google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Aku dan Kampus

Oleh: Jandi Farid

Kader HMI FISIP UMMU 

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

______________

Aku berdiri karena punya mimpi. Berbekal usaha dan doa, dunia aku arungi. Berharap kerja keras ini bisa mengubah hidupku nanti.”

Saya mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU). Terus terang, awalnya tidak tahu banyak tentang kampus ini. Hanya karena keluarga di Ternate sering bercerita, ditambah dorongan orang tua, akhirnya saya memilih jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dari situ, barulah saya mulai membuka mata dan mencari tahu lebih dalam tentang kampus UMMU.

Hari pertama mendaftar sebagai mahasiswa baru, saya bertemu kembali dengan sahabat lama dari SMP. Pertemuan itu bukan hanya jadi ajang nostalgia, tapi juga membuka wawasan baru. Dia bercerita bahwa dirinya sudah mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP). Cerita itu membuat saya tertarik.

Sepulang dari kampus, saya langsung menceritakan hal tersebut kepada orang tua, dan syukurnya mereka mendukung. Keesokan harinya, saya segera menyiapkan berkas untuk mendaftar KIP. Saat ke kampus, terlihat banyak juga mahasiswa lain yang punya harapan sama. Beberapa hari kemudian pengumuman seleksi berkas keluar. Rasanya campur aduk, apalagi kuotanya hanya 50 orang dari seratus lebih pendaftar. Saat nama saya muncul di daftar kelulusan, kebahagiaan itu terasa seperti api yang menyala dalam dada.

Tahap berikutnya adalah wawancara. Tim bertanya soal kepemimpinan, latar belakang keluarga, hingga visi ke depan. Sambil menunggu hasil, saya bersama teman-teman baru memanfaatkan waktu untuk saling mengenal, berdiskusi, bahkan berfoto-foto. Saat pengumuman keluar, saya dan sahabat saya sama-sama dinyatakan lulus sebagai penerima KIP. Itu bukan hanya kebahagiaan pribadi, tapi juga tantangan baru.

Setelah itu, kegiatan Pelatihan Pengembangan Kepemimpinan dan Kepribadian (P2KK) dimulai. Jujur, awalnya saya mengira kegiatan ini hanya formalitas. Ternyata jauh lebih dari itu. Ada sepak bola, voli, diskusi ilmiah, hingga momen perpisahan yang sarat makna. Dari situ saya belajar, kuliah di UMMU bukan sekadar hadir di ruang kelas, tapi juga membangun karakter, kebersamaan, dan daya juang. Seperti kata Kant, pertemanan itu adalah soal persekutuan, rasa percaya, dan saling berbagi.

P2KK tahun 2025 terasa lebih bermakna. Bukan hanya menjaga ikatan emosional, tapi juga menjadi wadah untuk tumbuh bersama dan tangguh berkarya. Tagline “Gen 25: Tumbuh Bersama, Tangguh Berkarya” bukan sekadar hiasan kata, melainkan sebuah tantangan. Generasi 2025 harus berani berkembang, menemukan jati diri, dan membuktikan bahwa mahasiswa tidak hanya hidup di UMMU, tapi juga mampu menghidupi UMMU.

Di titik ini saya mulai bertanya pada diri sendiri: apakah nanti saya akan menjadi guru yang profesional sesuai akidah agama, atau hanya sekadar guru yang mengejar jabatan? Apakah gedung-gedung tinggi di kampus hanya akan jadi latar cerita kosong, atau justru jadi saksi lahirnya karya yang berarti?

Yang membuat UMMU unik adalah atmosfer kampusnya yang terbuka. Letaknya di Kelurahan Sasa, dekat laut, membuat suasana belajar tidak kaku seperti kampus besar lain. Angin laut yang sesekali masuk ke ruang kelas seakan jadi pengingat, bahwa ilmu yang torang kejar ini harus membumi, menyentuh masyarakat pesisir, bukan hanya teori di atas kertas. Di kampus ini, mahasiswa datang dari berbagai pulau di Maluku Utara—dari Halmahera, Bacan, Tidore, sampai Morotai. Perbedaan itu tidak menjauhkan, tapi justru menjadi kekuatan yang membuat diskusi lebih berwarna.

Selain itu, UMMU punya tradisi akademik yang cukup khas. Misalnya, budaya diskusi selepas kuliah yang sering terjadi bukan di ruang seminar, tapi di kantin sederhana atau di pelataran kampus. Dari situ muncul ide-ide kritis, mulai dari soal pembangunan daerah, politik lokal, sampai persoalan mahasiswa sendiri. Inilah keunikan yang jarang dimiliki kampus lain: ruang informal justru jadi sumber pemikiran yang tajam.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) juga punya ciri tersendiri. Mahasiswa FISIP terbiasa bicara lantang, tidak sekadar menghafal teori, tapi juga mempertanyakan praktiknya di lapangan. Dosen-dosen di FISIP sering memancing mahasiswa dengan pertanyaan kritis, bukan memberi jawaban instan. Akibatnya, suasana kelas kadang panas, tapi justru di situlah mahasiswa ditempa untuk berpikir kritis. FISIP UMMU adalah ruang di mana teori pemerintahan berhadapan langsung dengan realitas politik Ternate dan Maluku Utara.

Yang menarik, mahasiswa FISIP dikenal tidak hanya aktif di ruang kuliah, tapi juga di jalanan. Mereka sering turun aksi, mengawal isu-isu rakyat, mulai dari nelayan, tambang, sampai pelayanan publik. Itulah yang membuat fakultas ini hidup. Tidak heran kalau ada yang bilang, “di FISIP UMMU, belajar bukan hanya soal buku, tapi juga soal nyali.” Keunikan inilah yang harus dijaga, agar kampus tidak hanya melahirkan sarjana, tapi juga pejuang intelektual.

Hari ini, berkarya bukan lagi tentang populer di lingkup kampus, tapi bagaimana karya itu bisa dikenal luas dan meninggalkan jejak. Sebab setiap karya, meski kecil, bisa menjadi sejarah.

Mahasiswa baru, mari tumbuh bersama, lalu tangguh berkarya! (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version