google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Hukum  

Kapolda Respons Massa Aksi soal Nasib 11 Warga Maba Sangaji 

Kapolda Maluku Utara bersama Gubernur Sherly saat hering bersama massa aksi di Sofifi. (Istimewa)

SOFIFI, NUANSA – Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol Waris Agono, menemui langsung sejumlah massa yang menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Provinsi Maluku Utara, Selasa (2/9). Aksi damai tersebut dilaksanakan bertepatan dengan rapat paripurna masa persidangan ke-II tahun sidang 2024/2025 yang berlangsung di gedung DPRD Maluku Utara di Sofifi.

Hering terbuka massa aksi di depan gedung DPRD tersebut, dipimpin langsung Gubernur Sherly Tjoanda bersama Ketua DPRD, Kapolda, Danrem 152/Baabullah, Danlanal Ternate dan Forkopimda serta anggota DPRD provinsi yang ikut sidang paripurna.

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Dalam aksi tersebut, massa aksi membawa tuntutan terkait dengan pembebasan 11 warga adat Maba Sangaji yang ditangkap karena membela tanah adat ditanggapi langsung oleh Kapolda Irjen Waris Agono.

Waris mengatakan, 11 orang tersebut sudah berstatus sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Tidore. Menurut dia, prosesnya sedang berjalan sehingga pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk membebaskan dan itu merupakan kewenangan hakim.

“Hakim itu independen dan tidak bisa dicampuri,” ujar Waris.

Jenderal bintang dua itu mengakui, 11 warga Maba Sangaji tersebut sudah mengajukan proses hukum secara bertahap dengan mengajukan praperadilan terhadap penyidik dan proses hukum praperadilan tidak diterima oleh majelis hakim dan sekarang melalui proses peradilan.

“Kalau kita ingin membela, membela di praperadilan, dan kalau membantu, kita akan bantu. Karena negara kita adalah negara hukum, bukan berdasarkan kekuasaan, sehingga proses hukum ini harus kita ikuti,” jelasnya.

Selain pembebasan 11 warga Maba Sangaji, massa aksi juga menyampaikan terkait dengan peraturan daerah (perda) yang mengatur terkait dengan tanah adat. Kapolda menyatakan, terkait Perda Adat sudah termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi 35 yang memiliki tiga poin.

Tiga poin itu, lanjut Waris, adalah hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Dalam tiga poin tersebut juga ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Di mana, hutan adat harus ditetapkan dalam perda oleh kepala daerah baik bupati maupun wali kota dengan keputusan gubernur.

“Sampai sekarang di 10 kabupaten dan kota belum ada perda itu, dan saya sudah mendukung di beberapa kabupaten baik di Halmahera Timur, Halmahera Utara dan Halmahera Barat, karena tingkat provinsi baik gubernur dan DPRD hanya tinggal melakukan pengesahan saja,” pungkas Waris.

Usai menyampaikan beberapa poin, massa aksi kembali membubarkan diri dengan tertib dan dikawal oleh personel Polresta Tidore yang dibantu oleh personel Dit Samapta dan Brimob Polda Maluku Utara. (gon/tan)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version