Oleh: Julham Latif
___________
DESA Busua di Kecamatan Kayoa Barat bukanlah nama asing dalam ingatan kolektif masyarakat Maluku Utara. Ia bukan sekadar wilayah administratif di ujung Halmahera Selatan, melainkan ruang hidup yang lama dikenal sebagai ladang lahirnya para intelektual desa—anak-anak kampung yang menempuh jalan sunyi pendidikan, meninggalkan kebun dan pantai untuk memburu makna di kota-kota besar, pulang dengan gelar, dan membawa cerita tentang perubahan. Tapi kini, cerita itu hanya gema kosong. Busua yang dulu dijuluki “gudang sarjana”, pelan-pelan berubah menjadi museum sunyi para pemikir yang bungkam. Ironi ini tidak lahir tiba-tiba, ia tumbuh bersama diamnya mereka yang seharusnya bicara, tumbuh bersama rasa malu yang perlahan mati di hadapan kasus-kasus amoral dan kebijakan desa yang kian jauh dari proporsionalitas.
Kami, dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Busua (IPMB), bukan hanya saksi dari pergeseran ini, melainkan anak kandung dari luka sosial yang menganga. Kami melihat, mendengar, dan mencatat. Kami belajar, tetapi juga bersaksi. Dan inilah kesaksian kami: bahwa para sarjana, yang dulu kami sebut kakak, abang, panutan, kini sebagian besar berdiri di sisi yang sunyi. Mereka tidak buta, tapi memilih memalingkan pandangan. Mereka tidak tuli, tapi memilih tidak mendengar. Mereka tidak bisu, tapi memilih diam. Diam yang tidak netral, melainkan diam yang melanggengkan ketimpangan.
Apa gunanya gelar kesarjanaan jika ia hanya berujung pada kebanggaan personal dan tidak menjadi alat untuk membaca dan mengoreksi realitas sosial? Kami tidak pernah diajarkan untuk hanya mengejar ijazah. Kami dibesarkan dalam semangat untuk berpikir, menggugat, dan menyuarakan kebenaran. Maka mengapa kini kami harus menyaksikan kakak-kakak kami—alumni IPMB sendiri—justru membiarkan Busua berjalan tanpa arah, dengan pemerintahan desa yang lebih sibuk membangun oligarki kecil ketimbang kesejahteraan bersama?
Dalam sejumlah kasus yang muncul beberapa tahun terakhir, pemerintahan Desa Busua telah menunjukkan kecenderungan untuk mengabaikan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Pelaksanaan program-program desa berjalan dalam kabut: data tidak terbuka, keputusan tidak partisipatif, dan kritik dianggap ancaman. Ini bukan hanya soal moralitas yang tergerus, tetapi juga soal pelanggaran terhadap hukum positif negara. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara eksplisit mengamanatkan bahwa desa wajib menyelenggarakan pemerintahan secara demokratis, terbuka, dan partisipatif. Maka ketika kepala desa dan aparatnya menjalankan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat secara luas, itu bukan sekadar kekeliruan administratif—itu adalah pelanggaran terhadap hak dasar warga.
Lebih parah lagi, dalam beberapa kesempatan, kasus-kasus amoral yang melibatkan elite desa bahkan tidak ditanggapi serius oleh sebagian besar kalangan terdidik. Ada yang memilih bungkam karena masih berharap proyek, ada yang takut kehilangan akses, dan ada pula yang memilih ‘netral’ demi menjaga relasi sosial. Inilah kematian etika dalam wajah yang paling halus.
Para pemikir besar seperti Paulo Freire sudah jauh-jauh hari mengingatkan bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membebaskan, bukan menjinakkan. Tapi para sarjana kita, yang katanya dididik dalam semangat intelektual, justru terlihat seperti telah dijinakkan oleh kekuasaan yang dangkal dan keuntungan sesaat. Mereka kehilangan keberanian untuk menyampaikan kritik, untuk berdiri bersama yang lemah, dan untuk menjaga semangat berpikir yang berani dan jujur.
Kami tidak menafikan bahwa masih ada sebagian kecil dari alumni IPMB yang bekerja dalam diam, mencoba memperbaiki keadaan tanpa banyak bicara. Tapi justru karena itulah kami sadar bahwa telah terjadi keretakan dalam tali persaudaraan intelektual kita. Di satu sisi, ada yang memilih diam dan mengambil keuntungan; di sisi lain, ada yang tetap berusaha mencari solusi dengan susah payah. Ketimpangan sikap ini menjadi bukti bahwa semangat kolektif yang dulu menjadi ciri khas IPMB kini telah terpecah oleh kepentingan pribadi dan politik pragmatis.
