Opini  

Paradoks Kekayaan Alam dan Mimpi Anak Negeri 

(Membaca Kesenjangan Pendidikan Maluku Utara)

Oleh: Rifan Basahona

________________________

DALAM fondasi konstitusi kita, pendidikan ditempatkan sebagai nadi kehidupan bangsa. Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya menyebutnya sebagai ruh, melainkan sebagai hak dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri, “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebuah visi luhur yang menyiratkan bahwa kemajuan bangsa hanya mungkin jika setiap anak negeri dari Sabang sampai Merauke, dari pelosok hingga kota mendapat kesempatan yang adil untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi. Pendidikan tidak mengenal batas geografis, tidak tunduk pada garis demografi. Ia adalah hak yang merata, bukan hak yang diprioritaskan untuk segelintir.

Lebih dari itu, pendidikan adalah perekat kebhinekaan, jembatan antara budaya, ras, dan agama. Ia tidak berpihak, tidak memilah siapa yang layak atau tidak layak. Pendidikan sejatinya netral, ia membuka pintu yang sama bagi siapa pun yang mengetuk, dan tidak menutup diri terhadap siapa pun yang berjuang dan bermimpi. Akses yang adil terhadap pendidikan adalah wujud nyata dari keadilan sosial yang diidamkan oleh para pendiri bangsa.

Maluku Utara merupakan sebuah wilayah yang dianugerahi kekayaan alam melimpah, namun sekaligus dibebani oleh tantangan problematika sosial yang begitu fundamental, salah satunya adalah pendidikan. Ini mencerminkan paradoks eksistensial bagaimana alam bisa begitu dermawan, tetapi manusianya masih sangat jauh dari kata kesejahteraan.

Sebagai daerah kepulauan dengan keragaman budaya dan kekayaan sumber daya, Maluku Utara mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, tetapi tanpa keadilan dan kesadaran kolektif, kekuatan itu bisa menjadi beban. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan potensi besar, namun sekaligus mengajukan pertanyaan etis, siapa yang menikmati pertumbuhan itu, dan apa yang dikorbankan demi mencapainya?, Untuk siapa sebenarnya kekayaan itu ditimbun, jika bukan untuk menerangi langkah mereka yang ingin belajar dan bermimpi menjadi manusia seutuhnya?

Realitas Maluku Utara, memberikan warning bahwa kesejahteraan material belum tentu sejalan dengan kesejahteraan sosial jika tidak ada kepedulian dari pemangku kepentingan. Pendidikan yang masih tertinggal di tengah melimpahnya hasil bumi menjadi simbol keterputusan antara tubuh dan jiwa suatu masyarakat, antara kemajuan fisik dan pembangunan jiwa bangsa. Filosofisnya, Maluku Utara adalah cermin dari Indonesia itu sendiri, kaya namun rentan, tumbuh namun belum seluruhnya dewasa.

Daerah yang kaya akan sumber daya namun terbelakang dalam infrastruktur pendidikan, jalanan masih berupa tanah basah, sekolah berdiri di antara runtuhan usia, dan mimpi anak-anak hanya bisa terbang setinggi langit-langit kayu yang hampir roboh. Mereka memiliki semangat yang menyala, namun sayangnya ditakdirkan lahir di tengah gemuruh kekayaan yang tak berpihak pada mereka.

Laporan Kompas pada Mei 2025 menjadi cermin yang menyayat hati. Banyak sekolah di Kabupaten Kepulauan Sula, Pulau Taliabu, dan Halmahera Barat masih berdiri dalam kondisi semi permanen. Tak ada laboratorium, tak ada perpustakaan, bahkan kantor dan toilet menjadi kemewahan yang belum pernah mereka kenal.

Di mata anak-anak Maluku Utara, cahaya ilmu tak pernah padam—meski buku ajar harus diwariskan, meja harus dibagi, kursi goyah, dan guru datang hanya seminggu sekali. Mereka percaya bahwa mimpi adalah hak setiap jiwa yang berani berharap, bahwa harapan tak boleh dikubur hanya karena letak geografis dan kebijakan yang abai.

Kebijakan tak selalu adil bagi mereka yang lahir di pelososk desa yang sepi dan gelap. Di balik semangat yang menyala, fasilitas yang layak hanyalah mimpi lain. Perpustakaan adalah kata asing, komputer hanya cerita, dan laboratorium sebatas bayangan. Di mana sebenarnya hasil bumi yang digerus? Mengapa tak kembali pada mereka, anak-anak yang memandang masa depan dari balik atap yang bocor?

Mereka belajar bukan dari teknologi, tetapi dari papan tulis yang kusam dan buku yang sobek, di ruang kelas yang hampir roboh, dan dari harapan orang tua yang terkadang ingin menyerah karena desakan ekonomi. Namun dalam keterbatasan itulah, mereka tetap berjalan, tetap bermimpi. Sebab, bagi mereka, harapan adalah satu-satunya jalan pulang dari ketertinggalan.

Anak-anak di pelosok Maluku Utara tidak menuntut belas kasihan.

Mereka hanya menuntut keadilan yang sederhana yakni ruang yang layak untuk belajar, waktu untuk dibimbing, tempat yang aman untuk tumbuh. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan, tapi jiwa-jiwa yang ingin hidup penuh makna. Mereka adalah bukti bahwa pendidikan bukan soal seberapa megah bangunannya, tetapi seberapa besar cinta dan kehadiran kita untuk mereka. Jika satu anak gagal bermimpi karena kita abai, maka kita semua telah gagal menjadi manusia seutuhnya.

Lebih ironisnya, sistem yang seharusnya menjadi jembatan justru kerap menjelma tembok. Dana pendidikan mengalir, namun sering tersesat dalam labirin administrasi dan kepentingan. Anak-anak di pelosok harus berjalan berkilo-kilometer hanya untuk duduk di ruang kelas tanpa papan tulis. Seolah-olah negeri ini telah memutuskan siapa yang berhak bermimpi, dan siapa yang harus diam dan tertati.

Tetapi semangat anak-anak luar biasa, mereka tidak menyerah. mereka membungkus harapan walaupun dalam tas lusuh, menyalakan semangat di bawah cahaya pelita. Mereka menulis huruf pertama di atas buku kusam. Dalam diam, mereka melawan nasib. Dalam sunyi, mereka membangun cita-cita. Tak ada yang lebih tabah daripada mereka yang terus berjalan, meski jalan itu penuh lubang dan duri.

Mereka adalah pertanyaan besar yang menggantung di langit negeri, adakah keadilan yang mampu menjangkau hingga ke akar? Adakah negara dan pemerintah yang cukup peka untuk mendengar suara kecil yang tak sempat berteriak? Mereka tidak kehilangan harga diri meski serba kekurangan. Mereka belajar bukan demi ijazah, tapi untuk membuktikan bahwa kemiskinan tidak bisa membunuh tekad. Mereka tidak butuh simpati—mereka butuh kesempatan.

Sebab sejatinya, bangsa yang besar bukan diukur dari gemerlap kota atau tingginya gedung, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan anak-anak yang terjauh dari pusat kekuasaan. Jika kita membiarkan anak-anak pelosok tumbuh tanpa harapan, maka kita sedang menyiapkan kehampaan bagi masa depan.

Mimpi mereka bukan semata milik pribadi, tetapi bagian dari cerita kolektif bangsa. Tugas kita bukan hanya membangun bangunan, tetapi menanam makna, agar setiap anak, di manapun ia lahir, percaya bahwa ia tak sendirian dalam mengejar dan mencapai mimpinya. (*)

Exit mobile version