Opini  

Pendidikan dalam Kacamata Filsafat Materialisme: Tinjauan Kritis Murtadha Muthahhari

Oleh: Muhammad Wahyudin

Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate

______________________

DI tengah kemajuan dunia yang ditandai oleh revolusi industri, globalisasi, dan digitalisasi, manusia mengalami perubahan yang begitu signifikan baik itu pemikiran dan perilaku. Seiring perkembangan dunia menjadi tantangan yang memiliki pengaruh terhadap madrasah/sekolah-sekolah, pendidikan menjadi salah satu sektor yang mengalami transformasi besar-besaran. Namun, di balik berbagai kemajuan tersebut, terdapat kegelisahan filosofis yang mendalam: ke mana arah pendidikan kita? Apakah pendidikan masih menjadi sarana pembebasan manusia dan pembentukan karakter, ataukah ia telah direduksi menjadi alat produksi dan penghasil tenaga kerja belaka?

Pertanyaan ini menjadi relevan ketika kita melihat kecenderungan pendidikan modern yang berorientasi pada pasar dan logika materialisme. Filsafat materialisme, yang berakar dari pemikiran barat pasca-pencerahan, telah banyak mempengaruhi cara pandang dunia terhadap manusia, ilmu, dan tujuan pendidikan. Dalam konteks inilah, pemikiran filsuf Muslim terkemuka, Murtadha Muthahhari, memberikan kritik mendalam terhadap reduksi nilai dalam dunia pendidikan akibat dominasi filsafat materialisme.

Filsafat Materialisme dan Implikasinya terhadap Pendidikan. Secara filosofis, materialisme adalah pandangan yang meyakini bahwa realitas hakiki dunia ini hanyalah materi. Segala sesuatu yang ada – termasuk kesadaran, pikiran, moralitas, dan bahkan agama – dipandang sebagai produk dari proses material. Materialisme menolak adanya realitas non-materi seperti jiwa, ruh, atau Tuhan. Dalam kerangka ini, manusia dipandang semata sebagai makhluk biologis yang berevolusi dari materi dan digerakkan oleh kebutuhan fisik.

Ketika paradigma ini diterapkan dalam pendidikan, maka tujuan pendidikan pun mengalami pergeseran. Pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya, melainkan sebagai instrumen penciptaan tenaga kerja yang efisien, produktif, dan kompetitif. Ukuran keberhasilan pendidikan pun dikaitkan dengan capaian material: pekerjaan, pendapatan, gelar, dan posisi sosial.

Akibatnya, pendidikan cenderung melupakan dimensi spiritual, etika, dan kemanusiaan. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan pasar, bukan kebutuhan jiwa manusia. Sekolah dan kampus dijadikan “pabrik manusia” yang memproduksi individu dengan keterampilan teknis, tetapi miskin empati, nilai, dan makna hidup.

Murtadha Muthahhari; Kritik terhadap Reduksionisme Materialistik. Murtadha Muthahhari (1919–1979), seorang pemikir besar asal Iran, menentang keras pendekatan materialistik terhadap manusia dan pendidikan. Dalam karya-karyanya seperti Man and Faith, The Theory of Knowledge, dan Human Being and His Future, Muthahhari menyatakan bahwa filsafat materialisme telah mengabaikan hakikat terdalam manusia sebagai makhluk spiritual.

Manusia bukan hanya tubuh yang terdiri dari daging dan tulang, tetapi juga memiliki ruh, akal, dan dimensi ilahiah. Pendidikan, haruslah berangkat dari pemahaman ontologis ini, bahwa manusia memiliki potensi fitrah menuju kebaikan, kesempurnaan, dan keabadian. Bila pendidikan hanya mengembangkan aspek fisik dan intelektual semata, tanpa menyentuh aspek ruhani, maka manusia akan tumbuh timpang dan terasing dari dirinya sendiri.

(1) Krisis Makna dan Kehampaan Spiritualitas Muthahhari menilai bahwa pendidikan yang dikuasai oleh logika materialisme tidak mampu memberikan makna hidup kepada peserta didik. Pendidikan hanya mengajarkan bagaimana “menguasai dunia”, tetapi tidak mengajarkan “untuk apa hidup ini dijalani”. Akibatnya, banyak individu yang sukses secara ekonomi, namun hidupnya kosong, gelisah, dan tanpa arah.

