Opini  

Wakil Rakyat Dalam Perspektif Islam

Oleh: Mawar Sangadji

Aktivis Dakwah Remaja Tidore

_________________

BARU-baru ini api kemarahan rakyat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemarahan ini ditumpahkan dalam unjuk rasa di berbagai kota. Salah satu fokus utama tuntutan unjuk rasa terkait kenaikan tunjangan anggota DPR. Massa meminta untuk membatalkan kebijakan tunjangan rumah, transparansi gaji, dan membatalkan rencana kenaikan gaji anggota DPR.

Di tengah besarnya tunjangan anggota DPR, justru rakyat mengalami penderitaan akibat kebijakan penguasa. Baru-baru ini masyarakat dikejutkan dengan kenaikan pajak di beberapa provinsi dan daerah di Indonesia seperti Pati, Cirebon, Jombang, Semarang, dan Bone mengalami kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang signifikan, bahkan ada yang mencapai belasan kali lipat.

Gelombang PHK juga membayangi kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pada tahun 2025 di Indonesia terjadi lonjakan kasus PHK, dengan angka mencapai 42.385 pekerja pada periode Januari-Juni 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras kompak menanjak pada Juli 2025. Rata-rata harga beras di penggilingan naik 2,71 persen secara month to month (mtm) dan 4,14 persen secara year on year (yoy).

Dari segala problematika yang ada, seharusnya ada empati dari wakil rakyat di parlemen. Ikut merasakan penderitaan rakyat. Akan tetapi sebaliknya, keberpihakan itu belum dilihat oleh masyarakat.

Jika dicermati lebih jauh, kondisi semacam ini menjadi fenomena di negara yang menerapkan demokrasi-kapitalisme. Banyak kepemimpinan hari ini berorientasi pada materi. Sehingga rakyat banyak yang terabaikan, tidak diurus. Sebagian besar menjadikan jabatan dijadikan manfaat untuk memperkaya diri.

Berbeda dengan Islam, Islam sebagai ajaran yang sempurna dan paripurna memiliki perspektif terkait wakil umat. Terdapat struktur bernama Majelis Umat yang anggotanya adalah wakil kaum muslim dalam hal ini bertujuan memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi pemimpin untuk meminta pendapat dalam berbagai urusan tersebut. Mereka mewakili umat dalam melakukan kontrol dan koreksi kepada para penguasa.

Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah SAW yang sering meminta pendapat dengan beberapa orang dari kaum muhajirin dan ansar yang mewakili kaum mereka. Ada orang-orang tertentu di antara para sahabat yang beliau minta pendapat mereka, di antaranya yaitu Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah. Demikian juga terdapat sejumlah dalil yang menyeru kaum muslim untuk mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah alhâkim).

Keberadaan Majelis Umat ini berbeda dengan parlemen dalam demokrasi. Parlemen memiliki fungsi anggaran dan legislasi hukum (undang-undang) yang tidak semestinya menjadi bagian dari tugas wakil rakyat. Dalam Islam, penetapan anggaran dilakukan oleh struktur tersendiri, yakni baitulmal. Sedangkan legislasi hukum bukan dalam konteks membuat hukum, melainkan tabani (adopsi) hukum dari Al-Qur’an dan Sunah oleh khalifah.

Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilu yang sesuai dengan aturan Allah dan tidak diangkat melalui penunjukan karena mereka merupakan wakil umat dalam mengemukakan pendapat. Selain itu, Majelis Umat merupakan representasi masyarakat, baik individu atau kelompok-kelompok, dalam mengemukakan pendapat.

Satu hal yang harus kita ingat, anggota Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Jika ada hal-hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan dalam jumlah yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan para anggota dewan yang jumlahnya fantastis. Demikian halnya jika ada dari mereka yang mendapatkan fasilitas dari negara, itu semata bagian dari pemberian negara yang berhak diperoleh tiap individu warga.

Walhasil, wakil umat dalam Islam benar-benar representatif umat. Mereka bekerja untuk umat, kesadaran mengurusi masyarkat nampak kuat. Juga senantiasa mengoreksi penguasa yang menjadi bagian dari amar ma’ruf nahi Munkar. Sehingga semua berlomba-lomba mewujudkan kebaikan dalam konteks pelaksanaan syariat Islam. (*)