Opini  

Kecurangan Beras Premium dalam Sistem yang Penuh Kecurangan, Bukti Regulasi Negara yang Tak Bergigi?

Nurlina Basir. (Istimewa)

Oleh: Nurlina Basir

__________________

INDONESIA adalah negeri agraris, tapi persoalan terkait beras ternyata tidak kunjung beres. Setelah heboh minyak oplosan, kini muncullah beras premium, tetapi isinya beras biasa. Hal ini diketahui berdasarkan investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan terhadap 268 merek beras pada 6-23 Juni 2025. Kementan menemukan mayoritas beras di pasaran (212 merek) tidak sesuai volume, tidak sesuai harga eceran tertinggi (HET), tidak terregistrasi Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT), dan tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan Permentan 31/2017. Sebanyak 85,56 % beras premium yang diuji tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan ; 59,78% beras premium melebihi HET, dan 21,66 % memiliki berat yang lebih rendah. Akibatnya, terdapat beras yang beratnya hanya 4,5 kg, padahal di kemasan tertera 5 kg. Berdasarkan perhitungan Kementan, praktik curang ini merugikan konsumen hingga Rp 99 triliun per tahun, dengan rincian kerugian konsumen beras premium Rp 34,21 triliun per tahun dan kerugian konsumen beras medium Rp 65,14 triliun per tahun.

Fakta ini mengejutkan masyarakat karena beras adalah komoditas yang dikonsumsi setiap hari oleh mayoritas orang Indonesia. Artinya, hampir semua orang Indonesia menjadi korban. Dari hasil pemeriksaan Bareskrim Polri, ada sepuluh perusahaan besar produsen beras yang diduga melakukan penipuan, yaitu Wilman Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, PT Sentosa Utama Lestari/Japri Group, PT Unifood Candi Indonesia, PT Buyung Poetra Sembada Tbk, PT Bintang Terang Lestari Abadi, PT Subur Jaya Indotama, CV Bumi Jaya Sejati, dan PT Jaya Utama Santikah (IDMTimes, 15-7-2025).

Swasta Berkuasa, Negara Lemah, Bukti Negara tak Bergigi?

Realitas ini menunjukan bahwa pemerintah (negara) hanya berperan sebagai regulator dalam tata niaga beras. Sekali lagi, yang dirugikan adalah rakyat sebagai konsumen. Rakyat sudah mengeluarkan sejumlah dana tertentu untuk membeli beras dengan berat dan kualitas tertentu, ternyata isinya berbeda dengan yang tertera.

Selain beras premium berisi beras biasa, kini muncul masalah lain. Masalah pertama yang dihadapi saat ini adalah penumpukan beras di gudang selama lebih dari satu tahun, sehingga menyebabkan bau apek. Sementara persediaan beras mulai menipis. Ombudsman mengungkap adanya beras sisa impor tahun lalu yang masih berada di gudang Bulog. “Sebagian beras yang ada di bulog itu kan beras impor tahun lalu. Ada yang berumurnya sudah satu tahun, dari Februari 2024. Jadi sudah satu tahun lebih, otomatis pasti mohon maaf, bau apek. Sementara di dalam persyaratan mutu label, pelaku usaha dilarang mengolah sebagai bahan baku untuk trading (perdagangan) beras,” kata anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika pada konferensi pers di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

Masalah yang kedua, harga beras mahal, Mentan Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa harga beras premium maupun medium di pasaran melampaui harga eceran tertinggi (HET) di semua wilayah. Berdasarkan Panel Harga Bapanas pada 7 Agustus 2025, harga rata-rata nasional beras premium pada tingkat konsumen sebesar Rp15.968 per kilogram, melampaui HET Rp14.900 per kg. Sedangkan harga beras medium dibanderol Rp14,198 per kg, padahal HET sebesar Rp12.500 per kg.

