MABA, NUANSA – 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, saat ini tengah ditahan dan menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Soasio, atas perkara menghalangi aktivitas pertambangan.
11 warga ini sebelumnya melakukan aksi demonstrasi di wilayah pertambangan PT Position yang jauh dari perkebunan atau tanah milik warga. Aksi ini dengan membawa senjata tajam.
Belakangan diketahui dari 11 warga itu, tidak semuanya warga Maba Sangaji. Hal ini dibenarkan Kepala Desa Maba Sangaji, Kasman Mahmud.
“Ada Sembilan warga Maba Sangaji, sisanya dari Ternate dan Patani,” kata Kasman saat ditemui di kantornya, Senin (8/9). Namun informasi yang diterima berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP), terdapat tiga warga di luar Maba Sangaji.
Kasman juga menyebut dari 11 warga ini yang masuk struktur adat hanya satu orang, yakni Umar Manado selaku kapita. Meski demikian, terkait masalah itu ia tak mau mengomentarinya.
Aksi 11 warga dengan membawa senjata tajam dan menghalangi aktivitas tambang ini disayangkan pihak Kesultanan Tidore. Ini sebagaimana dalam kesaksian perwakilan pihak kesultanan dalam siding lanjutan dengan agenda pembuktian saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), Rabu (10/9).
Saksi Amin Faroek yang juga Jojau atau Perdana Menteri Kesultanan Tidore. Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, saksi Amin Faroek menyatakan tidak mengenal para terdakwa. Terkait dengan aksi kekerasan dengan membawa nama adat dan membawa senjata tajam, Amin menjelaskan bahwa dalam melakukan ritual adat, tidak memakai senjata kecuali dari keamanan atau dapat disebut kapitan dari adat.
Mengenai senjata tajam yang digunakan untuk masuk ke area perhutanan, pertanian dan dapat juga digunakan sebagai bela diri serta digunakan juga sebagai alat dapur. Dalam menyuarakan aksi dengan adanya itikad baik untuk kebaikan hutan diperbolehkan, akan tetapi yang disesali adalah aksi unjuk rasa dengan membawa senjata tajam.
Amin mendukung tuntutan untuk hak-hak para terdakwa, namun dari pihak kesultanan menyayangkan para terdakwa membawa senjata tajam seperti tombak dan panah wayar. Sehingga dari senjata tajam tersebut sangat disesali oleh pihak kesultanan.
Ia mengungkapkan, Qimalaha diumpamakan seperti kepala lurah yang bekerja seperti kedutaan adat yang berada di bawah naungan adat dan aturan Kesultanan Tidore. Amin menyebut Qimalaha tidak berhak memegang senjata dalam ritual adat, yang berhak memegang senjata tajam adalah kompeni atau para kapitan-kapitan.
Soal aksi unjuk rasa atau penyampaian aspirasi, menurutnya bukan bagian dari ritual adat yang berlaku di Kesultanan Tidore, khususnya di Sangaji Maba.
Amin juga menjelaskan pemasangan panji yang bisa disebut bendera adat harus mendapatkan restu atau izin dari Kesultanan Tidore, karena Maba Sangaji merupakan daerah otonom dari Kesultanan TIdore. Selain itu, yang berhak untuk menyimpan bendera adat hanya ketua adat Maba Sangaji. Bendera tersebut dipakai dalam acara yang khusus serta izin dari ketua adat Maba Sangaji.
“Terkait aksi yang dilakukan pada tanggal 16 sampai 18 Mei itu tidak diketahui oleh Kesultanan Tidore,” katanya. (ska)