Opini  

Pudarnya Pesona Halmahera

Oleh: Bachtiar S. Malawat
Founder Forum Insan Cendikia (FIC) Maluku Utara

____________________

KAWAN-kawan, Halmahera pernah dikenal sebagai jantung dari kerajaan-kerajaan besar di Timur. Tanah ini tidak hanya menyimpan keindahan alam yang tak tertandingi, tapi juga warisan sejarah dan budaya yang menjadi denyut nadi peradaban Maluku Utara. Dalam narasi panjang sejarah kepulauan rempah-rempah, Halmahera memiliki peran sentral yang tidak bisa diabaikan. Namun, pesona itu perlahan memudar, bukan karena waktu, melainkan karena kerakusan dan kebijakan yang tidak berpihak pada warisan sejarah dan keberlanjutan alam. Eksploitasi tambang menjadi titik balik yang menyakitkan dalam kisah panjang Halmahera, menjadikannya ladang yang digerus habis-habisan atas nama investasi dan pembangunan.

Dalam bukunya Kepulauan Rempah-rempah, sejarawan M. Adnan Amal menggambarkan Halmahera sebagai tanah subur yang menjadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan lokal dan kolonial. Halmahera bukan sekadar pulau, melainkan simbol dari keterhubungan antara alam, manusia, dan kekuasaan. Ia adalah ruang hidup yang dimaknai secara spiritual oleh masyarakatnya. Namun kini, kesakralan tanah itu ternoda oleh industri tambang nikel, emas, dan batu bara yang mengepung hampir seluruh wilayah daratannya. Ironisnya, kekayaan yang diekstraksi dari tubuh Halmahera justru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat setempat. Mereka justru menjadi penonton di tanah sendiri, bahkan seringkali menjadi korban atas nama pembangunan yang eksploitatif.

Faris Bobero dalam bukunya Orang Halmahera menyuarakan keresahan mendalam tentang proses penghapusan identitas yang dialami oleh masyarakat lokal. Bagi Faris, identitas ke-Halmaheraan yang dulu tegas, kini dirundung kekaburan akibat hadirnya kepentingan ekonomi yang membungkam suara lokal. Desa-desa adat dipaksa berhadapan dengan perusahaan-perusahaan tambang raksasa. Hutan, yang selama ratusan tahun menjadi sumber pangan, obat, dan ruang spiritual, dibabat tanpa ampun. Di sisi lain, generasi muda Halmahera terjebak dalam dilema antara melawan atau ikut larut dalam sistem kerja kontrak tambang. Keputusan untuk bertahan sebagai penjaga warisan leluhur seringkali dianggap sebagai sikap anti-modern, padahal justru di sanalah letak kemuliaan hidup yang hakiki.

Realitas ini menjadi semakin menyakitkan ketika pemerintah daerah dan pusat justru menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan praktik eksklusi masyarakat lokal dari ruang-ruang pengambilan keputusan. Laporan dari Walhi Maluku Utara pada tahun 2023 menyebutkan bahwa dari total izin usaha pertambangan (IUP) di Maluku Utara, lebih dari 60% berada di Halmahera. Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur menjadi dua wilayah dengan izin tambang paling padat. Namun, menurut data BPS, angka kemiskinan di wilayah tersebut justru tidak mengalami penurunan signifikan, bahkan meningkat pada periode 2022–2023 di beberapa kecamatan terdampak langsung.

Dalam buku Ternate dalam Lintasan Waktu, Irman Saleh menunjukkan bagaimana relasi kekuasaan di Maluku Utara selalu berkisar di seputar pusat kekuasaan yang cenderung mengabaikan pinggiran seperti Halmahera. Sejak masa kolonial hingga otonomi daerah, Halmahera selalu diposisikan sebagai hinterland bagi kepentingan pusat kekuasaan. Tradisi maritim yang kuat di Ternate dan Tidore menciptakan hegemoni yang menjadikan Halmahera sebagai objek pengambilan sumber daya, bukan subjek penentu kebijakan. Hegemoni itu berlanjut hingga sekarang dalam bentuk yang lebih terstruktur pemerintah, elite lokal, dan investor tambang berselingkuh atas nama pembangunan. Hutan dibuka, sungai dialiri limbah, dan masyarakat adat diusir dengan dalih legalitas investasi. Sebuah pengulangan kolonialisme dalam wujud baru.

