Oleh: Mochdar Soleman, S.IP., M.Si
Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan Universitas Nasional
___________________
INDONESIA, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Berbagai kebijakan seperti food estate, tambang nikel di Raja Ampat, dan transisi energi mencerminkan dilema tersebut. Dengan tekanan dari pasar global dan kebutuhan domestik, muncul pertanyaan: mampukah pemerintah memastikan keadilan ekologis di tengah ambisi pembangunan?
Dampak Paradigma Pangan
Proyek food estate di Papua dan Kalimantan bertujuan meningkatkan ketahanan pangan. Namun, proyek ini membawa konsekuensi ekologis yang berat. Penelitian Elvania (2023; 67) menunjukkan bahwa: “Proyek ini telah menyebabkan deforestasi masif, merusak ekosistem hutan tropis, mengancam keanekaragaman hayati, dan melanggar hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka.”
Kondisi demikian mengancam terjadinya gundulnya hutan yang tentunya akan berdampak pada bencana alam seperti banjir dan tanah longsor meningkat. Selain itu, masyarakat adat yang bergantung pada hutan kehilangan akses terhadap sumber daya alam, memperparah ketimpangan sosial.
Sebagai solusi, pemerintah perlu mengubah pendekatan menjadi berbasis agroforestri, yang memungkinkan konservasi hutan sambil meningkatkan produktivitas lahan.
Bagaimana Nasib Konservasi?
Keputusan pemerintah untuk menutup empat tambang di Raja Ampat adalah langkah penting menuju perlindungan lingkungan. Namun, izin operasi PT Gag Nikel tetap diberikan, menciptakan kontradiksi dalam kebijakan konservasi.
Hal demikian tentu saja akan melahirkan sebuah kondisi dimana masyarakat adat akan terabaikan, mengutip apa yang dikemukakan Erwiza Erman (2023; 45) bahwa: “Eksploitasi sumber daya alam sering kali melibatkan konflik kepentingan yang meminggirkan masyarakat lokal, sementara aktor dominan menikmati keuntungan besar tanpa tanggung jawab ekologis yang setara.”
Betapa tidak, Raja Ampat sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, memerlukan perlindungan total. Hal ini menegaskan agar pemerintah harus menutup semua operasi tambang di kawasan Raja Ampat dan menggandeng masyarakat lokal dalam inisiatif konservasi berbasis komunitas.
Transisi Energi dan Tantangan Nyata
Kita ketahui bersama bahwasanya komitmen Indonesia untuk menutup pembangkit listrik batu bara dalam 15 tahun dan meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga 75 GW mencerminkan ambisi besar di sektor energi. Akan tetapi implementasi kebijakan ini menghadapi hambatan struktural.
Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah transisi energi di negara berkembang sering kali terkendala oleh subsidi bahan bakar fosil yang tinggi, lemahnya tata kelola, dan minimnya infrastruktur energi terbarukan, (Baca- Bryant dan Bailey 1997;34).
Kebijakan ini membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur energi hijau, termasuk grid pintar dan teknologi penyimpanan energi. Selain itu, pemerintah harus secara bertahap menghapus subsidi bahan bakar fosil yang terus menjadi penghambat transisi energi.
Peluang Ekologi di Era Globalisasi
Globalisasi sering kali mendorong eksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang. Sebagaimana dikutip dari Bryant dan Bailey (1997;78) yang menjelaskan:
“The global economic system drives resource extraction in the Third World, prioritizing short term profits over long term ecological sustainability.”
Namun, globalisasi juga memberikan peluang melalui aliansi internasional. Kampanye global yang mendukung konservasi di Raja Ampat, misalnya, dapat menjadi model untuk melibatkan komunitas internasional dalam mendukung kebijakan keberlanjutan di Indonesia.
Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Menurut hemat penulis, kebijakan lingkungan Indonesia sudah seyogyanya mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
Namun demikian, kondisi saat ini menunjukkan bahwa pendekatan saat ini masih terlalu berorientasi pada eksploitasi.
Sehingga untuk menciptakan kebijakan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan, pemerintah sudah semestinya “Mengintegrasikan Keberlanjutan ke dalam Kebijakan Pembangunan dengan mengedepankan pendekatan holistik untuk memastikan dampak jangka panjang bagi ekosistem dan masyarakat diperhitungkan”.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat Tata Kelola Lingkungan dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat lokal sebagai pedoman untuk pengambilan keputusan.
Tentunya pemerintah harus meningkatkan Investasi dalam Energi Hijau sehingga dengan adanya transisi energi yang didukung kebijakan yang mendorong pengembangan teknologi hijau dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin global dalam pembangunan hijau. Namun, keberhasilan ini membutuhkan keberanian untuk melampaui paradigma pembangunan tradisional dan berkomitmen pada nilai keberlanjutan. (*)