Oleh: Naufandi Hadyan Saleh, S.Pd
___________
TEPAT di penghujung bulan September tahun 2025, ruas jalan Kota Ternate dipenuhi kendaraan roda dua maupun roda empat yang mengakibatkan kemacetan dengan jarak yang cukup jauh. Kemacetan di Ternate bukanlah sebuah rutinitas layaknya kota-kota besar di Indonesia. Ruas jalan Ternate biasanya macet pada momentum-momentum tertentu seperti saat bulan ramadan, hari raya, maupun malam akhir tahun. Ternate bukanlah Jakarta dengan keriuhan aktivitas khas kota metropolitan. Jika ditelisik pada bulan September 2025, tak ada tanggal spesial selain satu tanggal merah sebagai hari libur nasional tepatnya pada tanggal 05 September 2025 yaitu Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Namun peringatan maulid setiap tahun di Ternate tak sampai membuat kota yang dijuluki negeri para raja ini macet dengan volume kendaraan dalam jumlah banyak. Lalu apa yang menyebabkan Ternate menjadi macet di penghujung bulan September kemarin? Tak lain dan tak bukan karena momentum wisuda yang dilaksanakan oleh dua kampus yang ada di Kota Ternate. Universitas Khairun (Unkhair) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate yang melaksanakan wisuda masing-masing pada tanggal 27 dan 30 September 2025. Momentum wisuda yang berdekatan itu membuat Ternate sejenak seperti hari raya. Padatnya kendaraan, gang-gang yang ditutup, sampai kemacetan yang tak terbendung menjadi cerita yang menarik tuk ditelusuri.
Aktivitas yang terpusat di Ternate, ruas jalan yang tidak terlalu besar, hingga luas wilayah kota yang hanya berkisar 162,20 km atau paling terkecil dibanding kabupaten/kota se-Maluku Utara menjadikan Ternate mudah terkena macet pada suatu momentum. Perayaan wisuda adalah satu dari banyaknya momentum itu. Wisuda di Ternate bisa dibilang setengah hari raya bagi wisudawan dan mahasiswa pada umumnya. Bagaimana tidak? Gelombang masyarakat yang datang dari berbagai penjuru daerah di Maluku Utara menjadi warna yang lazim terlihat pada perayaan wisuda. Itu semata-mata dilakukan demi melihat salah satu keluarga mereka dipindahkan tali toganya oleh sang rektor. Selain itu teman-teman se-perjuangan juga tak mau kehilangan momen bahagia dengan turut andil dalam perayaan wisuda tersebut.
Bayangkan saja luas wilayah yang kecil, volume kendaraan yang meningkat, sampai ruas jalan maupun gang-gang yang tertutup dalam satu waktu menyisakan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.
Ada masyarakat yang mendukung sekaligus memaklumi perayaan ini dan ada juga masyarakat yang mengkritisi buah dari terganggunya aktivitas mereka. Perayaan wisuda mahasiswa yang berkuliah di Ternate memang agak lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan sederhana apa perlu mahasiswa merayakan wisuda? Dan apa perayaan wisuda yang ideal bagi seorang mahasiswa? Penulis mencoba berbagi perspektif dengan pembaca soal ini.
Perayaan yang bijaksana
Tak ada undang-undang ataupun aturan yang melarang seorang mahasiswa merayakan momentum wisudanya. Hanya saja perlu untuk diingat ketika seorang mahasiswa dinyatakan resmi sebagai sarjana seketika ia memikul tanggung jawab sebagai kelompok terdidik. Ciri dari seorang yang terdidik ialah selalu memancarkan sikap yang bijaksana. Oleh karena itu seorang sarjana seharusnya mepertimbangan banyak hal ketika hendak melakukan sesuatu termasuk dalam perayaan wisuda.
Penulis amat mengkritisi perayaan wisuda yang digelar secara berlebihan seperti perayaan dalam tajuk pesta dan joget (baronggeng). Sudah menjadi rahasia umum bagi sebagian besar masyarakat Ternate menganggap pesta dan joget (baronggeng) adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Perayaan seperti ini sangat tidak mencerminkan sikap yang bijaksana bagi seorang yang katanya terdidik. Ada banyak kerugian yang dirasakan tatkala wisuda dirayakan dalam tajuk pesta dan joget (baronggeng).
Pertama, banyak masyarakat yang mengalami kerugian seperti anak kecil yang tak bisa tidur nyenyak akibat dari volume musik yang besar. Perlu untuk diketahui bersama bahwa setiap anak membutuhkan situasi dan kondisi yang ideal dalam pertumbuhannya maka aspek ini harus menjadi bahan pertimbangan bagi seorang wisudawan.
Kedua, dalam banyak kasus pergelaran pesta dan joget (baronggeng) di Ternate selalu identik dengan mabuk dan minuman keras yang pada akhirnya berakibat perkelahian dan konflik antar masyarakat.
Ketiga, ruas jalan yang dipakai dalam perayaan pesta dan joget (baronggeng) mengakibatkan banyak pengendara yang terganggu. Penulis lebih menyarankan agar perayaan wisuda dilaksanakan pada tempat-tempat yang tidak menggangu aktivitas umum.
Dengan demikian seorang sarjana sepatutnya mempertimbangkan banyak faktor termasuk dampak apa yang akan didapati oleh dirinya maupun masyarakat sekitar.
Momentum Refleksi
Wisuda bukan ajang perlombaan acara siapa yang paling megah. Ia juga bukan ajang merias diri dengan busana anggun. Bukan pula perlombaan memakai jas ataupun batik mahal. Lebih dari itu wisuda adalah momentum tadzakkur (pengingat) sejauh apa langkah kaki digerak-kan. Wisuda adalah momentum mengusap air mata yang selalu basah tatkala kening menyentuh sajadah. Wisuda juga sebagai kompas menentukan arah dan tujuan masa depan.
Waktu yang dihabiskan oleh seorang mahasiswa sampai bisa diwisuda bukanlah sesuatu yang bernilai murah. Ia mahal karena ada jutaan pengorbanan dan tumpuan harapan dari orang-orang tercinta. Itu kenapa, sudah sepatutnya bagi seorang wisudawan agar memaknai momentum wisuda sebagai ajang refleksi bagi dirinya.
Momentum Syukur
Bisa dibilang perayaan paling ideal bagi seorang wisudawan adalah dengan bersyukur. Kata syukur diambil dari bahasa Arab syakaro – yaskuru yang berarti terima kasih. Wujud syukur dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Bisa dalam bentuk doa kepada tuhan yang telah memberi banyak nikmat dan kekuatan. Bisa juga dalam bentuk sedekah seperti memberi makan anak yatim dan saudara sekitar sebagai ekspresi berbagi kebahagiaan. Bahkan dalam wujud terkecil syukur bisa diungkapkan melalui pelukan hangat kepada orang-orang terkasih yang telah sudi memberi banyak pengorbanan.
Secara filosofis bagi penulis wisuda adalah momentum sakral dari usainya seorang pejuang menapaki garis finish. Jika mahasiswa adalah seorang penuntut ilmu yang baru saja dinyatakan selesai dalam proses menuntut ilmu maka perayaannya pun harus mencerminkan layaknya seorang penuntut ilmu. Penuh dengan kebijaksanaan, refleksi, dan rasa syukur yang mendalam tidak sekedar perayaan seremoni semata.
Akhirnya penulis ingin mengucapkan banyak selamat kepada seluruh mahasiswa yang telah diwisuda pada akhir bulan September 2025 kemarin. Semoga tulisan ini dapat membawa kebaikan bagi setiap pembaca. (*)