(Tinajuan Atas Kebijakan Pidana dalam UU No 1 Tahun 2023 KUHP Baru dan Implikasinya bagi Pemberantasan Mafia)
Oleh: Zulfikri Hasan
Mahasiswa Fakultas Hukum UMMU
___________________________
“Antara Politik Hukum dan Politik Pejabat Nakal”
Asas Ultimum Remedium dan Kritik Overkriminalisasi
Semangat awal hukum pidana Indonesia didasarkan pada asas ultimum remedium, yang berarti “obat terakhir” atau “upaya terakhir”. Asas ini menegaskan bahwa sanksi pidana harus menjadi pilihan penegakan hukum yang paling akhir, hanya digunakan jika upaya lain seperti sanksi administrasi atau perdata sudah tidak efektif atau tidak memungkinkan untuk menyelesaikan masalah. Menurut Prof. Romli Atmasasmita, penggunaan hukum pidana yang berlebihan (overcriminalisasi) tidak hanya tidak efektif, tetapi juga mahal bagi negara. Oleh karena itu, sebelum menerapkan hukum pidana, negara harus memprioritaskan mekanisme hukum alternatif.
Namun, dalam praktiknya, hukum pidana sering kali menjadi “ruang baru kebebasan” bagi para pejabat nakal dan mafia, di mana penegakan hukum justru lemah terhadap pelaku yang berkuasa. Hal ini terlihat dari perubahan signifikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang akan berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026. Perubahan ini, khususnya terkait hukuman mati, memicu antara lain: apakah ini kemajuan reformasi atau justru akselerasi dalam penanganan tindak pidana berat?
Hukuman Mati dalam KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht/WvS)
Dalam KUHP lama (WvS), hukuman mati dijadikan sebagai hukuman pokok, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a. Pasal ini berfungsi sebagai “pasal payung” yang memberikan dasar kewenangan (legal basis) bagi hakim untuk menjatuhkan berbagai jenis pidana, termasuk hukuman mati. Hukuman ini sering dikaitkan dengan pasal-pasal substantif berikutnya, seperti:
- Pasal 339 KUHP, yang mengatur pembunuhan berencana (moord). Pasal ini sering digunakan untuk menjatuhkan hukuman mati dalam kasus narkotika berat dan pembunuhan sadis.
- Pasal 104 KUHP, tentang perbuatan makar dengan maksud membunuh, merampas kemerdekaan, atau menjadikan Presiden/Wakil Presiden tidak mampu memerintah.
Hukum mati dimaksudkan sebagai pencegahan terkuat untuk mencegah kejahatan berat, sejalan dengan asas ultimum remedium. Namun penerapannya sering kali tidak konsisten, terutama terhadap pelaku dari kalangan aparat negara atau elite.
Contoh Kasus: Impunitas Aparat Negara dalam Kasus Pembunuhan
Meskipun KUHP lama memberikan dasar hukum yang tegas, banyak kasus pembunuhan yang melibatkan penegak hukum justru menunjukkan kegagalan penegakan hukum. Beberapa contoh yang mencolok:
- Kasus Ferdy Sambo (13 Mei 2022) : Irjen Polri Ferdy Sambo, pejabat tinggi Polri, diduga terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap bawahannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Kasus ini menyeret banyak aparat dan menimbulkan tuduhan manipulasi bukti, menunjukkan bagaimana hukum pidana gagal menjadi “obat terakhir” bagi pejabat nakal.
- Kasus Pembunuhan AKBP DWPS oleh AKBP BH (8 Agustus 2016) : Seorang petugas polisi tinggi membunuh rekan sesama polisi, yang menyoroti konflik internal dan menjamin akuntabilitas di tubuh penegak hukum.
- Kasus Affan Kurniawan (28 Agustus 2025) : pengemudi ojek online ini terbunuh dilindas taktis Brimob saat demo di DPR RI. Kasus ini mencerminkan kekerasan aparat terhadap rakyat biasa, dengan penegakan hukum yang lambat dan minimal sanksi berat.
