Opini  

Suara Orang-orang Kecil dari Ujung Halmahera 

Oleh: Samsudin Wahab Genvyr

_____________________

SUASANA di dalam gedung Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Kota Tidore Kepulauan, hari itu tampak tenang. Hanya suara-suara percakapan yang terdengar seperti berbisik. Di depan PN Soasio, sekelompok massa aksi juga ikut mengawal dan menyuarakan serta memberi dukungan kepada 11 orang yang akan diadili hari itu. Mereka berunjuk rasa dari pagi sampai pukul sekitar empat sore.

Suasana dalam gedung hari itu tampak tenang namun menegangkan. Hari itu nasib 11 orang yang berjuang mempertahankan tanahnya akan ditentukan dalam putusan sidang. Apakah mereka akan dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah atau diputuskan sebagai tersangka dan harus menjalani hukuman.

Sebelas orang itu, di Jumat 16 Mei 2025 kemarin di Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur, terlibat dalam aksi protes pada PT Position yang menggusur tanah adat mereka. Senin 16 Juni 2025 kemarin, Pengadilan Negeri Soasio memutuskan bahwa 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, dinyatakan sah sebagai tersangka.

Mengutip berita yang dimuat oleh Kadera.Co dan Mekarnews.Co 16 Juni kemarin, menyertakan tanggapan Wetub Toatubun, mewakili Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mengatakan bahwa putusan para hakim terkesan ambigu karena mereka berpendapat berbeda. Satu hakim menyatakan PN Soasio tidak berhak mengadili perkara tersebut, sedangkan hakim lainnya tidak mempersoalkan terkait kewenangan mengadili. Padahal, wilayah Halmahera Timur masuk dalam administrasi hukum PN Soasio.

***

Mewakili suara orang-orang di pihak 11 orang yang ditahan, suara-suara yang ada di pinggiran. Suara-suara yang tak terdengar di pusat. Saya, mewakili suara-suara itu merasa tercabik hatinya mendengar putusan sidang kemarin. Kami yang ada di pinggiran tidak hadir langsung dalam putusan praperadilan, tapi doa-doa dan suara kami akan menggelegar mengguncang atap-atap langit.

Semenjak membaca berita yang menayangkan hasil putusan kemarin, seketika bulu roma saya berdiri─antara rasa sedih dan marah. Merasa sedih dan iba bagaimana perasaan keluarga dari 11 orang yang ditahan saat ini. Merasa marah mengapa orang-orang kecil seperti mereka yang tak berdaya di hadapan alat berat dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus mendekam dalam penjara. Mengapa tangan-tangan kecil yang kepalannya tak mampu melawan ganasnya tangan-tangan ekskavator harus berakhir dalam proses hukuman?

Mereka bukan orang-orang jahat. Mereka hanya terlalu cinta pada tanahnya, terlalu cinta pada hutan yang memberi mereka nafas, pada pohon-pohon pala dan cengkeh yang mampu mewujudkan doa dan harapan mereka, pada sungai-sungai di hutan yang memberi mereka hidup dan pada ikan-ikan dan laor di laut yang memberi asupan protein bagi mereka.

Mereka melawan bukan karena mereka orang jahat. Mereka terlalu cinta pada nilai-nilai yang dititipkan leluhur mereka. Terlalu cinta dan menghargai kearifan lokal yang dijaga mati-matian oleh leluhur mereka. Mereka terlalu cinta pada tanaman di hutan yang menjadi obat bagi mereka─pada rorano yang menyembuhkan segala sakit mereka.

Mereka terlalu cinta pada tanaman-tanaman di hutan yang memberi mereka bumbu dapur. Bukan karena mereka kikir dan tidak mau mendatangkan itu dari pasar, tapi mereka tahu bahwa hutan mereka memberi mereka lebih dari cukup. Itu sebabnya hutan adalah nadi bagi mereka dan sungai adalah darah yang mengalir di tubuh mereka.

Mereka bukan orang bengis dan kejam. Mereka hanya terlalu cinta pada sejarah. Pala dan cengkeh adalah kekayaan alam yang pesonanya memabukkan bangsa asing waktu itu. Mereka terlalu cinta pada sejarah. Di tanah mereka, di masa itu, pala dan cengkeh tumbuh liar dan subur di mana-mana. Di mana nenek moyang mereka secara sembunyi-sembunyi memanen pala dan cengkeh waktu itu, menebangnya sembunyi-sembunyi karena takut pemerintah kolonial menangkap mereka lantaran adanya penetapan kebijakan extirpatie. Mereka terlalu cinta pada sejarah. Pada Sultan Tidore yang melindungi mereka dari bangsa kolonial waktu itu.