Kami tidak menulis ini karena benci. Justru karena kami peduli. Kami menulis ini sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan intelektual kami sebagai generasi muda yang masih percaya bahwa ilmu harus berpihak pada keadilan. Kami tidak ingin membiarkan Busua menjadi contoh bagaimana desa bisa runtuh bukan karena musuh dari luar, melainkan karena diamnya mereka yang seharusnya menjaga.
Jika para sarjana Busua hari ini lebih sibuk memperjuangkan posisi, proyek, dan pengakuan daripada memperjuangkan integritas sosial, maka jangan salahkan generasi muda jika suatu saat memilih jalan sendiri, tanpa lagi menjadikan mereka panutan.
IPMB tidak akan diam. Karena diam adalah bentuk kekalahan pertama dalam perjuangan apa pun. Kami memilih bersuara, bukan untuk menebar kebencian, tapi untuk menggugah hati yang tertidur. Kami menulis ini bukan untuk memecah belah, tetapi untuk mengingatkan: bahwa Busua adalah milik semua, dan bahwa perubahan tidak akan datang dari mereka yang duduk nyaman dalam keheningan.
Desa Busua hari ini bukan lagi sekadar sebuah entitas geografis di wilayah Kecamatan Kayoa Barat—ia adalah cermin dari harapan yang mulai retak, rumah dari para sarjana yang perlahan kehilangan keberanian untuk berpikir. Dalam ruang-ruang publik desa yang semakin sempit, nama-nama besar lulusan perguruan tinggi yang dulu dielu-elukan sebagai anak panah perubahan kini lebih banyak tercatat sebagai bayang-bayang yang redup. Mereka hadir, namun tak bersuara; ada, namun tak berpihak. Padahal dalam memori kolektif masyarakat, Busua dikenal sebagai kampung yang tidak hanya melahirkan para sarjana, tetapi juga memelihara budaya berpikir kritis dan semangat intelektual. Maka pertanyaannya hari ini menjadi genting: di mana para pemikir itu ketika masyarakat dicekik oleh praktik amoral dan roda pemerintahan desa berjalan tanpa arah? Apakah gelar akademik yang mereka sandang hanya menjadi hiasan di dinding, tanpa tanggung jawab moral terhadap kampung halamannya?
Salah satu bentuk nyata dari kemacetan itu adalah pembiaran terhadap penyimpangan perilaku aparat desa. Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai adat dan etika, kita menyaksikan bagaimana kebijakan desa kerap didasarkan pada kehendak segelintir orang, bukan hasil musyawarah atau konsultasi publik. Transparansi menjadi barang langka. Tidak ada ruang terbuka untuk mengevaluasi program desa secara partisipatif. Bahkan rapat-rapat yang digelar pun lebih banyak bersifat formalitas, tanpa substansi. Laporan pertanggungjawaban program desa, jika ada, sering kali hanya bersifat administratif, bukan reflektif.
Celakanya, di tengah situasi seperti ini, para pemikir yang seharusnya menjadi penjaga nalar publik justru memilih diam. Padahal mereka tahu, mereka paham, bahkan mereka bisa menunjukkan kesalahan demi kesalahan yang terjadi. Tapi keberanian untuk menyampaikan kebenaran itu lenyap, tergantikan oleh kenyamanan sosial, relasi personal, dan ketakutan akan kehilangan kedekatan dengan elite desa.
Lebih menyedihkan lagi, ada sebagian alumni yang justru menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Mereka terlibat dalam proyek desa dengan dalih pendampingan, tapi praktiknya justru ikut mengatur alur anggaran demi keuntungan kelompoknya. Mereka bicara tentang pemberdayaan, tapi justru memperdaya masyarakat dengan retorika yang tak berpijak pada praktik. Mereka hadir bukan sebagai penyambung lidah rakyat, melainkan sebagai jembatan kepentingan antar-elit.
Ini adalah bentuk kegagalan moral. Dan kegagalan moral dalam masyarakat kecil seperti Busua dampaknya jauh lebih besar. Ia bukan hanya melahirkan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan desa, tapi juga membunuh harapan generasi muda terhadap dunia pendidikan. Anak-anak muda yang melihat bahwa menjadi sarjana tidak membuat seseorang berani membela yang benar, akan tumbuh dalam apatisme dan pragmatisme. Mereka akan belajar, bukan untuk berpikir, tapi untuk bertahan dan menyesuaikan diri dengan kekuasaan. Mereka akan menyerap nilai bahwa lebih baik diam dan dekat dengan elite, daripada lantang dan dimusuhi.