Kasus-kasus ini berbanding terbalik dengan ketentuan hukum pidana terhadap warga sipil biasa, di mana hukuman mati sering dijatuhkan tanpa ampun. Misalnya kasus yang melibatkan Freddy Budiman pada 29 Desember 2023 seorang pengusaha yang menjadi bandar narkoba di eksekusi mati pada usia 65 tahun, Imam Samudra, Amrozi dan Ali Ghufron 2008 sebagai pelaku bom Bali 2002 pun di eksekusi mati. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum pidana lebih berfungsi sebagai “obat penenang” bagi mafia dan pejabat, daripada alat keadilan sejati.
Perubahan dalam KUHP Baru: Hukum Mati sebagai Alternatif
KUHP Baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) membawa perubahan radikal terhadap hukuman mati. Tidak lagi sebagai hukuman pokok, hukuman ini kini menjadi pidana alternatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 98–100. Dalam Pasal 67 secara eksplisit menyatakan bahwa pidana khusus (seperti yang dimaksud dalam Pasal 64 huruf c) termasuk pidana mati yang diancam secara alternatif.
Dalam penerapannya:
- Terpidana diberi masa percobaan 10 tahun di penjara.
- Jika selama jangka waktu tersebut terpidana berkelakuan baik, hukuman mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui keputusan Presiden, berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 100).
Perubahan ini sejalan dengan semangat hak asasi manusia dan pengurangan kriminalisasi berlebihan, tetapi juga berpotensi menimbulkan efek deteren hukum pidana. Asas “culpae puena par esto” menegaskan hukum harus setimpal dengan perbuatannya. ini akan semakin sulit dicapai apalagi bagi kasus seperti pembunuhan oleh aparat, ini bisa menjadi “pintu belakang” bagi impunitas, di mana pelaku elite lolos dari eksekusi melalui “perilaku baik” selama masa percobaan. Pertanyaannya adalah perbuatan seperti apa yang dimaksud perbuatan baik dalam pasal ini? Siapa yang berhak menilainya? Dan bagaimana mengukur bahwa terpidana perlanggaran HAM berat ini tidak berpura-pura baik?
Kesimpulan
KUHP Baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 hadir sebagai angin segar reformasi, dengan menjadikan hukuman mati sebagai pidana alternatif yang selaras dengan asas “ultimum remedium” menggeser pidana dari “pedang pemenggal” menjadi “pintu rahmat” berbasis hak asasi manusia dan pengurangan “overkriminalisasi”. Namun, di balik kemajuan ini tersembunyi bayang-bayang kegagalan, tanpa pengawasan ketat, perubahan ini justru berpotensi menjadi “obat penenang” bagi mafia dan pejabat nakal, yang lolos dari jerat hukum melalui masa percobaan 10 tahun yang ambigu, di mana “perilaku baik” bisa dimanipulasi, dan penilaiannya jatuh ke tangan institusi yang rentan korupsi. seperti dalam kasus Sambo atau Affan Kurniawan, di mana aparat negara seringkali lolos dari sanksi berat sementara rakyat biasa tercekik ketat.
Reformasi sistemik tak boleh lagi sekadar janji kosong, pemerintah harus segera membangun mekanisme independen seperti komisi pengawas kasus aparat dengan transparansi penuh, audit eksternal atas keputusan “perilaku baik”, dan integrasi teknologi blockchain untuk mencegah manipulasi bukti (seperti model pengawasan independen di Afrika Selatan pasca-apartheid). Hanya dengan langkah-langkah konkret ini, KUHP Baru bisa benar-benar menjadi “obat terakhir” yang menyembuhkan luka keadilan, sebagaimana prinsip-prinsip keadilan yang diusung oleh “Radburg Formula” oleh Gustave Redburg yang mengemukakan bahwa pencegahan suatu masalah hukum harus mempertimbangkan keadilan kepastian hukum dan keseimbangan antara keduanya. Hal ini sangat diperlukan agar hukum benar-benar bisa efektif bukan malah menidurkan rasa keadilan bangsa. Waktunya bertindak sebelum hukum pidana Indonesia tenggelam dalam kemerosotan yang lebih dalam. “Le salut du people est la supreme loi” hukum yang tertinggi adalah perlindungan masyarakat. (*)