Yang lebih tragis, pendidikan sebagai harapan perubahan justru tergusur oleh logika tambang. Sekolah-sekolah di kawasan tambang kekurangan guru, fasilitas rusak, dan para sarjana lebih memilih bekerja sebagai buruh tambang karena gaji yang lebih menjanjikan. Generasi muda Halmahera kehilangan cita-cita karena disuguhkan janji kemakmuran lewat seragam tambang dan bonus kontrak kerja. Padahal di balik seragam itu, terikat sistem kerja yang eksploitatif, tanpa jaminan keberlanjutan hidup, dan seringkali berujung pada kecelakaan kerja tanpa perlindungan hukum yang layak. Dunia pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan masyarakat Halmahera justru tumbang di hadapan kuasa industri ekstraktif.

Eksploitasi hutan Halmahera bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial budaya. Hutan bukan hanya kumpulan pepohonan, tapi ruang hidup yang menyatukan relasi antar manusia, leluhur, dan Tuhan. Dalam keyakinan masyarakat Tobelo Dalam, misalnya, hutan adalah tempat suci yang tidak boleh sembarangan dibuka. Tapi kini, alat berat merangsek masuk, menggusur tanpa permisi, dan mengubur seluruh narasi sakral itu di bawah tanah timbunan tambang. Dalam catatan riset Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), lebih dari 35.000 hektar hutan primer di Halmahera telah berubah fungsi menjadi konsesi tambang hanya dalam satu dekade terakhir. Sementara itu, tingkat deforestasi terus meningkat, menyebabkan krisis air, perubahan iklim mikro, dan konflik lahan yang masif.

Ketika pesona Halmahera memudar, sesungguhnya kita sedang menyaksikan tragedi kebudayaan. Kita sedang melihat bagaimana negeri yang dulu harum karena cengkih dan pala, kini hancur karena emas dan nikel. Kita menyaksikan bagaimana logika pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat mengikis akar-akar budaya dan identitas lokal. Sebuah kesalahan kolektif yang akan ditanggung oleh generasi mendatang, karena kita gagal menjaga tanah, air, dan warisan leluhur. Di hadapan Halmahera yang terus berdarah oleh tambang, kita dituntut untuk bersikap. Tidak cukup hanya menjadi pengamat, atau penikmat cerita romantis tentang masa lalu Halmahera. Kita harus menolak kolonialisme dalam bentuk baru ini, korporasi tambang yang datang dengan bendera investasi, tapi meninggalkan luka bagi rakyat Halmahera.

Saatnya warisan budaya dilindungi, bukan dijual murah atas nama PAD atau pertumbuhan ekonomi. Karena jika Halmahera kehilangan hutannya, sungainya, lautnya, dan manusianya yang arif, maka kita bukan hanya kehilangan pesona geografis, tapi juga kehilangan arah kemanusiaan. Ini bukan hanya soal lingkungan atau ekonomi, tapi soal harga diri dan identitas.

Dalam konteks ini, kritik Adnan Amal sangat relevan: “Pengetahuan lokal sering dipinggirkan dalam diskursus pembangunan modern. Padahal, pengetahuan itu lahir dari dialektika yang panjang antara manusia dan alamnya.” Pengetahuan lokal masyarakat Halmahera tentang ekologi, tata ruang, hingga keseimbangan hidup telah dibungkam oleh bulldozer. Apa yang disebut pembangunan hanyalah pengulangan kolonialisme dengan wajah yang lebih licik dan bahasa yang lebih teknokratik.

Halmahera sedang digadaikan. Kekayaan alamnya ditukar dengan utang lingkungan yang mahal. Kedaulatan rakyatnya dikorbankan demi statistik makro ekonomi. Dan jika tidak ada perlawanan, maka yang akan tersisa dari Halmahera hanya cerita pilu tentang bagaimana pesona itu memudar, bukan karena takdir, tapi karena kita semua diam dan membiarkan. Akhir kata. Ketika Hutan habis kau tebangi, Gunung telah habis kau gunduli dan air telah kau cemari, maka di situ kita akan sadar, bahwa uang tidak dapat dimakan. Hutan lestari mata air mengalir, Hutan binasa air mata mengalir. (*)