Oleh: Nurmagfira Pawah
Mahasiswi Fakultas Hukum UMMU
____________________
DI tengah riuh rendah harapan rakyat akan perubahan dan cita-cita kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, kita menyaksikan sebuah ironi yang menyakitkan. Elit politik dan elit birokrasi dua entitas yang seharusnya menjadi pelayan rakyat dan penjaga integritas negara justru kerap menjadi pelaku utama dalam pengkhianatan terhadap perjuangan anak bangsa. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan, alih-alih memegang amanah rakyat, malah larut dalam puddle kepentingan pribadi dan kelompok. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia dibangun dari darah, keringat, dan air mata para pejuang yang menolak tunduk pada penindasan dan ketidakadilan.
Namun hari ini, semangat itu dikaburkan oleh praktik-praktik kekuasaan yang korup, nepotis, dan manipulatif. Di tangan elit politik dan birokrasi yang tak lagi punya kompas moral, perjuangan generasi muda, petani, buruh, nelayan, guru, mahasiswa, dan seluruh rakyat kecil terus-menerus dikhianati.
Elit politik menjadikan jabatan publik bukan sebagai tanggung jawab suci untuk melayani, melainkan sebagai kendaraan untuk memperkaya diri dan memperkuat kekuasaan. Politik transaksional, oligarki partai, dan persekutuan kekuasaan telah menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan. Demokrasi hanya menjadi simbol kosong, dipertontonkan setiap lima tahun sekali, tapi dijalankan tanpa hati nurani.
Setiap kali rakyat bersuara melalui demonstrasi, atau kanal aspirasi formal jawabannya sering kali adalah pembungkaman, pengabaian, atau kompromi palsu. Sejumlah kebijakan yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat tetap disahkan demi melayani kepentingan segelintir orang. Revisi undang-undang yang pro-oligarki, pembiaran terhadap perampasan tanah rakyat, penggusuran paksa atas nama pembangunan, dan pelemahan terhadap lembaga-lembaga pengawas independen, semua itu menjadi cermin nyata bahwa elit telah buta terhadap suara rakyat.
Perjuangan anak bangsa terutama generasi muda yang idealis dan penuh semangat perubahan berulang kali dibenturkan dengan tembok kekuasaan yang keras kepala. Mereka yang turun ke jalan dan bersuara lantang demi keadilan, justru sering distigma, direpresi, bahkan dikriminalisasi.
Di atas meja-meja kekuasaan, mereka berdansa dengan dusta, berbincang dalam ironi, sementara darah juang menetes di tanah ibu pertiwi.
Anak-anak bangsa menggenggam bara, melangkah dalam hujan gas air mata dan juga luka, namun di balik gedung (Istana) yang konon katanya tempat untuk melayani rakyat justru menjadi tempat perkumpulan para manusia korup. Setiap aspirasi yang disampaikan mereka seolah menutup telinga, tangan-tangan licik menyulam pengkhianatan dengan tinta rahasia.
Elit birokrasi berjalan lambat tapi pasti, mengurung harapan dalam tumpukan berkas mati. Mereka duduk di kursi-kursi nyaman, sementara anak bangsa termenung dengan banyak harapan yang menggantung menanti solusi yang tak kunjung datang.
Apakah kalian lupa?
Bahwa republik ini dibangun dari keringat dan air mata, bukan dari sogokan, dan kinerja tersembunyi yang kalian sembunyikan di balik senyum licik dan tangan yang tampak bersih. Setiap anak bangsa yang melawan, kalian cap itu seolah sesuatu yang tidak bermakna, kalian bungkam dengan pasal-pasal rancang pesanan.
Padahal mereka hanya ingin negeri ini waras,
bukan dikendalikan oleh sekelompok berbaju sah. Mereka menggangap bahwa rakyat hanyalah orang kecil yang mudah dijadikan alat oleh para penguasa, justru mereka adalah gelombang yang tak akan surut. Jika kalian terus menodai perjuangan ini, maka jangan salahkan sejarah jika suatu hari namamu hanya dikenal sebagai pengkhianat, bukan pahlawan.
Indonesia hari ini sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, rakyat terus berjuang menuntut keadilan, kesejahteraan, dan keterbukaan. Di sisi lain, elit politik dan birokrasi justru mempertontonkan keserakahan, manipulasi kekuasaan, dan pengabaian terhadap amanah rakyat.
