak menciptakan lapangan kerja berkualitas untuk warga setempat. Bahkan kadang justru merusak lingkungan, merampas tanah adat, dan membuat rakyat kecil kehilangan sumber penghidupan.
Kita patut bertanya — pembangunan siapa yang sebenarnya didorong oleh Pemkab Halmahera Utara? Apakah pembangunan untuk rakyat kecil, atau hanya pembangunan yang memperkaya kelompok pemodal dan segelintir orang dekat kekuasaan?
Masyarakat Halmahera Utara berhak mempertanyakan kemana arah pembangunan ini berjalan. Kalau pembangunan hanya diukur dari angka makro ekonomi, tanpa melihat kualitas layanan dasar dan ketahanan masyarakat menghadapi guncangan, maka hasilnya hanyalah pertumbuhan palsu. Seperti balon mengembang yang mudah sekali pecah ketika tertusuk masalah baru, entah itu inflasi pangan, gagal panen, atau bencana alam.
Inilah yang terjadi di 2024 dan diperkirakan akan berlanjut pada 2025 jika tidak ada pembenahan serius. Program pembangunan yang menitikberatkan pencitraan proyek mercusuar, menara-menara tinggi di ibukota kabupaten, atau pembangunan jalan yang hanya menembus pusat kota, jelas tidak akan menyelesaikan persoalan dasar rakyat.
Halmahera Utara tidak butuh pembangunan simbolik. Yang dibutuhkan rakyat adalah pendidikan bermutu sampai ke desa terpencil, kesehatan dasar yang gratis dan manusiawi, jaringan listrik dan air bersih yang stabil, serta lapangan kerja produktif yang bisa menghidupi keluarga mereka. Ini seharusnya menjadi prioritas utama, bukan sekadar mengejar target PDRB yang hanya mempercantik laporan akhir tahun.
Lebih memprihatinkan lagi, pemerintah daerah hingga kini masih gagap dalam menanggulangi ketimpangan wilayah. Lihat saja perbedaan antara Tobelo dengan kecamatan-kecamatan lain seperti Loloda, Galela, atau Kao Barat. Disparitas pembangunan masih mencolok. Sumber daya mengalir ke pusat pemerintahan, sementara warga di pinggiran dibiarkan bertahan hidup dengan fasilitas seadanya.
Apakah Pemkab Halmahera Utara sadar bahwa jurang ketimpangan ini adalah bom waktu? Masyarakat yang terus merasa tersisih lama-lama akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Bukan tidak mungkin di masa depan muncul gejolak sosial atau konflik, karena rakyat muak dengan pembangunan yang hanya dinikmati segelintir orang.
Pada tahun 2025 adalah momentum untuk berubah. Pemerintah harus berani meninggalkan pola pikir pembangunan elitis. Anggaran daerah harus difokuskan ke pembangunan manusia, bukan hanya pembangunan fisik yang sarat kepentingan proyek. Anggaran pendidikan harus menembus desa, anggaran kesehatan harus menjangkau wilayah pesisir, dan pemberdayaan ekonomi harus diarahkan ke sektor riil rakyat — bukan hanya subsidi bagi korporasi besar.
Pemerintah daerah perlu sadar bahwa rakyat kini makin melek data dan makin kritis. Mereka tidak mau lagi dibohongi oleh angka-angka IPM dan PDRB yang naik tipis, tetapi di lapangan hidup mereka tetap sengsara. Mereka ingin pembangunan yang nyata dan merata, bukan basa-basi retoris di rapat musrenbang.
Maka di tengah tahun 2024–2025, pertumbuhan ekonomi Halmahera Utara pantas disebut ilusi di tengah ketimpangan. Ia tumbuh di atas fondasi yang rapuh, sementara rakyat bawah menanggung beban mahalnya kebutuhan hidup dan minimnya kesempatan kerja yang bermartabat. Kalau pemerintah daerah tidak segera merombak cara pandang, tidak segera berpihak ke masyarakat kecil, maka percayalah: semua klaim pembangunan itu hanya akan tercatat di kertas laporan, tetapi tidak akan tertulis di hati rakyat.
Sudah saatnya Halmahera Utara memilih jalan pembangunan manusia yang berkeadilan. Jika tidak, maka jangan kaget kalau rakyat nanti menagih janji dengan suara lebih keras — di jalanan, di kotak suara, atau di media sosial. Rakyat Halmahera Utara lelah menunggu. (*)