Sungguh mengenaskan, di satu sisi harga beras mahal karena stok pada tingkat retail menipis, tapi di sisi lain stok di gudang Bulog melimpah. Saking melimpahnya, stok dari setahun yang lalu masih belum terdistribusi hingga mengalami degradasi kualitas. Ini menunjukan bahwa beras itu ada, tapi tersimpan di gudang Bulog. Stok beras tersebut baru akan dikeluarkan ketika harga beras mahal, demi menstabilkan harga. Jika harga sudah stabil, beras Bulog tidak akan didistribusikan, tapi hanya di simpan di gudang.

Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardin mengatakan bahwa selama ini faktor penentu harga beras adalah swasta karena 90% persediaan beras di dalam negeri dikuasai oleh swasta. Sedangkan pemerintah hanya menguasai sekitar 10% dari total stok sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap harga beras (Bisnis, 31-5-2025).

Sistem Kapitalisme Penuh Kecurangan

Kecurangan ini bisa demikian masif dan terjadi bertahun-tahun karena lemahnya pengawasan dan sistem sanksi yang negara berlakukan. Negara abai dalam mengawasi produksi dan distribusi beras. Negara baru bereaksi ketika masalah sudah membesar dan terjadi anomali di masyarakat, yaitu harga tinggi saat produksi melimpah. Ketika diinvestigasi, barulah borok kecurangan yang sudah bertahun-tahun akhirnya terbuka dan ternyata kebusukannya sudah menjalar luas hingga hampir semua produsen melakukan kecurangan.

Negara juga lemah dalam mewujudkan efek jera bagi pelaku industri yang melakukan praktik curang karena sanksi yang ingin. Berdasarkan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 ayat (1) huruf a, pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai standar dan mutu akan mendapatkan sanksi pidana penjara hingga lima tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Ini merupakan sanksi yang sangat ringan jika dibandingkan dengan besarnya kerugian akibat perbuatan mereka yang mencapai hampir 100 triliun per tahun. Kerugian ratusan triliun rupiah, sedangkan denda hanya Rp2 miliar. Sungguh tidak seimbang.

Tumbuh suburnya praktik bisnis curang juga disebabkan negara gagal mewujudkan sistem pendidikan yang mencetak generasi yang amanah dan bertakwa. Akibatnya, lahirlah para pengusaha yang menghalalkan segala cara. Tidak menutup kemungkinan aksi kriminal para pengusaha tersebut mendapatkan sokongan dari oknum-oknum pejabat yang juga menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan pribadi. Akhirnya klob, pengusaha maupun penguasa sama-sama berbuat curang dan menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan materi.

Miris, negara kalah dengan swasta. Inilah realitas negara dalam sistem kapitalisme penguasa sebenarnya adalah para pengusaha kapitalis, sedangkan negara hanya menjadi regulator. Seluruh persoalan ini menunjukan bahwa masalah beras bukan sekadar teknis, tapi bersifat sistemis. Alhasil solusinya harus datang dari sistem yang sahih, yakni Islam.

Sistem Islam Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Di dalam sistem Islam (Khilafah), negara berperan sebagai pengurus rakyat (raa’in) yang bertanggung jawab terhadap rakyat. Rasulullah saw. bersabda,

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Beras merupakan bahan pangan pokok sehingga termasuk kebutuhan pokok manusia. Penguasa dalam sistem Islam (khalifah) akan menjalankan seluruh aturan Islam sebagaimana perintah Allah Swt. Selain itu, Islam menjamin terwujudnya penguasa yang amanah dan bertakwa melalui sistem pendidikan sehingga setiap kebijakannya berorientasi pada terwujudnya kemaslahatan rakyat.

Negara Islam (Khilafah) akan memegang kendali atas distribusi kebutuhan pokok rakyat, termasuk beras. Khilafah wajib menjamin pemenuhan beras bagi tiap-tiap individu rakyat, baik yang kaya maupun miskin, muslim maupun nonmuslim. Negara akan memastikan produksi dan distribusi beras berjalan dengan efektif sehingga mampu menyediakan beras dalam jumlah cukup dan mudah dijangkau oleh rakyat, baik dari sisi lokasi distribusi maupun harga yang murah.