Dalam pandangan saya, makna hidup hanya bisa ditemukan jika manusia terhubung dengan dimensi spiritual, yaitu dengan Tuhan. Oleh karena itu, pendidikan sejati harus mampu membangkitkan kesadaran religius dan tanggung jawab moral dalam diri peserta didik.

(2) Dekadensi Moral dan Krisis Etika Kritik kedua Muthahhari adalah hilangnya pijakan etika dalam pendidikan. Dalam sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil material, nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial menjadi kabur. Pendidikan tidak lagi membentuk karakter, tetapi hanya mencetak individu yang kompeten secara teknis.

Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang terdidik yang justru terlibat dalam praktik-praktik korupsi, manipulasi data, atau tindakan moral lainnya. Muthahhari menekankan bahwa pendidikan harus dimaknai sebagai pembentukan akhlak mulia, bukan sekadar transfer pengetahuan.

(3) Dehumanisasi dalam Sistem Pendidikan Kritik ketiga Muthahhari adalah bahwa pendidikan modern telah menjauhkan manusia dari hakikatnya sebagai subjek bebas dan merdeka. Dalam sistem pendidikan yang mekanistik, manusia diperlakukan sebagai objek, bukan subjek. Ia hanya menjadi angka dalam statistik, bukan pribadi dengan potensi unik.

Penulis menegaskan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia, bukan mengekangnya dalam sistem yang memiskinkan jiwa. Pendidikan harus memberikan ruang bagi pertumbuhan spiritual, refleksi diri, dan pembentukan identitas moral yang utuh.

Pendidikan sebagai Proyek Transendensi Muthahhari menawarkan paradigma pendidikan alternatif yang berbasis tauhid. Dalam paradigma ini, pendidikan bukan hanya sarana mencapai kemajuan ekonomi, tetapi juga sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Ilmu bukan sekadar alat, tetapi jalan menuju pemahaman akan realitas yang lebih tinggi.

Tujuan utama pendidikan, menurut Muthahhari, adalah membentuk insan kamil—manusia paripurna yang seimbang antara akal dan hati, antara ilmu dan iman, antara dunia dan akhirat. Pendidikan harus menumbuhkan maqashid insaniyah (tujuan-tujuan kemanusiaan) seperti kejujuran, keberanian, cinta, dan tanggung jawab sosial.

Dalam sistem ini, guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pembimbing ruhani. Sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga arena pembentukan karakter dan pembiasaan nilai. Kurikulum tidak hanya berisi teori-teori akademik, tetapi juga pendidikan moral, spiritual, dan budaya.

Pemikiran Muthahhari di Indonesia sangat relevan dalam konteks Indonesia hari ini. Kita menyaksikan bagaimana pendidikan sering kali kehilangan arah dan dijadikan alat untuk mengejar status sosial dan keuntungan ekonomi. Orientasi materialistik ini memperkuat ketimpangan sosial, kesenjangan nilai, dan krisis karakter. Padahal, Indonesia memiliki warisan nilai-nilai luhur seperti Pancasila, gotong royong, dan spiritualitas lokal yang dapat menjadi dasar pendidikan berbasis karakter dan spiritual. Pemikiran Muthahhari dapat menjadi inspirasi untuk membangun pendidikan yang membebaskan, humanistik, dan transendental.

Dalam filsafat materialisme, pendidikan dipahami secara reduksionis, hanya sebagai proses teknis dan ekonomi. Namun, Murtadha Muthahhari mengingatkan kita bahwa manusia bukan hanya tubuh, melainkan jiwa yang butuh bimbingan spiritual. Pendidikan sejati bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan.

Kini saatnya pendidikan Indonesia keluar dari belenggu materialisme dan kembali kepada orientasi spiritual dan etika. Kita membutuhkan pendidikan yang tidak hanya menghasilkan lulusan pintar, tetapi juga manusia bijak, berakhlak, dan bermakna. Sebab hanya dengan pendidikan semacam itulah, kita bisa membangun peradaban yang adil, beradab, dan bermartabat. (*)