TERNATE, NUANSA – Pengusutan kasus dugaan tindak pidana korupsi makan minum (mami) wakil kepala daerah (WKDH) Maluku Utara tahun 2022 diharapkan tidak berhenti pada terdakwa mantan bendahara pengeluaran pembantu WKDH Malut, Muhammad Syahrastani alias Atan.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara didesak segera melakukan pengembangan penyidikan hingga penetapan tersangka baru atas kasus dugaan korupsi yang merugikan negara senilai Rp2,7 miliar sekian itu. Lembaga adhiyaksa juga diminta terus mengusut pihak-pihak yang diduga melibatkan mantan Wakil Gubernur M Al Yasin Ali.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara telah menetapkan tersangka tunggal, yakni mantan bendahara pengeluaran pembantu WKDH Malut, Muhammad Syahrastani alias Atan.
Terdakwa Atan telah dituntut 2,6 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Tidore Kepulauan dalam sidang tuntutan yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Ternate, Selasa (9/9). Selain itu, Atan juga dihukum membayar uang pengganti (UP) senilai Rp2,7 miliar sekian.
Informasi yang dihimpun, kerugian keuangan negara senilai Rp2,7 miliar itu sudah dikembalikan atau dipulihkan. Bahkan kerugian keuangan negara ini diserahkan sepenuhnya oleh mantan Wakil Gubernur M Al Yasin Ali tanpa sepengetahuan terdakwa.
Akademisi Universitas Khairun Ternate, Aslan Hasan, menilai pengembalian yang dilakukan pihak lain di luar terdakwa mengonfirmasi bahwa perkara ini melibatkan pihak lain di luar terdakwa dan harus diproses.
“Jadi pengembalian di luar bendahara selaku terdakwa itu memberikan konfirmasi bahwa ada peran pihak lain. Kalau dia tidak terlibat atau menerima aliran dana, kenapa dia kembalikan?,” ujar Aslan, Selasa (23/9).
“Saya berharap perkara-perkara semacam ini dikembangkan, karena tidak mungkin seorang bendahara punya otoritas yang otonom untuk mengatur dan mencairkan anggaran sebanyak itu tanpa ada atensi atau advis pihak lain. Pengembalian keuangan negara dari pihak lain ini mengonfirmasi ada keterlibatan pihak lain,” sambungnya.
Ia menjelaskan, jika dia merasa tidak berurusan dan menerima aliran uang, lalu kenapa dia kembalikan? Di sisi lain, secara hukum pengembalian akan mempengaruhi putusan terkait dengan beban uang pengganti kepada terdakwa.
“Kasus ini harus dikembangan dan sangat aneh hanya terdakwa tunggal. Bagi saya, pengalaman-pengalaman penanganan kasus tindak pidana korupsi kalau terkait dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang melibatkan unsur birokrasi di unsur pemerintah atau pemerintah daerah sangat mungkin terjadi turut serta di situ,” ujar Aslan.
Menurutnya, pengembalian kerugian keuangan negara sudah di tahap penyidikan, bahkan sudah di tahap persidangan sehingga tidak menggugurkan proses yang ditangani. Ia menilai, yang menjadi janggal saat ini adalah dalam kasus-kasus korupsi, khususnya terkait dengan penyalahgunaan wewenang ini hampir mustahil hanya ada tersangka atau terdakwa tunggal.
“Karena sampai keluarnya uang negara di dalam proses itu kan pasti melibatkan relasi jabatan di antara masing-masing pihak itu. Bagi saya, sangat mustahil di dalam kontruksi kasus tindak pidana korupsi terkait dengan penyalahgunaan jabatan lalu terdakwanya tunggal,” tegasnya.
Aslan menjelaskan, pengembalian kerugian keuangan negara yang dimaksud dengan akibat di pasal 2 dan 3 Undang-undang (UU) Tipikor mengenai kerugian keuangan negara. Kini, bagi Aslan, meskipun sudah ada pengembalian kerugian negara, tetapi proses ini sudah berlangsung dan sudah ada terdakwa. Kerugian keuangan negara yang telah dikembalikan kemungkinan hanya bisa dipertimbangkan beban uang pengganti.
Aslan yang juga dosen hukum pidana Unkhair itu menerangkan, di ketentuan pasal 18 UU Tipikor uang pengganti dibebankan kepada terdakwa yang diputus/vonis bersalah setidak-tidaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana.
Dengan kata lain, jika harta benda/kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana itu telah dipulihkan atau dikembalikan baik terdakwa atau pihak lain yang punya hubungan dengan perkara, maka uang pengganti tidak perlu dibebankan kepada terdakwa.
“Karena dasar uang pengganti itu adalah keuntungan atau harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana,” tandasnya. (gon/tan)