Khilafah akan menghitung kebutuhan beras dalam negeri berdasarkan jumlah penduduk dan rata-rata kebutuhan mereka. Khilafah akan memastikan produksi beras mencukupi kebutuhan dalam negeri dan mempersiapkan stok yang mencukupi untuk kondisi darurat. Khilafah akan mendukung dan memfasilitasi petani untuk meningkatkan produksi beras dengan beberapa cara, yaitu:

1. Ekstensifikasi lahan melalui kebolehan bagi individu rakyat maupun negara untuk ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati) menjadi lahan pertanian. Jika individu rakyat yang menghidupkan, status tanah menjadi milik individu. Jika negara yang menghidupkan, status tanah menjadi milik negara.

2. Intensifikasi pertanian dengan penggunaan benih padi varietas unggul, pupuk yang tepat, pestisida sesuai kadar aman, dll. Negara memberikan subsidi untuk benih, pupuk, dan hal-hal yang dirasa perlu disubsidi sehingga terjangkau oleh petani. Negara juga mendirikan pabrik untuk memproduksi benih, pupuk, pestisida, dll. sehingga tidak tergantung pada impor.

3. Negara mengintensifkan peran penyuluh pertanian yang mengedukasi petani tentang cara bertani yang efektif sehingga meminimalkan kegagalan. Para penyuluh ini adalah pegawai negara.

4. Negara membangun infrastruktur yang mendukung pertanian, seperti saluran irigasi, bendungan, jalan, jembatan, dll. Negara tidak akan mengapitalisasikan air sehingga bisa meminimalkan biaya yang dikeluarkan petani.

5. Negara membangun industri penghasil mesin pertanian dan pengolahan hasil panen (dari gabah menjadi beras) sehingga kapasitas produksi bisa lebih besar.

6. Negara memberikan bantuan modal bagi petani yang membutuhkan dengan skema pinjaman nonribawi.

Dengan serangkaian langkah-langkah tersebut, bisa dipastikan produksi akan mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat. Bahkan, jika terjadi paceklik, masih ada stok untuk masa darurat. Untuk menjalankan semua kebijakan tersebut, negara akan membentuk Departemen Pertanian di bawah Jihaz Idary, yaitu aparat yang terbentuk dari beberapa unit atau jawatan yang bertanggung jawab untuk mengurusi kepentingan rakyat dalam setiap aspek kehidupannya. Hal ini direpresentasikan dalam berbagai departemen, seperti departemen kesehatan umum, departemen pos, departemen pertanian, dsb. (Syekh Ahmad Athiyat, Ath-Thariq/Jalan Baru Islam). Adapun pembentukan lembaga khusus untuk mengurusi beras seperti layaknya Bulog akan dilihat berdasarkan kemaslahatannya, apakah masuk ke Departemen Pertanian ataukah menjadi departemen tersendiri. Yang terpenting adalah terpenuhinya kebutuhan beras masyarakat.

Salah satu struktur dalam Khilafah yang bernama kadi hisbah akan mengawasi pergudangan, pasar, pertokoan ritel, hingga pedagang kecil untuk memastikan tidak ada praktik curang yang akan mengganggu distribusi beras. Negara akan membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk memudahkan distribusi beras, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dll., juga alat transportasinya seperti truk, pesawat, kapal, dll. Untuk daerah terpencil akan dipikirkan alat dan rute transportasi yang paling efektif untuk mendistribusikan beras ke sana.

Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam dan sistem keuangan Islam (alamwal) sehingga negara bisa membiayai seluruh kebijakan pertanian sejak produksi hingga distribusi melalui baitulmal. Baitulmal Khilafah memiliki banyak pos pemasukan, di antaranya ganimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, dan kepemilikan umum (hasil hutan, laut, sungai, danau, dan berbagai tambang dengan deposit besar).

Mekanisme administrasi negara Islam dalam memenuhi kebutuhan beras rakyat akan dilaksanakan dengan cara sederhana, cepat, dan dilakukan oleh tenaga ahli sehingga tidak akan terjadi penumpukan stok beras di gudang. Inilah gambaran solusi sistem Islam untuk mengatasi masalah beras agar terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat, juga mewujudkan kedaulatan pangan. (*)