Oleh: Ahmad Talib
Guru Besar Teknologi Hasil Perikanan UMMU dan Ketua Yayasan Pusat Kolaborasi Riset Maluku Utara (PUKAT-MU)
___________________
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama anak-anak, dengan menyediakan akses ke makanan bergizi seimbang. Hal ini sesuai dengan perkataan dari Presiden Pertama Indonesia yaitu Soekarno, beliau mengatakan bahwa pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”. Oleh karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjadi salah satu wacana kebijakan paling ramai diperbincangkan di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Dicanangkan sebagai bagian dari agenda pemerintahan baru, program ini bertujuan memberikan akses makan bergizi kepada anak-anak usia sekolah dan kelompok rentan lainnya. Secara sekilas, program ini terdengar mulia dan sangat dibutuhkan, terutama di tengah tingginya angka stunting dan ketimpangan gizi di Indonesia. Namun, sebagaimana kebijakan publik lainnya, MBG perlu dilihat secara kritis—baik dari sisi manfaat, tantangan implementasi, maupun keberlanjutan anggarannya.
Program ini merupakan salah satu langkah strategis dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 dan mendukung misi Asta Cita, yaitu memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Program ini bertujuan untuk: (1) Mengatasi masalah gizi buruk dan stunting di Indonesia; (2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesi dan (3) Mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ekonomi daerah. Dengan demikian, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.
Sasaran utama dari program ini diperuntukkan untuk: Anak-anak dan remaja di seluruh Indonesia, mulai dari jenjang PAUD hingga SMA/sederajat, Balita, ibu hamil dan ibu menyusui, sedangkan anggaran yang dibutuhkan untuk program ini pada tahun 2025 adalah sebesar Rp71 triliun dengan harga per porsi makanan adalah sebesar Rp15.000 per porsi makanan. Badan yang diberi tugas untuk mengelola dana ini adalah Badan Gizi Nasional (BGN) dengan target 19,47 juta penerima manfaat pada tahun 2025 dan target ini masih terlampau kecil bila dibandingkan dengan jumlah penerima manfaat miskin di Indonesia.
Namun pada tanggal 29 Juli 2025 terdapat kasus yang sudah menjadi viral di salah satu sekolah di Kota Ternate, karena menu makanan gratis yang diharapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan gizi siswa-siswi ternyata terdapat ulat pada menu makanannya. Namun kasus ini bukan saja terjadi di Kota Ternate namun juga ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia, contoh kasus di Labuan Bajo (Manggarai Barat), Semarang (SMPN 1), Muna Barat, Kediri, hingga Empat Lawang. Hal ini menunjukkan lemahnya sistem pada pengawasan serta belum ketatnya SOP, HACCP dan GMP yang diterapkan pada industri penyedia catering mulai dari pemilihan bahan baku, alat dan bahan yang digunakan pada proses pemaskan serta adanya kekurangan dalam pengendalian kualitas di seluruh rantai distribusi.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi menurunnya produk MBG, di antaranya adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal yang dapat mempengaruhi rusaknya Makan Bergizi Gratis (MBG) di antaranya adalah: (1) Kualitas bahan makanan yang digunakan dalam program MBG. (2) Faktor kesegaran bahan baku, kebersihan, dan kandungan gizi bahan makanan perlu diperhatikan. (3) Pengolahan bahan baku yang tidak tepat dapat menyebabkan kualitas makanan menurun. (4) Serta faktor-faktor seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan juga perlu diperhatikan. (5). Sumber daya manusia juga dapat mempengaruhi keberhasilan program karena berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan sumber daya manusia perlu diperhatikan. (6) Infrastruktur dan fasilitas yang belum memadai juga dapat mempengaruhi kualitas makanan, peralatan dapur, fasilitas penyimpanan, dan transportasi serta (5). Anggaran dan biaya yang tidak memadai dapat mempengaruhi kualitas makanan yang disajikan serta faktor-faktor seperti daerah kemahalan di wilayah timur dibandingkan dengan wilayah barat sehingga diperlukan penyesuaian harga porsi makanan.
Faktor eksternal. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi rusaknya Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat dibagi menjadi beberapa aspek: (1) Faktor lingkungan seperti kondisi cuaca, kebersihan, dan sanitasi juga dapat mempengaruhi kualitas makanan. (2). Kebijakan dan Regulasi dapat mempengaruhi keberhasilan program MBG serta faktor-faktor seperti kebijakan pemerintah, regulasi kesehatan, dan standar keamanan pangan perlu diperhatikan. (3). Sosial dan budaya juga dapat mempengaruhi keberhasilan program MBG serta faktor-faktor seperti adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai sosial juga perlu diperhatikan. (4). Faktor ekonomi seperti biaya bahan makanan, biaya operasional, dan biaya lain-lain perlu menjadi perhatian. (5). Faktor teknologi seperti ketersediaan teknologi pangan, sistem informasi, dan infrastruktur teknologi dapat mempengaruhi keberhasilan program MBG. (6). Bencana alam dan kegentingan seperti gempa bumi, banjir, dan konflik dapat mempengaruhi keberhasilan program MBG. (7). Ketersediaan bahan makanan seperti ketersediaan bahan makanan lokal, impor, dan musim dapat mempengaruhi keberhasilan program. Dengan demikian, faktor internal dan eksternal dapat berpengaruh terhadap rusaknya program MBG yang hampir terjadi diseluruh Indonesia.
Rekomendasi:
Program Makan Bergizi Gratis adalah ide baik yang muncul pada saat yang tepat di tengah persoalan gizi yang masih sangat memprihatinkan, program ini bisa menjadi batu loncatan menuju generasi Indonesia yang lebih sehat dan cerdas. Namun, seperti kebijakan besar lainnya, program ini harus dijalankan dengan prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan berkelanjutan. Program MBG seharusnya menjadi kebijakan yang berorientasi pada hasil nyata, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin. Pemerintah perlu bersikap realistis dan transparan dalam perencanaan anggaran, melibatkan masyarakat dalam pengawasan, serta mengevaluasi secara berkala untuk perbaikan ke depan. Jangan sampai program yang bertujuan mulia ini justru menjadi beban fiskal yang tidak efisien atau bahkan proyek pencitraan belaka. Rakyat tidak hanya butuh makan bergizi, tetapi juga kepastian bahwa hak-hak dasarnya dipenuhi dengan cara yang jujur, adil, dan bermartabat. (*)