Jabatan publik dijadikan komoditas, birokrasi dipenuhi oleh loyalitas semu, dan kebijakan dibuat tanpa mendengar suara rakyat. Perjuangan mahasiswa, buruh, petani, dan masyarakat adat dilabeli ancaman. Suara-suara kritis dibungkam dengan hukum, bukan dengan dialog.
Cita-cita reformasi yang diperjuangkan sejak 1998 kini terasa asing. Sebab, elit yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru menjadi pelaku utama penyelewengan mandat.
Rakyat menyerukan konsolidasi untuk merebut kembali ruang-ruang demokrasi. Keadilan sosial tak akan datang dari kekuasaan yang korup, tapi dari keberanian rakyat untuk melawan.
Saat demonstrasi berlangsung kalian duduk di ruangan ber-AC, menyaksikan dari layar kaca, sambil meneguk kopi impor dari hasil kesengsaraan petani lokal. Setiap langkah demonstrasi dituding makar, setiap kritik disulap jadi ancaman. Padahal, mereka hanya ingin hidup layak, bukan disuapi narasi palsu dan mimpi politik murahan.
Namun, sejarah selalu membuktikan bahwa kekuasaan yang semena-mena tak akan bertahan lama. Di balik wajah muram ketidakadilan hari ini, ada bara yang sedang menyala. Kesadaran rakyat, terutama generasi muda, terus tumbuh. Ini menjadi pelajaran bahwa perubahan sejati tidak datang dari belas kasihan elit, melainkan dari konsolidasi dan keberanian rakyat itu sendiri.
Kita sedang berada dalam fase penting. Momentum ini menuntut kita semua untuk tidak menyerah, tidak membungkuk, dan tidak berhenti bersuara. Kita harus melawan dengan cara yang bermartabat, tersistematis, dan visioner. Karena bangsa ini tidak akan pernah benar-benar merdeka selama kekuasaan masih dirampas oleh tangan-tangan kotor yang menodai cita-cita luhur bangsa.
Dalam perkembangan politik dan administrasi publik di Indonesia, peran elit politik dan birokrasi seharusnya menjadi katalisator perubahan menuju keadilan sosial. Namun yang terjadi justru sebaliknya: “MEREKA SERING MENJADI AKTOR UTAMA DALAM PELANGGENGAN KETIMPANGAN”.
Birokrasi yang semestinya netral dan profesional justru terseret dalam arus politik transaksional. Elit politik menggunakan kekuasaan untuk melanggengkan dominasi ekonomi dan pengaruh politik, melalui sistem yang tertutup dan tidak bertanggung jawab. Praktik-praktik semacam ini menghambat partisipasi publik, memperlemah demokrasi, dan mengkhianati cita-cita reformasi.
Ketika aspirasi rakyat diabaikan, dan perjuangan generasi muda dianggap ancaman, maka itu yang harus dipertanyakan kemana arah kebijakan negara.
Perlu pembenahan serius terhadap struktur kekuasaan, penegakan etika birokrasi, serta rekonstruksi sistem politik yang lebih inklusif dan berkemampuan. Tanpa itu, masa depan bangsa akan terus dikendalikan oleh segelintir orang yang tak pernah benar-benar mewakili rakyat.
Kepada seluruh elemen masyarakat kaum intelektual, aktivis, mahasiswa, pekerja, serta tokoh-tokoh publik yang masih memiliki integritas untuk bersatu menolak dominasi elit yang korup. Ini bukan soal politik partisan, ini adalah soal masa depan bangsa.
Sudah saatnya rakyat mengambil kembali ruang-ruang demokrasi yang telah direbut. Sudah saatnya birokrasi dibersihkan dari mentalitas penguasa. Dan sudah saatnya kita membangun sistem politik yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada pemilik modal atau dinasti kekuasaan.
Perjuangan ini belum selesai. Justru inilah awal dari babak baru perjuangan: “BABAK DI MANA SUARA RAKYAT KEMBALI MENJADI KOMPAS ARAH BANGSA”.
Lihatlah sejarah mencatat siapa yang benar-benar berjuang, dan siapa yang cuma pandai bersandiwara. “DAN JIKA KELAK NEGERI INI HANCUR, BUKAN KARENA RAKYATNYA YANG BODOH, TETAPI KARENA ELITNYA YANG TERLALU RAKUS UNTUK JADI MANUSIA”. (*)