Mereka bukan orang jahat. Mereka melawan karena tahu bahwa pemerintah mereka akan melindungi dan mengayomi mereka. Mereka tahu bahwa undang-undang akan menjadi tameng bagi mereka untuk bersuara.

Mereka bukan orang-orang tertinggal dan benci terhadap kemajuan. Mereka hanya orang-orang yang hidup dengan damai dan terbiasa dengan suara kicauan burung di pagi hari, hawa dingin di pagi hari dimana daun-daun masih mengembun, suara kicau burung di sore hari yang riang dan suara jangkrik di malam hari murung. Mereka takut anak cucu mereka nanti tidak menikmati cahaya remang-remang kunang-kunang atau bermain dengan kupu-kupu yang berwarna-warni. Mereka terlalu cinta dengan suara aliran air kali di siang yang sunyi dan terik. Mereka terlalu takut bunyi mesin-mesin merampas semua itu.

***

Belakangan ini, Halmahera beserta kekayaan alamnya seolah ditenggelamkan begitu saja oleh kekuatan yang ada di pusat yang kita sebut sebagai pemerintahan pusat─yang seolah lebih cenderung memerintah daripada melindungi.

Rempah-rempah─pala dan cengkeh kini seolah kehilangan karismanya. Sementara nikel, emas dan batubara tebar pesona sampai ke pelosok dunia. Halmahera kini berduka, meratapi dengan pilu, menyaksikan bagaimana hutannya dibabat tanpa kasihan.

Halmahera kini mengalami luka di sekujur tubuhnya yang indah. Luka itu makin hari makin menganga. Tubuhnya terkelupas, tidak hanya itu bahkan digali lebih dalam dengan begitu kejam oleh tangan-tangan alat berat yang tak memiliki perasaan

***

Kita hidup di negara demokrasi, dimana rakyat adalah segalanya dan pemerintah adalah pelayan yang bekerja tidak lain tidak bukan hanya demi kepentingan rakyat. Namun ironisnya, yang terjadi saat ini, rakyat hanyalah orang-orang kecil yang tak berdaya. Rakyat hanyalah jumlah statistik. Mereka seolah angka yang hanya menjadi kuota untuk memenuhi persyaratan administrasi.

Giorgio Agamben dalam bukunya “Homo Sacer” mengistilahkan orang-orang kecil tersebut sebagai “Homo Sacer“. Homo Sacer dalam istilah Giorgio Agamben adalah orang yang secara yuridis sudah dilepas hak politiknya dan ia boleh dibunuh tapi belum dikorbankan. Dalam buku itu, Agamben ingin memperlihatkan fungsi esensial kehidupan Homo Sacer itu dalam politik modern. Ia ingin menunjukkan, dengan membeberkan hukum Romawi kuno, ia ingin menunjukkan bahwa ada figur gelap dalam hukum Romawi kuno masa itu. Dalam figur itu, kehidupan manusia dimasukkan dalam tatanan yuridis─hanya dalam bentuk khusus terhadap kehidupan manusia itu, yaitu kemampuannya untuk dibunuh.

Itulah yang terjadi di Halmahera saat ini. Khususnya di Halmahera Timur. Di mana jeritan rakyat di mata kekuasaan tak berarti apa-apa. Di mata kekuasaan segalanya bernilai jika memiliki mata uang. Hutan yang sunyi tidak berarti apa-apa. Sungai yang mengalir jernih tidak memiliki nilai sama sekali. Kicauan burung di pagi dan sore hari seolah hanya gambaran suatu tempat yang kuno.

Kita kini hidup di negeri di mana jumlah pasokan nikel, emas, dan batubara lebih diperhitungkan dibandingkan ratapan dan tangisan orang-orang kecil. Kita hidup di negeri di mana pemerintah tempat kita bernaung lebih mementingkan investasi dibandingkan nasib orang-orang yang tergusur dan terusir dari tanahnya. (*)

Exit mobile version