Opini  

Indonesia Menjadi Panggung Pertujukan Antara Elit Politik Untung dan Rakyat Buntung

Oleh: Ardi Turege,
Wakil Presiden BEM FH UMMU

__________________

DI negeri yang kaya akan sumber daya alam dan keberagaman budaya ini, Indonesia seharusnya menjadi tempat di mana setiap warganya dapat merasakan kesejahteraan dan keadilan. Namun, realita sering kali berkata sebaliknya. Alih-alih menjadi rumah yang adil bagi semua rakyat, Indonesia kerap tampak seperti panggung megah bagi para elit-elit politis yang saling tukar jabatan, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang terlupakan atau bahkan tumbal dari permainan para elit kekuasaan itu.

Di tengah gemerlap pembangunan dan wacana kemajuan, Indonesia menyimpan ironi sosial yang amat dalam. Negeri yang kaya ini tampaknya telah menjelma menjadi panggung megah bagi para elit, sementara rakyat hanya menjadi penggembira atau bahkan korban kebijakan. Kesenjangan yang terus melebar dan kebijakan yang sering berpihak pada kepentingan segelintir orang menandai realitas pahit yang tak bisa disangkal.

Dalam setiap siklus pemilu, rakyat diminta berbondong-bondong ke TPS, menyerahkan harapan mereka dalam selembar kertas suara. Namun, setelah pesta demokrasi usai, suara rakyat seakan hanya menjadi formalitas. Keputusan-keputusan besar dibuat di ruang-ruang tertutup, oleh segelintir elit politik dan ekonomi yang duduk nyaman di singgasana kekuasaan. Mereka berbicara atas nama rakyat, namun sering kali keputusannya justru menyakiti rakyat itu sendiri.

Dalam kondisi seperti ini, apakah kita masih bisa menyebut Indonesia sebagai Negara demokrasi, ketika yang memegang kendali adalah segelintir orang dengan akses, koneksi, dan modal yang saling tukar jabatan dan berlalu-lalang di atas lalulintas kekuasaan. Tentu tidak, Indonesia menjadi panggung perdagangan jabatan-jabatan di kalangan elit-elit politik yang busuk, hal ini menjadi pukulan yang mendalam Indonesia yang katanya Negara Demokrasi Pancasila.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus dibanggakan dalam angka-angka yang tinggi nilainya. Namun siapa yang benar-benar menikmati hasilnya? Ketimpangan terus melebar. Konglomerat semakin kaya, sementara jutaan rakyat bekerja tanpa kepastian, hidup dari hari ke hari, bahkan sesuap nasi pun masih menjadi harapan bertahan hidup bagi sebagian masyarakat kecil dan rentan terhadap guncangan sekecil apa pun.

Rezim kebijakan ekonomi pun lebih sering berpihak pada investor besar dan pengusaha raksasa, dengan dalih “pembangunan”. Tanah rakyat digusur, ruang hidup diambil alih, dan sumber daya dieksploitasi demi pertumbuhan yang tidak mereka rasakan. Hal ini mengakibatkan rakyat buntung, sementara elit-elit kekuasaan panen untung.

Panggung elit menjadi simbolisme tanpa substansi; panggung politik dan media dipenuhi jargon-jargon manis: “kerja nyata”, “untuk rakyat”, “reformasi struktural”, dan lain-lain. Tapi di balik semua itu, rakyat menanti perubahan nyata yang tak kunjung datang. Ketika suara kritis dibungkam, dan gerakan rakyat dikriminalisasi, maka semakin jelas bahwa panggung itu bukan untuk rakyat tapi hanya untuk elit-elit politis yang mempertontonkan kekuasaan.

Ini menjadi pukulan yang kuat untuk Indonesia. Karena, rakyat Indonesia bukan sekadar objek penderita. Sejarah mencatat bahwa perubahan besar selalu datang dari bawah. Dari jeritan petani yang tanahnya dirampas, dari mahasiswa yang turun ke jalan, dari buruh yang memperjuangkan upah layak, dan dari warga biasa yang berani bersuara.