Padahal, jika kita kembali pada semangat pendirian IPMB, tidak ada warisan yang lebih penting dari keberanian untuk berpikir dan menyuarakan kebenaran. IPMB didirikan sebagai bentuk resistensi terhadap ketimpangan—baik dalam pendidikan maupun dalam distribusi kekuasaan. Ia lahir dari semangat untuk membangun warga desa yang sadar, kritis, dan berdaya. Maka saat sebagian besar alumni justru memilih menjauh dari semangat itu, kami merasa wajib untuk menggugat.
Kami sadar bahwa tidak semua alumni IPMB diam. Ada sebagian kecil yang terus bekerja dalam sunyi, menyuarakan kritik, dan memberi kontribusi tanpa pamrih. Kepada mereka, kami berikan hormat setinggi-tingginya. Tapi suara mereka tenggelam oleh kebisingan pragmatisme, oleh narasi dominan yang dibentuk oleh mereka yang lebih sibuk mempercantik citra diri ketimbang memperjuangkan kebenaran.
Di tengah gemuruh ketimpangan sosial dan rusaknya sistem pemerintahan desa yang kian tak proporsional, para alumni yang dulu bersumpah atas nama perubahan kini lebih sibuk merapikan nama di balik kursi kekuasaan, atau malah memilih menjadi penonton bisu di tengah tragedi. Lalu kami bertanya, di manakah suara intelektual itu kini? Apakah mereka hanya sekadar produk dari sistem pendidikan formal yang melahirkan ijazah, tapi gagal menumbuhkan tanggung jawab etis dan keberpihakan sosial?
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas menyebut dalam Pasal 26 ayat (4) bahwa kepala desa “wajib menjalankan prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan keadilan dalam menjalankan tugas.” Namun realitas di Busua membuktikan sebaliknya: keputusan-keputusan diambil tanpa musyawarah yang terbuka, informasi keuangan desa menjadi ruang gelap yang tak tersentuh rakyat, dan program desa lebih banyak dibentuk berdasarkan kedekatan politik daripada kebutuhan riil masyarakat. Ironinya, para sarjana—yang semestinya menjadi penjaga akal sehat kolektif—malah ikut larut dalam atmosfer pembiaran ini. Mereka lupa bahwa diam dalam situasi penyimpangan bukanlah netralitas; itu adalah pengkhianatan epistemik.
Claude Lévi-Strauss, antropolog strukturalis Prancis, pernah mengingatkan bahwa masyarakat tanpa refleksi adalah masyarakat yang akan berputar di lingkaran krisis. Ia menyebutkan bahwa “tugas utama kaum intelektual bukan hanya menjelaskan dunia, tetapi membongkar struktur-struktur kekuasaan yang diam-diam bekerja di balik tatanan sosial.” Jika kita terapkan kerangka ini pada situasi Busua hari ini, maka dapat kita katakan bahwa sebagian besar para sarjananya telah gagal memosisikan diri sebagai subjek kritis. Mereka tidak menjadi pembaca realitas, tapi justru menjadi pelengkap dalam struktur sosial yang timpang.
Lebih jauh, Koentjaraningrat dalam pemikirannya mengenai sistem nilai budaya Indonesia menyebut bahwa masyarakat akan mengalami disintegrasi budaya ketika elite-nya gagal menjalankan fungsi etis. Ia menulis, “Ketika lapisan intelektual tidak lagi memberi teladan dalam moral dan integritas, maka masyarakat akan meniru keburukan, bukan kebaikan.” Pernyataan ini sangat relevan dengan kondisi Busua, di mana generasi muda mulai bertanya-tanya: apakah pendidikan tinggi hanya tentang pencapaian pribadi, tanpa tanggung jawab kolektif terhadap desa?
Tulisan ini bukan sekadar kritik terhadap diamnya para sarjana, tetapi gugatan terhadap seluruh arsitektur moral dan sosial yang kini terancam runtuh. Bagaimana mungkin sebuah desa yang kaya akan warisan pengetahuan dan adat istiadat, kini justru dikelola dengan cara yang melukai nilai-nilai itu sendiri? Jika Busua adalah ladang ilmu, maka siapa yang bertanggung jawab ketika ilmunya gagal berbuah menjadi keberanian, keadilan, dan perubahan sosial? (*)