Opini  

Propaganda Politik Global: Permainan Persepsi dalam Dunia Tanpa Batas

Oleh: Mohammad Eko Duhumona 

Penggiat Pilas Institute 

________________

DI tengah kerumitan dunia global saat ini, propaganda politik muncul kembali sebagai sarana utama untuk mempengaruhi cara pandang masyarakat, baik di tingkat nasional maupun global. Meskipun propaganda bukanlah ide yang baru, fungsi dan tampilannya telah berubah seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Hal-hal yang sebelumnya disebarkan lewat poster dan ceramah kini merambat melalui algoritma media sosial, situs berita online, bahkan film dan budaya populer.

Dunia kini telah memasuki tahap baru di mana perbatasan antarnegara semakin tidak jelas karena adanya teknologi. Propaganda politik juga mengalami perubahan. Kini, ia tidak lagi terlihat sebagai ajaran yang kaku dari negara yang otoriter, tetapi muncul dalam format yang lebih halus dan sulit diidentifikasi: kampanye digital, pengaruh opini melalui tokoh publik, dan penyebaran informasi yang tidak benar. Melalui platform media sosial, sebuah negara bahkan bisa memengaruhi situasi politik di negara lain tanpa harus mengirimkan pasukan atau diplomat.

Contoh nyata dapat dilihat pada pemilihan umum di Amerika Serikat tahun 2016, saat kecurigaan mengenai intervensi Rusia melalui kegiatan siber dan kampanye propaganda digital menarik perhatian internasional. Tindakan ini tidak melibatkan penggunaan senjata biasa, tetapi lebih kepada penyebaran informasi yang diolah dan disebar secara luas untuk memengaruhi pandangan masyarakat serta menghancurkan kepercayaan terhadap sistem demokrasi.

Hal yang sama juga berlangsung di banyak bagian dunia lainnya. Di Tiongkok, contohnya, pemerintahan memanfaatkan media global yang dikuasai oleh negara untuk menyebarkan pandangan yang mendukung pemerintah dan membangun opini internasional yang sejalan dengan kebijakan luar negerinya, seperti yang terjadi pada Taiwan atau Laut Tiongkok Selatan. Pendekatan ini menjadi wujud baru dari “soft power” yang dapat mengubah kekuasaan Barat dalam persaingan pengaruh.

Seperti yang terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah seperti Maluku Utara, jaringan sosial berfungsi sebagai sarana utama untuk kampanye mengingat keterbatasan akses ke media tradisional. Facebook, TikTok, dan WhatsApp dimanfaatkan untuk menyebarkan cerita tertentu yang sering kali tidak melalui verifikasi.

Maluku Utara memiliki latar belakang konflik antara komunitas dan identitas yang rumit. Situasi ini menjadikan daerah ini mudah dipengaruhi oleh isu-isu propaganda yang memanfaatkan perbedaan suku dan agama. Selama berlangsungnya pemilihan umum, penguasa setempat memanfaatkan kelemahan ini untuk menciptakan dukungan politik yang bersifat primordial.

Propaganda politik, meskipun dipandang sebagai elemen dalam proses demokrasi, menjadi sebuah isu saat digunakan untuk menipu masyarakat, menekan suara penentang, atau memperkuat kekuasaan tanpa keterbukaan. Sebagai sebuah negara yang demokratis, Indonesia perlu lebih berkomitmen untuk menghadapi masuknya propaganda global yang disesuaikan dengan kondisi lokal.

Kepentingan pemahaman politik dan digital di wilayah seperti Maluku Utara tidak boleh diabaikan. Tanpa adanya kesadaran yang tajam dari masyarakat, propaganda dapat menjadi senjata yang merusak demokrasi dan memperpanjang praktik politik yang bersifat transaksional.

Dalam sejumlah situasi, komunikasi politik ini penuh dengan propaganda yang berkaitan dengan etnis dan agama, yang ditujukan pada identitas lokal demi mendapatkan dukungan politik. Ini dapat memperburuk perpecahan sosial dan mengancam persatuan dalam komunitas setempat.

Propaganda memberikan kesempatan bagi suatu negara atau kelompok untuk menciptakan musuh bersama, menyusun narasi sesuai kepentingan mereka, dan mengalihkan fokus masyarakat dari persoalan internal. Sering kali, membenarkan kebijakan yang menindas, atau menggerakkan warga dalam konflik yang sebenarnya tidak sepenuhnya mereka pahami.

Yang menjadi kendala adalah karakteristik propaganda yang sering kali mengesampingkan fakta dan prinsip etika dalam penyampaian informasi. Saat propaganda diterapkan secara terencana, ia dapat menciptakan sebuah kenyataan yang ilusif yang pada akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran. Situasi ini dapat mengancam sistem demokrasi, hak-hak manusia, dan bahkan stabilitas perdamaian di seluruh dunia.

Dalam menanggapi propaganda politik yang berskala internasional, kontribusi masyarakat sangat penting. Pada titik ini, literasi media menjadi hal yang esensial keterampilan untuk menganalisis, menilai, dan memahami informasi dengan kritis. Individu yang memiliki pemahaman informasi yang baik akan lebih kebal terhadap pengaruh dan lebih mampu mendeteksi maksud tersembunyi di balik cerita yang beredar.

Selain itu, media sosial seperti Facebook, X (dahulu Twitter), dan YouTube juga perlu memikul tanggung jawab. Mereka tidak hanya menawarkan teknologi, tetapi juga menjadi pintu utama untuk informasi di seluruh dunia. Tanpa adanya peraturan dan moral yang solid, platform-platform ini dapat berubah menjadi tempat subur bagi propaganda merusak yang dapat mengancam keutuhan demokrasi.

Negara-negara juga harus menciptakan sistem pendidikan yang menanamkan pemikiran kritis dan kebebasan berpikir sejak usia muda. Dalam jangka waktu yang panjang, hanya dengan masyarakat yang sadar dan terlibat, propaganda dapat dikendalikan — bukan dihilangkan, karena propaganda merupakan elemen dari dinamika politik itu sendiri, tetapi harus dibatasi agar tidak menjadi menyesatkan.

Propaganda politik global merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari di dunia yang saling terhubung. Namun, ketika propaganda berfungsi sebagai sarana kekuasaan dan manipulasi, maka ia berubah menjadi bahaya bagi kebebasan dan kebenaran. Saat ini, dunia tidak kekurangan berita, tetapi yang sulit ditemukan adalah kemampuan untuk memilih dan memahami informasi dengan cerdas. Dalam pertempuran informasi ini, masyarakat bukan lagi hanya sebagai penonton, melainkan sebagai aktor utama yang menentukan apakah kebenaran akan tetap bertahan atau justru tenggelam dalam keramaian propaganda. (*)