Dalam teori elite yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, setiap masyarakat akan selalu didominasi oleh segelintir kelompok elite yang memiliki kekuasaan, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Pareto menyebut bahwa sejarah selalu diwarnai oleh “sirkulasi elite”, di mana satu kelompok elite digantikan oleh elite baru namun tetap mempertahankan dominasi kekuasaan.

Fenomena ini sangat terlihat di Indonesia. Pemilu yang semestinya menjadi mekanisme demokratis sering kali hanya melahirkan rotasi di antara elite lama dan elite baru yang berasal dari latar belakang yang sama. Rakyat hanya menjadi alat legitimasi, bukan subjek utama dalam demokrasi, melainkan tumbal kepentingan atas nama demokrasi.

Fakta menunjukkan dapat dilihat dalam kebijakan ekonomi yang cenderung mendukung investasi besar-besaran dan proyek infrastruktur yang menguntungkan korporasi dan para elit-elit, namun sering merugikan masyarakat kecil: penggusuran lahan, ketimpangan upah, eksploitasi alam, dan lain-lain. Rakyat buntung, karena mereka tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari perencanaan kebijakan hanya sebagai objek, bukan subjek.

Jeffrey Winters dalam teorinya tentang oligarki menyebut bahwa kekuasaan di negara-negara seperti Indonesia tidak hanya berada di tangan elit politik, tetapi juga elit ekonomi yang memiliki kekayaan luar biasa. Kekayaan ini memberi mereka kekuatan untuk memengaruhi kebijakan, pemilu, dan bahkan arah pembangunan. Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana kekuatan uang dapat menentukan siapa yang duduk di kursi legislatif, siapa yang memenangkan pemilu, dan bahkan siapa yang dapat mengatur undang-undang. Hal ini menjadikan demokrasi kita “dibajak” oleh oligarki.

Dalam praktik politik Indonesia, budaya patronase dan klientelisme masih kuat. Elit politik menawarkan bantuan, proyek, atau uang kepada rakyat kecil (klien) demi dukungan politik. Hubungan ini bersifat transaksional dan jangka pendek, serta membuat rakyat bergantung tanpa memberdayakan. Alih-alih membangun kesadaran kritis, hubungan ini memperkuat dominasi elit dan menutup ruang partisipasi rakyat yang sejati dalam pengambilan keputusan publik.

Dalam dunia modern, Jean Baudrillard berbicara tentang simulacra, yakni realitas semu yang diciptakan lewat simbol-simbol dan pencitraan. Dalam konteks Indonesia, politik sering kali lebih mementingkan pencitraan di media: proyek mercusuar, peresmian besar-besaran, dan retorika populis. Namun di balik itu, substansi untuk rakyat sering kali nihil, panggung elite ini dirancang dengan baik melalui media massa, menciptakan ilusi bahwa pemerintah “berpihak kepada rakyat”, padahal kebijakan riil sering jauh dari aspirasi mereka.

Kesimpulan: Saatnya Rakyat Turun ke Panggung tidak lagi menjadi penonton tapi menjadi pemain agar dari buntung menjadi untung.

Indonesia tidak boleh dibiarkan menjadi sandiwara elit yang dimainkan terus-menerus di atas penderitaan rakyat. Teori-teori di atas menunjukkan bahwa sistem telah lama melayani segelintir, bukan keseluruhan. Namun sejarah juga mencatat bahwa perubahan selalu datang dari gerakan-gerakan bawah dari rakyat yang sadar dan bersatu untuk berjuang.

Rakyat harus berhenti menjadi penonton. Sudah saatnya mereka mengambil alih panggung. Melalui pendidikan kritis, partisipasi aktif, dan solidaritas kolektif, panggung Indonesia. (*)