Oleh: Faldi Ramli
_______________________
DELAPAN puluh tahun sudah republik ini berdiri di atas fondasi proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945. Sebuah tonggak sejarah yang menjadi penanda bahwa bangsa ini memilih jalan merdeka setelah sekian lama dijajah. Kemerdekaan kala itu adalah janji: janji tentang kebebasan, janji tentang persamaan hak, dan janji bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi. Namun, bila kita menoleh ke masa kini, apakah janji itu benar-benar hidup di tanah ini? Apakah ruh kemerdekaan masih tegak di pelosok nusantara, termasuk di Maluku Utara yang kini menyimpan luka di Maba Sangaji, Haltim? Pertanyaan ini menyesakkan dada, karena realitas menunjukkan bahwa sebagian anak negeri justru merasakan jeruji besi ketika suara kritis mereka menggema.
Maba Sangaji, sebuah kawasan di Halmahera Timur yang sesungguhnya hanyalah titik kecil di peta Indonesia, kini menjadi panggung ironi kemerdekaan. Di tempat inilah sebelas anak negeri, yang kemudian dikenal sebagai 11 tahanan Maba Sangaji, harus menjalani hari-hari panjang di balik jeruji. Mereka bukan kriminal yang merampok atau membunuh, mereka hanyalah suara-suara muda yang mempertanyakan ketidakadilan di tanah mereka sendiri. Tetapi, suara itu dibungkam dengan cara paling kejam: ditangkap, dijerat pasal, lalu diseret ke meja sidang. Maka, di tanah yang disebut telah merdeka selama delapan puluh tahun ini, demokrasi tampak ringkih, seperti rumah yang rapuh dihempas badai.
Kasus mereka bukan sekadar peristiwa hukum biasa, melainkan cermin betapa kuasa seringkali alergi terhadap suara rakyat. Mereka ditangkap karena berani menyuarakan keresahan tentang tanah, tentang sumber daya alam, tentang perasaan dikhianati di bumi yang kaya namun tak memberi kesejahteraan. Apa salahnya bersuara untuk negeri sendiri? Bukankah proklamasi 1945 mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan harus dihapuskan? Namun kini, dalam rupa yang lebih halus, penjajahan itu seakan hadir kembali: rakyat dijajah oleh regulasi, oleh kepentingan modal, dan oleh aparat yang lebih tunduk pada kekuasaan daripada pada konstitusi.
Dari jeruji besi Maba Sangaji, demokrasi digugat dengan getir. Di sana, para tahanan muda menjadi saksi bahwa merdeka tidak selalu berarti bebas. Ada keterasingan di tanah sendiri, ada rasa diperlakukan sebagai musuh hanya karena mereka memilih untuk tidak diam. Indonesia memang merdeka dari penjajah asing, tetapi apakah benar merdeka dari penindasan yang dilakukan oleh anak bangsanya sendiri? Inilah kontradiksi yang mengguncang nurani: kita merayakan 80 tahun merdeka, sementara anak-anak bangsa yang kritis dipenjara.
Perjalanan panjang bangsa ini seharusnya membuahkan kedewasaan demokrasi. Namun yang tampak justru sebaliknya, demokrasi sering dikerdilkan menjadi sekadar ritual lima tahunan di bilik suara. Padahal, demokrasi sejati adalah ruang terbuka bagi kritik, bagi suara berbeda, dan bagi rakyat untuk menegur penguasa. Ketika 11 Jeruji Maba Sangaji diseret ke pengadilan karena keberanian mereka, maka yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan mereka, tetapi juga marwah demokrasi itu sendiri. Seolah negara ingin berkata: merdeka boleh dirayakan, tetapi jangan sekali-kali mengusik kepentingan.
Maba Sangaji bukan hanya nama kampung kecil, melainkan simbol luka kolektif Maluku Utara. Dari tanah itu, kita belajar bahwa pembangunan yang sering diagungkan hanyalah wajah lain dari ketimpangan. Kekayaan alam Halmahera Timur—nikel, emas, dan hasil bumi lainnya—mengalir deras keluar, tetapi yang tertinggal hanyalah debu, kerusakan lingkungan, dan rakyat yang terpinggirkan. Maka, jeritan 11 Jeruji Maba Sangaji bukan hanya jeritan personal, tetapi jeritan sebuah daerah yang merasa terjajah dalam republik yang katanya merdeka.
Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya menjadi refleksi tentang keadilan sosial yang dijanjikan dalam Pembukaan UUD 1945. Namun, keadilan itu kerap terasa jauh, terutama bagi rakyat kecil di daerah-daerah. Bagaimana mungkin bangsa ini mengaku berdaulat jika di Maba Sangaji saja suara rakyat dibungkam? Bagaimana mungkin kita berbicara tentang “merdeka” ketika rakyat yang bersuara dianggap ancaman? Pertanyaan-pertanyaan ini bagaikan pisau yang mengoyak euforia perayaan kemerdekaan, memaksa kita melihat kenyataan pahit yang sering diabaikan.
Sidang yang masih berlangsung terhadap 11 Jeruji Maba Sangaji hanyalah babak lain dari drama panjang kriminalisasi rakyat. Mereka duduk di kursi terdakwa, tetapi sesungguhnya yang diadili adalah negara. Apakah negara benar-benar berpihak pada rakyatnya? Ataukah negara kini lebih setia pada modal dan kepentingan korporasi? Ketika suara rakyat dianggap kejahatan, maka sesungguhnya bangsa ini sedang kehilangan arah. Demokrasi tidak lagi berfungsi sebagai ruang dialog, melainkan berubah menjadi alat legitimasi kuasa.
Maba Sangaji adalah gugatan yang hidup. Dari jeruji besi itu, ada pertanyaan yang tak kunjung dijawab: apakah merdeka berarti bebas untuk bersuara, ataukah merdeka hanyalah selebrasi tahunan yang penuh simbol kosong? Setiap kali sidang digelar, bangsa ini sesungguhnya sedang diuji: apakah berani berpihak pada kebenaran, atau tetap membiarkan rakyat kecil dipenjara hanya karena keberaniannya?
Kritik yang lahir dari Maba Sangaji seharusnya dibaca sebagai tanda cinta, bukan dianggap ancaman. Mereka tidak ingin menghancurkan negeri, justru mereka ingin negeri ini lebih adil. Tetapi, sayangnya cinta yang kritis itu malah dibalas dengan jeruji besi. Betapa ironis, di negeri yang sudah delapan puluh tahun merdeka, cinta pada tanah air bisa berujung bui. Apakah ini wajah kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata?
Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mendengar kritik. Para pendiri bangsa pun dahulu adalah orang-orang yang berani menggugat ketidakadilan. Mereka dipenjara, dibuang, bahkan diasingkan, tetapi suara mereka tak pernah padam. Kini, sejarah itu berulang di Maba Sangaji. Bedanya, pelaku penindasan bukan lagi bangsa asing, melainkan negara sendiri. Maka, luka itu terasa lebih dalam, karena pengkhianatan selalu lebih menyakitkan ketika datang dari saudara sendiri.
Refleksi delapan puluh tahun merdeka harusnya menjadi cermin bagi penguasa. Apakah kita sungguh merdeka, atau hanya sekadar bebas dari bendera asing namun tetap terjajah oleh mental penindas? 11 Jeruji Maba Sangaji menjadi pengingat bahwa merdeka tanpa keadilan hanyalah fatamorgana. Bendera yang berkibar tidak berarti apa-apa bila rakyat masih dipenjara karena keberanian mereka.
Hari-hari panjang di balik jeruji adalah luka yang kelak tercatat dalam sejarah Maluku Utara. Anak-anak muda yang seharusnya menjadi harapan bangsa justru dijadikan musuh negara. Ironi ini akan terus menjadi noda dalam catatan delapan puluh tahun kemerdekaan. Karena kemerdekaan sejati bukan diukur dari lamanya kita bebas dari penjajah asing, melainkan sejauh mana rakyat dapat bersuara tanpa takut dikriminalisasi.
Dari jeruji Maba Sangaji, demokrasi benar-benar tergugat. Luka itu bukan hanya milik sebelas orang, tetapi milik seluruh rakyat yang masih percaya bahwa bangsa ini bisa lebih adil. Maka, refleksi delapan puluh tahun merdeka harusnya bukan sekadar pesta kembang api atau seremonial, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa demokrasi kita sedang sakit. Dan jika luka itu dibiarkan, maka bukan mustahil bangsa ini akan kehilangan makna kemerdekaannya sendiri.
Pada akhirnya, merdeka harus dimaknai sebagai keberanian mendengar suara paling kecil sekalipun. Jeruji Maba Sangaji adalah pengingat bahwa kemerdekaan sejati belum benar-benar kita miliki. Selama rakyat masih bisa dipenjara karena kritik, selama suara keadilan masih dibungkam, maka perayaan delapan puluh tahun merdeka hanyalah pesta tanpa jiwa. Dari balik jeruji itu, ada gugatan yang harus kita jawab: apakah bangsa ini sungguh merdeka, ataukah hanya berpura-pura? (*)