Oleh: Muhammad Wahyudin
Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate
_______________
HALMAHERA Timur adalah salah satu wilayah di Kepulauan Maluku Utara yang tidak hanya menyimpan kekayaan alam, tetapi juga warisan budaya dan spiritualitas yang mendalam. Dalam konteks pembangunan peradaban, Halmahera Timur menjadi ruang epistemik tempat bersemainya pengetahuan lokal, nilai spiritual, dan kebijaksanaan ekologis. Kebudayaan Halmahera Timur bukan sekadar bagian dari kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun, tetapi merupakan sistem nilai yang menyatu dengan cara berpikir dan hidup masyarakatnya.
Budaya lahir dari penalaran manusia yang selaras dengan spiritualitas yang tinggi. Ia tidak berdiri sendiri, tetapi melekat pada kondisi intelektual dan batiniah suatu komunitas. Semakin tinggi tingkat intelektual dan spiritual masyarakat, semakin mapan budaya yang mereka wariskan. Dalam pengertian ini, Halmahera Timur mewariskan corak kebudayaan yang bersifat menyeluruh, karena dibentuk oleh interaksi antara akal, rasa, dan iman.
Budaya Halmahera Timur mencakup berbagai dimensi, baik simbolik, ritus, hukum adat, maupun ekspresi artistik. Tarian tradisional Lalayon, misalnya, bukan hanya hiburan visual, tetapi sebuah metafora kolektif tentang kerukunan dan dialog antar manusia. Sasadu, rumah adat masyarakat, menjadi titik temu sosial sekaligus simbol spiritualitas komunal.
Selain itu, di Halmahera Timur terdapat beberapa upacara adat syukuran yang masih dilestarikan. Salah satunya adalah Upacara Fagogoru yang diadakan setiap tahun pada akhir Oktober. Upacara ini mencerminkan adat istiadat masyarakat Gam Range (Maba, Patani, dan Weda) dan merupakan bagian dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain itu, ada juga tradisi Hadiat Smengit, yang merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Halmahera Timur dan Cuci Negeri mencerminkan keseimbangan relasi antara manusia, leluhur, dan alam. Bahasa daerah seperti Maba, Patani, dan Weda menyimpan pengetahuan ekologis yang tak tertulis namun hidup dalam kosakata dan metafora masyarakat sehari-hari.
Budaya Halmahera Timur kini menghadapi tantangan besar dari arus epistemologi modern yang hegemonik. Dominasi saintisme—yakni keyakinan bahwa hanya pengetahuan ilmiah yang sah—telah menyempitkan makna kebudayaan menjadi sekadar artefak atau potensi ekonomi (komodifikasi). Dalam arus ini, budaya lokal dianggap irasional, tidak produktif, dan harus digantikan oleh sistem yang lebih “modern.”
Hal ini berakar pada filsafat modern Barat, dari Descartes hingga Kant, yang mengusung dominasi rasionalisme dan empirisme. Dalam sistem ini, metafisika, agama, dan etika terpinggirkan. Sistem pendidikan nasional pun tidak tumbuh dari akar budaya lokal, melainkan berkiblat ke Barat. Universitas-universitas menjadi pabrik intelektual yang tidak lagi mengenal konteks budaya tempat mereka berada.
Salah satu tantangan utama kebudayaan lokal adalah sistem pendidikan yang terlepas dari konteks lokal. Sebagaimana dikritik oleh Ali Syariati, sistem pendidikan modern di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, dibangun dengan membelakangi budaya lokal. Di Halmahera Timur, ini terlihat dari kurikulum sekolah yang minim menyentuh sejarah lokal, bahasa ibu, hukum adat, dan pengetahuan tradisional. Hasilnya, generasi muda terputus dari akar budayanya sendiri.
Paulo Freire menyebut model pendidikan ini sebagai pendidikan gaya bank: siswa dianggap sebagai bejana kosong yang diisi oleh informasi, bukan subjek yang aktif membentuk realitas. Dalam konteks Halmahera Timur, pendidikan seharusnya menghidupkan kembali semangat dialogis dengan budaya lokal, menjadikannya sumber pengetahuan yang sahih dan bermakna.
Masyarakat Halmahera Timur tidak harus anti terhadap kemajuan atau teknologi. Tantangannya adalah membangun sintesis antara kearifan lokal dan inovasi modern. Teknologi digital dapat digunakan untuk mendokumentasikan tarian, bahasa, dan cerita rakyat. Ekonomi kreatif dapat dibangun dengan berbasis budaya lokal, bukan sekadar meniru model luar.
Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas adat perlu bergandengan tangan membangun strategi pelestarian budaya yang aktif dan produktif. Kurikulum muatan lokal harus diperkuat, arsip budaya perlu dijaga, dan pemuda dilibatkan dalam pelestarian ini melalui media sosial, film dokumenter, dan aplikasi digital.
Kekhawatiran tentang masa depan adalah gejala universal. Namun, Halmahera Timur memiliki modal budaya dan spiritual yang cukup untuk menghadapinya. Kita memang sering terjebak dalam kecemasan, merasa kecil di hadapan tantangan zaman, namun penting untuk kembali pada akar: budaya, keluarga, dan komunitas.
Refleksi diri, spiritualitas, dan solidaritas sosial adalah tiga pilar yang akan menyelamatkan Halmahera Timur dari keterasingan kultural. Dalam dunia yang semakin cepat berubah dan seragam, hanya masyarakat yang memiliki identitas kuatlah yang akan bertahan.
Halmahera Timur adalah ruang hidup, ruang budaya, dan ruang spiritual. Ia bukan sekadar daerah administratif, tetapi laboratorium epistemologi Nusantara. Jika kita ingin membangun peradaban yang kuat, kita tidak bisa membiarkan budaya lokal mati perlahan.
Melalui pendidikan berbasis kearifan lokal, revitalisasi budaya, dan sintesis antara tradisi dan modernitas, Halmahera Timur dapat menjadi model pembangunan kebudayaan yang berakar dan berkemajuan. Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya karena ekonominya, tetapi karena budayanya yang hidup, spiritualitasnya yang kuat, dan identitasnya yang tak tergantikan. (*)