google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Kemerdekaan Palsu

Oleh: Riyanto Basahona

_____________________

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

SETIAP tanggal 17 Agustus kita merayakan kemerdekaan dengan penuh semangat. Bendera Merah Putih dikibarkan, pidato heroik digemakan, dan lomba-lomba rakyat diselenggarakan. Namun, di balik gegap gempita itu, pertanyaan besar menggelayut: apakah kita benar-benar sudah merdeka? Secara historis, bangsa Indonesia berhasil melepaskan diri dari penjajahan Portugis, Belanda, dan Jepang. Tetapi, di era yang katanya merdeka ini, kita justru masih terjajah oleh bangsa sendiri, oleh para pemimpin yang semestinya menjadi pengayom rakyat.

Korupsi menjadi wajah telanjang dari kemerdekaan yang palsu. Hampir setiap tahun, kasus besar terbongkar, melibatkan pejabat di eksekutif, legislatif, bahkan lembaga hukum. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan justru lenyap masuk kantong segelintir orang. Inilah bentuk penjajahan modern yang jauh lebih licik daripada kolonialisme klasik. Kita seolah merdeka, tetapi sesungguhnya sedang dipasung oleh kerakusan elit.

Beban rakyat semakin berat ketika kebijakan negara justru tak berpihak pada kepentingan mereka. Pajak terus dinaikkan, subsidi dipangkas, harga kebutuhan pokok melonjak, sementara lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Pendidikan dan kesehatan masih sulit diakses, terutama bagi rakyat kecil di pelosok. Dalam kondisi ini, rakyat tak ubahnya seperti tahanan dalam negeri sendiri, yang hanya dijadikan obyek pembangunan tanpa benar-benar dilibatkan dan disejahterakan.

Lebih ironis lagi, kita bisa melihat bagaimana rakyat yang berjuang membela haknya justru dikriminalisasi. Kasus terbaru menimpa 11 warga Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara. Mereka dijadikan tersangka hanya karena memperjuangkan tanah adatnya yang hendak dirampas demi kepentingan investasi tambang. Tanah leluhur yang diwariskan turun-temurun, yang menjadi sumber kehidupan mereka, tiba-tiba dipaksa dilepaskan dengan dalih pembangunan. Alih-alih dilindungi oleh negara, rakyat justru berhadapan dengan aparat hukum yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

Apakah ini yang disebut merdeka? Ketika rakyat kecil diperlakukan seperti penjahat hanya karena membela haknya? Padahal konstitusi kita dengan tegas menyatakan bahwa tanah, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun faktanya, kebijakan justru lebih menguntungkan korporasi dan investor, sementara masyarakat adat yang sudah berabad-abad hidup di tanahnya sendiri malah dipinggirkan.

Kasus 11 warga Sangaji hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana rakyat dikorbankan atas nama pembangunan. Di berbagai daerah, konflik agraria terus terjadi, dari Sumatera hingga Papua. Rakyat berulang kali menjerit, tetapi suara mereka kalah oleh gemuruh mesin tambang, tumpukan dokumen perizinan, dan kepentingan segelintir elit yang mengatasnamakan “pembangunan nasional”.

Inilah yang membuat kemerdekaan kita terasa palsu. Kita tidak lagi dijajah oleh Belanda atau Jepang, tetapi kita dijajah oleh keserakahan dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kita merdeka di atas kertas, namun dalam kenyataan, banyak rakyat masih menderita.

Kemerdekaan sejati mestinya bukan sekadar bebas dari penjajahan asing, melainkan juga bebas dari penindasan internal. Merdeka berarti rakyat tidak lagi takut kehilangan tanahnya. Merdeka berarti pejabat bebas dari korupsi. Merdeka berarti kebijakan negara benar-benar berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya pada investor.

Selama kasus-kasus seperti 11 warga Sangaji terus terjadi, selama korupsi merajalela, selama rakyat dipaksa tunduk pada sistem yang tidak adil, maka kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus hanyalah ilusi. Sebuah kemerdekaan palsu yang menutupi wajah muram rakyat di balik hingar bingar pesta kenegaraan. (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version