Opini  

Kami Bukan Penjahat, Kami Penjaga Tanah Leluhur

(Sebuah Catatan atas Putusan Praperadilan 11 Warga Maba Sangaji)

Oleh: Zulfikar Kusuma Akbar (Advokat)

______________________

PUTUSAN praperadilan yang dibacakan pada 16 Juni 2025 seolah menutup pintu harapan terakhir bagi 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang kini telah sah berstatus sebagai tersangka. Mereka bukan buronan, bukan preman, bukan pelaku kekerasan. Mereka adalah petani, nelayan, kepala keluarga, dan penjaga tanah warisan leluhur yang telah lama menopang kehidupan komunitas adat mereka.

Sebagai pihak yang berdiri bersama mereka sejak awal, saya menyaksikan bagaimana konflik ini bukan soal hukum semata, tetapi pertarungan eksistensial antara modal dan martabat manusia. Sebuah perusahaan tambang beroperasi di tanah adat tanpa persetujuan kolektif. Ketika masyarakat menolak, mereka tidak diberi dialog, tetapi diberi borgol.

Putusan praperadilan hanya menguji aspek formal prosedur. Sayangnya, hukum yang hanya berhenti di prosedur sering kali membutakan diri dari kebenaran substansial. Apa yang disebut sah secara formil, belum tentu adil secara sosial.

Penggunaan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat untuk menjerat warga yang membawa parang dan tombak adalah penghinaan terhadap logika hidup petani. Alat yang mereka gunakan untuk berkebun dan bertahan hidup kini disulap menjadi alat bukti kriminal. Pasal 162 UU Minerba, yang semestinya dikritisi karena pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi, kembali digunakan untuk membungkam suara-suara yang menolak tambang. Bahkan Pasal 368 KUHP (pemerasan) dipaksakan masuk ke dalam narasi aparat—seolah masyarakat yang melindungi lahannya adalah pemalak.

Di sini kita melihat bagaimana hukum dapat dijadikan alat untuk menormalisasi ketimpangan. Seharusnya hukum melindungi yang lemah dari yang kuat. Tapi dalam kasus ini, hukum justru berdiri di samping korporasi, bukan rakyat.

Kami Tak Menolak Hukum, Kami Menuntut Keadilan.!

Saya tidak dalam posisi menolak proses hukum. Tapi kami punya hak untuk curiga, mempertanyakan, dan mengkritisi ketika hukum dipakai sepotong-sepotong. Penetapan tersangka ini tidak berdiri di ruang hampa ia lahir dari konflik agraria yang penuh kekerasan struktural dan sejarah penyingkiran.

Apa salahnya mempertahankan hutan? Apa keliru jika seorang ibu menghalangi alat berat yang akan menggusur ladangnya? Sejak kapan menjaga tanah leluhur menjadi tindak pidana?

Yang kami perjuangkan bukan hanya 11 orang, melainkan prinsip bahwa masyarakat adat tidak boleh terus-menerus dikriminalisasi. Bahwa tanah bukan sekadar objek ekonomi, tapi identitas dan nyawa.

Putusan praperadilan ini bukan akhir, tapi awal dari babak baru perjuangan. Kami akan terus membuka ruang hukum dalam pokok perkara, di Komnas HAM, di Ombudsman, bahkan di ruang publik yang lebih luas.

Kami tidak akan diam. Karena yang mereka lakukan bukan kejahatan, tapi bentuk paling murni dari kecintaan terhadap kampung halamannya. Mungkin negara tidak bisa membela mereka sekarang, tapi sejarah akan menuliskan siapa yang sesungguhnya berada di pihak yang benar.

Berdiri bersama mereka bukan karena mereka tidak bersalah, tetapi karena mereka adalah suara yang selama ini dibungkam oleh kekuasaan dan uang. Jika ini disebut kriminal, maka kita harus bertanya ulang siapa sebenarnya yang merusak hukum, yang membajak keadilan? (*)

Exit mobile version