Opini  

Ketika Dosa Publik Dimaafkan Elite: Politik Tanpa Malu di Tingkat Kabupaten

Oleh: Erny Syarifuddin, S.Pd., M.Pd

___________________

DI tengah gempita wacana tentang tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel, ironi justru terjadi di tingkat kabupaten, seorang mantan narapidana tetap dipertahankan dalam jabatan publik seolah rekam jejak hukum hanyalah catatan usang yang bisa dihapus dengan stempel kekuasaan. Ketika elite politik memilih lupa, publik dipaksa menerima bahwa standar etika dalam birokrasi tak lagi menjadi syarat, melainkan sekadar opsi.

Dilansir dari Haliyora.id, Bupati Halmahera Selatan memutuskan untuk mempertahankan beberapa pejabat yang pernah terlibat kasus hukum, termasuk dua mantan narapidana dengan perkara serius, satu kasus asusila, dan satu lagi kasus korupsi. Kebijakan ini bukan hanya menampar wajah keadilan, tetapi juga menyingkap betapa longgarnya standar moral yang diterapkan dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Alih-alih menjauhkan birokrasi dari bayang-bayang pelanggaran etik, keputusan tersebut justru mengirim pesan terang bahwa loyalitas politik bisa lebih penting daripada integritas pribadi.

Fenomena ini mencerminkan gejala sistemik di mana kekuasaan lokal kerap dijalankan dengan logika balas budi dan kompromi politik, bukan meritokrasi atau kepatutan publik. Ketika pelaku korupsi dan kejahatan asusila bisa kembali duduk di kursi birokrasi tanpa pertanggungjawaban moral yang jelas, maka publik patut bertanya, siapa sebenarnya yang dilayani oleh pemerintahan ini? Di tengah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik, tindakan seperti ini justru memperdalam jurang antara rakyat dan pemimpinnya. Bukannya menjadi teladan, pejabat yang bermasalah justru menjadi simbol bahwa hukum bisa dinegosiasikan dan etika bisa dinegasikan.

Hal tidak lepas dari cara pandang sekularisme yang memimaskan agama dari ranah politik dan hukum, ketika masyarakat melihat bahwa pelanggaran hukum tidak menghalangi seseorang untuk tetap berkuasa, akan tumbuh apatisme terhadap sistem hukum. Nilai kejujuran dan tanggung jawab perlahan kehilangan makna di mata publik, terutama generasi muda yang menyaksikan bahwa integritas tidak lagi menjadi syarat dalam kepemimpinan. Lebih dari itu, korban dari kasus-kasus yang melibatkan pejabat tersebut baik dalam kasus asusila maupun korupsi akan merasa keadilan tidak berpihak kepada mereka. Ini menciptakan luka sosial yang dalam dan mengikis harapan terhadap hadirnya negara yang melindungi martabat dan hak warganya.

Pengawasan terhadap pemerintah daerah harus diperkuat, baik melalui media, organisasi masyarakat sipil, maupun partisipasi aktif warga dalam forum-forum publik. Pemilihan pejabat publik tak bisa lagi hanya mengandalkan popularitas atau kedekatan, melainkan harus berbasis pada rekam jejak dan integritas. Selain itu, perlu dorongan agar lembaga legislatif daerah dan inspektorat lebih berani menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan yang mencederai akal sehat publik. Ini bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi pemerintahan, tetapi tentang masa depan nilai-nilai keadilan dan etika. Jika sistem sekularisme yang menjadi asas politik dan hukum, maka politik tanpa malu akan terus diwariskan.

Pandangan Islam 

Dalam pandangan Islam, politik bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan sebuah amanah dan bentuk ibadah yang harus dijalankan dengan penuh keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab kepada Allah serta masyarakat. Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai pelayanan, bukan penguasaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang tidak memiliki amanah adalah bentuk pengkhianatan. Memberikan jabatan kepada yang tidak memenuhi syarat moral dan integritas bertentangan dengan ajaran Islam. Nabi ﷺ juga mengingatkan, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari). Dalam hal ini, pelaku maksiat, kezaliman, atau mereka yang tercela karena korupsi dan asusila, tidak layak diangkat sebagai pemimpin sebelum menjalani taubat nasuha dan membuktikan pemulihan integritasnya. Para sahabat Nabi pun dikenal sangat tegas dalam menjaga amanah, terutama dalam urusan kepemimpinan dan jabatan publik. Maka dari itu Islam menawarkan solusi sbb :

1. Bangun Sistem Politik Islam yang Berlandaskan Syariat, Bukan Sekularisme

Dalam ajaran Islam, agama dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kepemimpinan harus dibangun di atas fondasi syariat, bukan pada dasar sekularisme. Pemimpin dalam Islam dipilih bukan karena popularitas, balas jasa, atau kompromi politik, melainkan karena kapasitas (ahliyyah) dan tingkat ketakwaannya kepada Allah.

2. Integritas dan Moralitas Adalah Fondasi Kepemimpinan

Dalam tatanan masyarakat Islam yang menerapkan syariat, seseorang yang memiliki rekam jejak kriminal seperti korupsi atau perilaku asusila tidak layak menduduki jabatan publik, kecuali setelah melewati proses taubat yang tulus dan menunjukkan bukti nyata perubahan moral yang diakui oleh masyarakat luas.

3. Keadilan Hukum yang Tidak Pandang Bulu

Islam menekankan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pilih kasih, termasuk terhadap orang-orang yang memiliki status sosial tinggi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa tidak ada kekebalan hukum dalam Islam, bahkan untuk keluarga Nabi sekalipun.

4. Mendidik Umat Tentang Politik Islam

Umat Islam perlu diberikan pendidikan yang menyeluruh tentang konsep politik dalam Islam sebagai amanah suci. Politik bukanlah arena untuk meraih kekuasaan demi kepentingan pribadi, tetapi medan pengabdian yang hanya layak diisi oleh mereka yang jujur, bertakwa, dan memiliki tujuan luhur untuk menegakkan kebaikan dan keadilan.

5. Kontrol Sosial terhadap Kekuasaan

Islam mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi para pemimpin melalui prinsip ‘hisbahamar ma’ruf nahi munkar. Rakyat memiliki kewajiban untuk menegur, mengoreksi, dan meluruskan kebijakan yang menyimpang. Diam terhadap kemungkaran di level kekuasaan adalah bentuk kelalaian terhadap amanah sosial.

Politik tanpa malu adalah buah dari sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Islam menawarkan solusi menyeluruh, dari standar pemimpin yang ketat, sistem hukum yang adil tanpa tebang pilih, hingga masyarakat yang aktif mengontrol pemerintahan. Sudah saatnya umat Islam kembali menjadikan syariat sebagai dasar kehidupan, termasuk dalam sistem politik dan pemerintahan, agar keadilan, kehormatan, dan integritas benar-benar ditegakkan. (*)

Exit mobile version